Jakarta: Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi tata kelola minyak mentah kembali digelar pada Selasa, 16 Desember 2025. Dalam persidangan tersebut, jaksa menghadirkan saksi dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), yakni Pema Global Energi (PGE) dan Petronas Cari Gali (PCG).
Para saksi mengungkap proses penawaran dan ekspor minyak mentah yang disebut berlangsung sesuai ketentuan, tanpa adanya kesepakatan tersembunyi antara perusahaan pelat merah di sektor perminyakan dan KKKS.
Saksi dari PGE, Elly Gustiawan, dan saksi dari PCG, Wimboh Nowo Nugroho, menyatakan mekanisme penawaran minyak mentah kepada perusahaan pelat merah dilakukan sesuai prosedur yang berlaku. Keduanya menegaskan tidak pernah terjadi kesepakatan atau pengaturan khusus yang menguntungkan pihak tertentu.
Dengan demikian, keputusan ekspor yang dilakukan bukan penolakan sepihak, melainkan akibat tidak tercapainya kesepakatan harga antara para pihak.
Elly Gustiawan menjelaskan PGE telah melakukan penawaran minyak mentah kepada KPI sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pada 2023, PGE mengajukan penawaran minyak mentah dengan acuan harga ICP Arun ditambah premium sebesar USD1. Namun, penawaran tersebut belum menghasilkan kesepakatan.
PGE kemudian kembali mengajukan penawaran pada Oktober dengan memberikan waktu tenggang negosiasi selama 20 hari, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ESDM.
Menurut Elly, selama masa tersebut terjadi beberapa kali korespondensi. Namun hingga batas waktu yang ditentukan, kedua belah pihak tidak mencapai kesepakatan.
Karena tidak tercapai kesepakatan komersial, PGE mencari pembeli lain untuk menyalurkan minyak mentah tersebut. Ekspor akhirnya dilakukan dengan harga realisasi ICP Arun minus USD0,9.
Dia juga menjelaskan volume ekspor yang disepakati dalam perjanjian sesuai ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan.
Keterangan serupa disampaikan Wimboh Nowo Nugroho dari PCG. Dia menegaskan setiap produksi minyak mentah Petronas selalu ditawarkan terlebih dahulu kepada perusahaan pelat merah.
Proses penawaran tersebut dilakukan melalui mekanisme internal yang melibatkan tim komersial dan mengacu pada referensi harga pasar.
“Penetapan harga tersebut ada tim komersial dan referensi pasar. Karena harga acuan pasar adalah yang utama,” kata Wimboh dalam persidangan dilansir pada Kamis, 18 Desember 2025.
Baca Juga: Sidang Minyak Mentah, Mekanisme Harga BBM Dibeberkan
Wimboh mengungkapkan pada 11 Januari 2021, perusahaan pelat merah menyampaikan konfirmasi tidak mengambil minyak mentah yang ditawarkan Petronas. Setelah itu, Petronas menempuh langkah sesuai regulasi dengan mengajukan permohonan rekomendasi kepada SKK Migas untuk melakukan ekspor.
Langkah tersebut dilakukan karena tidak ada kewajiban bagi KKKS untuk tetap menjual minyaknya kepada perusahaan minyak negara apabila tidak tercapai kesepakatan harga.
Para saksi menegaskan ketentuan perundang-undangan memang tidak mewajibkan terjadinya transaksi apabila kedua belah pihak tidak menemukan kesepakatan komersial. Dalam kondisi demikian, KKKS diperbolehkan menjual atau mengekspor porsi minyaknya kepada pembeli lain, sepanjang seluruh persyaratan administratif dan perizinan dipenuhi.
Minyak yang ditawarkan ini merupakan minyak bagian atau jatah KKKS. Dalam kontrak minyak, ada yang disebut bagian negara dan bagian KKKS. Sementara itu, bagian negara telah diserap oleh perusahaan pelat merah, bagian KKKS bisa dioptimalkan oleh KKKS untuk ditawarkan ke perusahaan pelat merah secara business to business. Jika tidak terserap, bisa diekspor dan hasilnya merupakan pendapatan milik KKKS yang masuk ke rekening devisa KKKS.
Rangkaian kesaksian ini sekaligus menunjukkan sejumlah terdakwa, yakni Sani Dinar Saifuddin selaku Direktur Optimasi Feedstock & Produk di PT KPI, Agus Purwono selaku VP Feedstock Management KPI, dan Yoki Firnandi selaku mantan Direktur KPI tidak terlibat dalam proses penolakan maupun penetapan ekspor minyak mentah, serta tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari prosedur.
Dalam dakwaan, mereka disebut menolak tujuh penawaran minyak KKKS dengan alasan harga tidak ekonomis. Dakwaan menyatakan penolakan dilakukan untuk mengecilkan ketersediaan minyak domestik, sehingga ada alasan impor minyak mentah dengan harga lebih tinggi.
Para saksi menegaskan seluruh tahapan penawaran, negosiasi, hingga ekspor dilakukan di tingkat operasional dan komersial sesuai dengan mekanisme B to B, regulasi yang berlaku, tanpa adanya instruksi atau intervensi yang melanggar tata kelola.



