Investasi Pada Manusia-Pengetahuan-Inovasi Bisa Berefek Besar Bagi Perekonomian

katadata.co.id
12 jam lalu
Cover Berita

Upaya mewujudkan Indonesia Emas 2045 menuntut peningkatan signifikan kualitas sumber daya manusia, riset, dan inovasi. Isu ini mengemuka di tengah tantangan brain drain, yakni keluarnya talenta terbaik Indonesia ke luar negeri yang berisiko mengurangi daya saing inovasi nasional.

Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Stella Christie, menyatakan bahwa pendidikan tinggi dan riset merupakan fondasi utama pertumbuhan ekonomi jangka panjang. 

“Tanpa investasi pada ide dan inovasi, pertumbuhan ekonomi akan berhenti pada kondisi steady state,” ujarnya dalam acara Human Development Synergy Forum: Kemitraan Multi-Pihak untuk Memperkuat Kebijakan Ekosistem Pendidikan dan Riset Nasional yang digelar Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan bersama dengan Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Indonesia dan Yayasan Bicara Data Indonesia di Jakarta, Kamis (18/12). 

Secara keseluruhan, isu utama dalam forum ini adalah mendorong pergeseran paradigma menuju brain gain dengan menarik talenta untuk kembali dan berkontribusi, serta brain circulation melalui pembangunan jejaring kolaborasi riset dan transfer pengetahuan dengan diaspora. Perubahan ini selaras dengan visi Presiden Prabowo tentang penguatan SDM, sains, dan pendidikan

Lebih lanjut, Stella mengatakan, mengacu pada teori pertumbuhan ekonomi Paul Romer, investasi pada sumber daya manusia, pengetahuan, dan inovasi memberikan efek yang signifikan terhadap perekonomian. Menurutnya, kenaikan investasi riset sebesar 10 persen dapat meningkatkan PDB sekitar 0,2 persen dalam jangka pendek dan hingga 0,9 persen dalam jangka panjang. 

Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, anggaran untuk riset pada 2025 mencapai Rp3,2 triliun atau meningkat 218 persen ketimbang Rp1,47 triliun tahun sebelumnya. "Peningkatan terbesar ini karena kami mendapatkan dana riset dari LPDP yang bisa disalurkan langsung kepada universitas," ujarnya.

Stella menyampaikan bahwa pemerintah memiliki gagasan untuk membangun research university yang kuat dengan kualitas riset yang mumpuni, dan tidak hanya jumlah publikasi. Ia mencontohkan dampak ekonomi universitas riset global, seperti Stanford University, yang menghasilkan manfaat ekonomi tahunan sekitar US$2,7 triliun dan menciptakan jutaan lapangan kerja. “Ini bukan opini, melainkan fakta ekonomi,” katanya.

Dia menggarisbawahi pula pentingnya strategi spesialisasi riset untuk mengejar ketertinggalan. "Jangan investasi kecil-kecil di semua bidang. Kita harus pintar mengatur investasi riset untuk spesialisasi di mana Indonesia punya niche," katanya,

Misalnya rumput laut. Indonesia adalah penghasil rumput laut tropis terbesar di dunia dengan nilai pasar sebesar US$12 miliar. Namun pemanfaatannya belum optimal karena saat ini Indonesia masih menjual bahan mentah.

Bagi Stella, isu penting lainnya soal riset dan inovasi adalah dukungan industri. Berdasarkan paparannya, di Eropa, swasta berkontribusi 59 persen terhadap dana riset, Amerika Serikat 63 persen, sementara Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang lebih dari 75 persen. "Kita harus meyakinkan swasta bahwa investasi terhadap riset di universitas akan menghasilkan profit tinggi karena industri berbasis teknologi dan ide saintifik memiliki profit margin tertinggi," ujarnya.

Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan Kemenko PMK, Ojat Darojat, menyebut akar persoalan daya saing inovasi Indonesia. Ia mengutip pandangan OECD yang menilai sistem pembelajaran Indonesia masih didominasi rote learning, yakni menghafal pengetahuan tanpa kemampuan menerapkan. 

Pola tersebut pada gilirannya menghasilkan inert knowledge yang merujuk kepada pengetahuan yang tidak terkonversi menjadi inovasi dan solusi nyata. “Kita masih memproduksi pengetahuan, belum mengaplikasikannya,” ujar Ojat seraya memberikan penekanan soal perlunya pergeseran menuju pembelajaran berbasis critical thinking serta sesuai dengan kebutuhan industri. 

Menurut data Global Innovation Index 2024 yang dirilis World Intellectual Property Organization (WIPO). Indonesia berada di peringkat 55 dari 139 negara, turun satu peringkat dari tahun sebelumnya. Posisi ini menempatkan Indonesia di urutan keenam di ASEAN, jauh tertinggal dari Singapura (peringkat 5), Malaysia (34), Vietnam (44), Thailand (45), dan Filipina (50).

Peringkat input inovasi Indonesia berada di posisi 60, sementara output inovasi di peringkat 59. Hal tersebut menunjukkan kesenjangan antara kapasitas riset dan hasil yang berdampak ekonomi. 

Executive Director Yayasan Bicara Data Indonesia (YBDI), Yenny Bachtiar, menekankan bahwa tantangan brain drain tidak seharusnya dimaknai sebagai kehilangan semata, melainkan peluang untuk membangun brain gain melalui kemitraan yang terarah dan berkelanjutan. 

“Kebijakan pendidikan dan riset harus dibangun dari data yang akurat, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan,” ujarnya. Yenny menegaskan peran data sebagai “alat navigasi” kebijakan agar riset tidak berhenti di publikasi, melainkan berujung pada solusi pembangunan.

Dari perspektif global, Program Manager Friedrich-Ebert Stiftung (FES), Rina Julvianty, menilai investasi berkelanjutan pada pendidikan, riset, dan inovasi—yang ditopang kemitraan multipihak—merupakan fondasi daya saing bangsa. Adapun FES memposisikan diri sebagai jembatan antara riset dan kebijakan publik, menghubungkan praktik baik internasional dengan kebutuhan nasional. 

Forum ini secara khusus menghadirkan dua dialog kebijakan, yakni Sesi bertajuk Brain Drain: Membangun Kemitraan Global dalam Pendidikan dan Riset untuk Masa Depan Indonesia, serta Benchmarking Kemitraan Global Dalam Pendidikan dan Riset

Turut hadir dalam sesi diskusi sejumlah narasumber, seperti Direktur Jenderal Riset dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek), Fauzan Adziman, Director of Talent Management BRIN, Ajeng Arum Sari, dan Deputi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Pungkas Bahjuri Ali. 

Hadir pula Deputy Director DAAD Regional Office Jakarta, Muji Rahayu, Team Leader KONEKSI, Jana Claudine Hertz, Direktur Fasilitasi Riset LPDP Indonesia, Ayom Widipaminto, Wakil Rektor III UGM, Dr. Arie Sujito, dan Ketua Forum Direktur Politeknik Negeri se-Indonesia (FDPNI), Ahyar Muhammad Diah. 

Melalui diskusi, para pemangku kepentingan sepakat mendorong peta jalan kolaboratif yang terukur, mulai dari penguatan pendanaan riset yang efektif, program joint research dan joint degree, hingga insentif untuk menarik diaspora dan talenta global berkontribusi di dalam negeri. 

Dengan kebijakan berbasis bukti dan kemitraan inklusif, Indonesia diharapkan mampu mengubah tantangan menjadi modal strategis menuju ekosistem pendidikan dan riset yang berdaya saing global.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Ini 5 Zodiak yang Sering Dianggap Sok Asyik
• 22 jam lalutabloidbintang.com
thumb
Vietnam Kejar Indonesia di Klasemen Medali SEA Games 2025
• 3 jam lalucelebesmedia.id
thumb
Bupati Bekasi yang Terjaring OTT KPK Hartanya Rp79,168 Miliar, Punya Mobil Mewah Ford Mustang dan 31 Bidang Tanah
• 2 jam laluharianfajar
thumb
OTT KPK di Banten: Jaksa Ditangkap, Uang Rp 900 Juta Disita
• 18 jam lalukompas.id
thumb
Pantai Iran Berubah Jadi Merah Darah Setelah Diguyur Hujan Deras
• 22 jam laluokezone.com
Berhasil disimpan.