Pertanyaan muncul sejak memasuki Taman Budaya Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Minggu (14/12/2025) malam. Pengunjung diberi segenggam gabah kering dalam plastik bening sebelum menonton pertunjukan teater tubuh bertajuk Kate oleh Teater Mahib’e, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman Samarinda.
Di sebuah lapangan terbuka, penonton duduk beralas terpal di tiga area. Suara kasar muncul dari sudut kanan panggung: seorang aktor wanita duduk menampi beras yang bercampur dengan bongkahan batubara.
Suara konstan yang kasar, berat, dan monoton menjadi latar musik yang mengusik sekaligus memberi pertanyaan lanjutan: kenapa batubara ditampi dengan gabah?
Di sudut berbeda, seorang aktor lelaki lari di tempat nyaris sampai akhir pertunjukan yang berlangsung sekitar 30 menit tersebut. Melihatnya dan mendengarkannya saja, penonton bisa melihat kebosanan dan kelelahan pada tubuh para aktor.
Ketegangan tak berhenti. Dua aktor berbadan tambun masuk dengan menggelindingkan tong besi mengelilingi arena utama lapangan, menghasilkan bising yang mengganggu.
Penonton tak dibiarkan tenang. Fokusnya dipecah dengan masuknya aktor lain dari empat sudut lapangan, dan adegan lain terus berjalan di masing-masing sudut. Kebisingan, riuh adegan, dan hal chaos berhambur menjadi satu kesatuan pertunjukan.
Kekerasan, jika bisa disebut demikian, muncul melalui tong besi yang dipukul dengan tongkat oleh dua aktor berkali-kali. Di dalam tong, seorang aktor mengenakan jas hitam duduk di dalamnya. Saat tong berkali-kali dipukul dengan ritme tak beraturan, ada penonton beristighfar beberapa kali.
”Aku dengar suara penontonnya ’astaghfirullah’ gitu. Aku duduk dekat penonton itu,” kata seorang penonton, Tantra (39), dalam obrolan seusai pertunjukan.
Pada bagian itu, setidaknya teater tubuh Kate bisa menyampaikan rasa ke penontonnya berupa kengerian dan kesakitan lain. Sesuatu yang mungkin tak didapatkan seseorang ketika membaca berita sebuah konflik di suatu tempat. Tanpa kata-kata, teater tubuh ini memberi spektrum rasa yang begitu luas kepada penontonnya.
Teater tubuh dengan aktor para mahasiswa ini berangkat dari riset karya jurnalistik. Mereka mengumpulkan, memilih, dan membaca berbagai berita tentang pertambangan di Kaltim.
Dalam perjalanan awal, sutradara Wawan Soerawan (33) yang merupakan alumnus Teater Mahib’e tak puas dengan data yang sudah mereka kumpulkan.
Berkat seorang kawan, ia akhirnya dikenalkan dengan MS Ardan (28), jurnalis lepas yang menulis untuk beberapa media asing dan dalam negeri. Ardan kemudian memberi sejumlah naskah hingga dokumentasi berupa foto dan video yang pernah ia tulis tentang konflik akibat tata kelola batubara di Muara Kate, Kabupaten Paser.
Di Muara Kate, pada November 2024, seorang pendeta meninggal terlindas truk pengangkut batubara yang melintasi jalan umum, sesuatu yang melanggar peraturan daerah. Bukan penegak hukum, melainkan warga yang akhirnya mengadvokasi diri sendiri. Mereka membuat posko untuk melarang truk melintas.
Warga berjaga siang-malam untuk memantau truk. Namun, pada suatu malam, warga yang tidur di posko diserang. Warga bernama Rusel (60) tewas dan korban lainnya, Anson (55), luka berat. Tak ada saksi yang melihat pelaku karena kondisi gelap.
Delapan bulan kemudian, Polda Kaltim mengumumkan satu tersangka berinisial MT (60) sebagai pelaku pembunuhan Rusel dan percobaan pembunuhan Anson. Penetapan tersangka berdasar saksi kunci, kata polisi. Padahal, MT juga dikenal warga sebagai penolak truk batubara yang melintasi jalan umum di Muara Kate.
Dengan cerita demikian, pertunjukan teater tubuh Kate jauh dari hal-hal kronologis seperti itu. Tak ada kata-kata terlontar dari belasan aktor. Hanya ada gerakan, erangan, dan simbol-simbol yang mereka bawa sebagai properti dan kostum.
Karya jurnalistik yang ketat dalam fakta, bukti, dan sebisa mungkin tak multitafsir diterjemahkan lebih lentur melalui teater tubuh. Penonton diberi kebebasan menerjemahkan erangan, adegan, dan simbol-simbol yang ada.
”Ada energi dan rasa yang beda menontonnya. Penonton bisa melihat dan mendengar langsung. Unsur proximity (kedekatannya) lebih nyata,” kata Ardan, merespons karya jurnalistiknya yang diterjemahkan ke dalam teater tubuh.
Sutradara Wawan Soerawan menyebut salah satu tantangan utama menangkap konflik dalam teater tubuh adalah penjiwaan aktor yang tubuhnya tak bersinggungan langsung dengan isu konflik yang dibawa.
”Tubuh mereka (aktor) bergerak bukan tubuh konflik sama sekali. Itu tubuh yang mekanis,” katanya.
Namun, jika dibaca dari sisi lain, Wawan sebenarnya tidak hanya menunjukkan konflik melalui tubuh aktor. Ia menghadirkan spektrum pengalaman konflik kepada aktor itu sendiri. Para aktor terlihat berkeringat, tubuh bergetar, hingga ada yang sedikit pincang berjalan seusai pertunjukan.
Dalam titik itu, aktor mengalami kesakitan dan penderitaan dalam bentuk lain, hal yang mungkin juga dialami oleh tubuh warga di Muara Kate yang terlibat konflik dan masalah akibat tata kelola batubara yang tak kunjung usai. Para aktor bukan memerankan, tetapi mencoba mendekati pengalaman konflik itu sendiri.
Pertanyaan awal terjawab satu per satu. Gabah yang dibagikan kepada penonton dan gabah yang ditampi bersama batubara oleh aktor adalah perebutan ruang untuk perut yang aman.
Pengusaha tambang mencari makan dari tambang batubara, dan warga membuat posko sekadar untuk mendapat rasa aman untuk mencari makan.
Agaknya, pertunjukan Kate ingin berbicara ternyata di negeri ini untuk sekadar mencari makan yang aman harus dilakukan dengan melawan. Termasuk ke pengadilan, hal yang dijalani MT, penolak truk batubara melintasi jalan umum yang diperkarakan hukum.
Itu terlihat di akhir pertunjukan saat muncul sosok tinggi lebih dari dua meter mengenakan toga yang biasa dipakai hakim. Ia seperti sosok Themis, dewi keadilan dalam mitologi Yunani. Namun, sang Themis akhirnya tersungkur, diiringi latar belakang musik dan lagu dengan lirik demikian:
Sementara negeri ini
Entah siapa yang miliki
Sampai mati kami tetap berdiri
Melihat pertunjukan tersebut, anak-anak muda di Samarinda telah melangkah ke tahap lain dalam melihat konflik. Jika membaca karya jurnalistik tak cukup menggugah dan merasakan masalah di tempat lain, melalui teater tubuh mereka menghadirkan pengalaman konflik tersebut dari tubuh-tubuh para aktor.
Pertunjukan ditutup dengan lirik lagu: mati melawan mati tertawan//mati melawan mati tenggelam//mati melawan mati tertawan//hanya itu saja jadi pilihan
Lewat larik lagu yang menutup panggung, mereka seperti sedang melempar sebuah pertanyaan dingin ke pangkuan penonton: Masihkah kita punya tempat di sini? Ternyata, di negeri ini, menjadi orang biasa yang hidup tenang bukanlah hadiah cuma-cuma dari negara.





