Apa yang Terjadi Jika Orang Kaya dan Kelas Menengah Sama-sama Menahan Belanja?

kumparan.com
4 jam lalu
Cover Berita

Mari kita bayangkan sebuah simulasi sederhana tentang bagaimana ekonomi bekerja—atau justru berhenti bekerja—bukan karena kekurangan uang, melainkan karena perubahan perilaku manusia dalam memandang masa depan.

Sebut saja tokohnya Fulan. Ia seorang kaya, mungkin juga seorang kapitalis. Portofolio investasinya lengkap dan terdiversifikasi: saham, reksa dana, SBN, deposito, properti, emas, bahkan kripto. Prinsip don’t put your eggs in one basket ia pegang erat. Baginya, diversifikasi bukan sekadar strategi finansial, melainkan cara bertahan hidup di tengah dunia yang penuh ketidakpastian.

Namun, ekonomi tidak pernah berdiri di ruang hampa. Setiap keputusan ekonomi, sekecil apa pun, selalu dipengaruhi oleh persepsi tentang masa depan. Ketidakpastian ekonomi global, potensi bencana, banjir konten pesimistis yang menyudutkan kinerja pemerintah, fluktuasi harga emas, hingga gejolak nilai tukar rupiah, perlahan membentuk cara pandang Fulan. Ia menjadi semakin berhati-hati. Keuntungan dari saham atau instrumen lain tidak ia alirkan ke konsumsi, melainkan ia konversi menjadi emas. Baginya, emas adalah simbol perlindungan, bukan sekadar aset.

Fulan juga memandang kesehatan sebagai bentuk investasi jangka panjang. Ia rajin berolahraga, menjaga pola makan, dan lebih sering mengonsumsi makanan hasil olahan sendiri. Ia jarang makan di warung atau restoran, yang menurutnya terlalu banyak menyajikan makanan tinggi karbohidrat. Akibatnya, ia lebih sering membeli bahan mentah dibandingkan produk siap konsumsi.

Dalam gaya hidup, Fulan mencerminkan pola umum orang-orang kaya. Ia tidak gemar belanja. Ia membeli hanya ketika ada kebutuhan nyata. Ia tidak tertarik tampil mewah, tidak merasa perlu memamerkan status sosial. Penampilannya sederhana, nyaman, dan fungsional. Jika pun berbelanja pakaian, ia memilih produk bermerek dengan kualitas tinggi dan usia pakai panjang. Pola ini membuatnya nyaris tak bersentuhan dengan UMKM, baik di sektor fesyen maupun kuliner.

Ketika Fulan Bukan Lagi Pengecualian

Masalah mulai muncul ketika Fulan tidak lagi berdiri sendiri. Bayangkan jika orang-orang seperti Fulan jumlahnya banyak. Atau lebih jauh lagi, seluruh kelompok kaya memiliki persepsi, ekspektasi, dan perilaku ekonomi yang serupa. Dalam situasi ini, uang tidak hilang, tetapi berhenti mengalir ke sektor riil. Ia berputar di lingkaran investasi, instrumen keuangan, dan transaksi antarsesama pemilik modal.

Situasi menjadi lebih genting ketika pola pikir ini menjalar ke kelas menengah. Dengan aspirasi untuk menjadi kaya, ditambah kecemasan atas masa depan, kelas menengah mulai meniru perilaku Fulan. Mereka menahan konsumsi dan memilih menabung. Padahal, kelas menengah adalah aktor paling vital dalam ekosistem UMKM. Merekalah pembeli utama di warung, kedai kopi, toko pakaian lokal, dan berbagai usaha kecil lainnya.

Ketika kelas menengah menahan belanja, dampaknya langsung terasa. Permintaan menurun, omzet UMKM tertekan, dan sektor riil kehilangan daya dorong. Ini bukan lagi soal gaya hidup hemat, melainkan soal sirkulasi ekonomi yang tersumbat.

Dalam kondisi seperti ini, kita menyaksikan paradoks yang kerap luput disadari. Negara tidak kekurangan uang, tetapi kekurangan peredaran uang. Kapital terkonsentrasi, namun tidak bertransformasi menjadi aktivitas ekonomi produktif. Yang terjadi hanyalah transaksi di hulu, sementara hilir mengering.

Konsekuensi akhirnya mudah ditebak. Ekonomi bergerak lambat, bahkan stagnan. Pertumbuhan melemah bukan karena rendahnya kapasitas produksi, melainkan karena permintaan yang sengaja ditahan. Mesin ekonomi kehilangan pelumasnya: konsumsi.

Peran Negara dalam Mengelola Persepsi

Pada titik ini, pertanyaan krusial muncul: apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?

Jawabannya tidak semata-mata fiskal atau moneter. Pemerintah tentu bisa memberi insentif, subsidi, atau stimulus. Namun, dalam situasi seperti ini, masalah utamanya terletak pada ekspektasi. Selama persepsi tentang masa depan ekonomi dipenuhi ketakutan, seberapa besar pun stimulus yang digelontorkan, uang akan tetap disimpan.

Pemerintah harus mampu membangun keyakinan bahwa masa depan ekonomi layak dihadapi dengan optimisme rasional. Di sinilah peran komunikasi publik menjadi krusial. Humas pemerintah tidak lagi cukup bersifat informatif; ia harus persuasif, kredibel, dan konsisten. Narasi-narasi negatif tentang ekonomi tidak boleh dibiarkan liar tanpa penyeimbang. Bukan untuk menutup-nutupi masalah, melainkan untuk mencegah pesimisme kolektif yang berlebihan.

Kepercayaan adalah variabel ekonomi yang sering diremehkan. Ketika masyarakat percaya, mereka berani membelanjakan uang. Ketika investor yakin, mereka tidak sekadar menumpuk aset defensif. Dan ketika keyakinan tumbuh, uang kembali beredar.

Pada akhirnya, ekonomi bukan hanya soal angka dan grafik. Ia adalah refleksi dari psikologi kolektif. Jika negara gagal mengelola persepsi, maka kehati-hatian individu yang rasional justru akan melahirkan stagnasi yang irasional. Dalam konteks ini, membangun optimisme bukanlah propaganda, melainkan prasyarat agar ekonomi tetap bernapas.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
329 Jenis Pangan Olahan Kedaluwarsa Ditemukan di Kupang Jelang Nataru
• 24 menit lalumetrotvnews.com
thumb
RSUD Tanjung Pura dan RSUD Muyang Kute Kembali Layani Pasien Pascabencana Banjir
• 23 jam lalupantau.com
thumb
10 Gedung di Jakarta Kena SP1 Buntut Kebakaran Maut Terra Drone, Lokasinya Dirahasiakan
• 7 jam lalusuara.com
thumb
IHSG Diproyeksi Melemah ke Level 8.550-8.600, Simak Rekomendasi Saham Hari Ini
• 24 menit lalukumparan.com
thumb
Kurangi Emisi 7.000 Ton Karbon, OT Group Andalkan PLTS Atap
• 23 jam lalurepublika.co.id
Berhasil disimpan.