Roh di Panggung: Eksperimen Teater Bahar Merdhu di FTI 2025

harianfajar
9 jam lalu
Cover Berita

FAJAR, JAKARTA – Alihwahana cerpen Putu Wijaya oleh Andi Bahar Merdhu membongkar keseriusan realisme teater di panggung FTI 2025 Jakarta.

Di panggung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Festival Teater Indonesia (FTI) 2025 menutup perjalanannya dengan sebuah pertunjukan yang ganjil, cair, sekaligus mengusik konvensi. Teater Roh, garapan sutradara Andi Bahar Merdhu, tampil sebagai salah satu sajian paling segar di titik terakhir festival yang berlangsung pada 14–16 Desember 2025.

Roh merupakan alihwahana dari cerpen legendaris karya Putu Wijaya dengan judul yang sama. Bagi Bahar Merdhu, teks pendek itu bukan sekadar bahan adaptasi, melainkan pengalaman personal yang telah lama mengendap. Ia pertama kali membaca cerpen Roh pada era 1980-an di sebuah perpustakaan. Kisah itu menempel kuat dalam ingatannya, bahkan serpihannya kerap muncul dalam naskah-naskah awal yang ia tulis untuk kelompok teater Petta Puang—kelompok yang ia dirikan dan dikenal konsisten mengolah teater rakyat.

Cerita Roh berpusat pada seorang pembantu rumah tangga bernama Roh yang ingin merayakan ulang tahunnya. Ia melihat keluarga majikannya dan para tetangga merayakan hari lahir mereka dengan meriah. Roh, yang berasal dari keluarga pemain tonil di kampungnya, merasa berhak atas kegembiraan yang sama. Konflik muncul ketika keinginannya berkembang: setelah satu pesta ulang tahun diizinkan, ia menuntut pesta berikutnya pada pekan selanjutnya. Keluarga majikan pun gerah.

Dari situ, teror dimulai. Roh melancarkan “gangguan” di rumah majikannya dengan memanfaatkan keterampilan tonil yang ia miliki. Namun alih-alih menjebak penonton dalam horor realistis, Bahar Merdhu justru membelokkan cerita ke wilayah permainan. Di akhir pertunjukan, seluruh ketegangan dibongkar: semua yang terjadi di atas panggung hanyalah sandiwara. Konvensi teater realis—tentang ilusi, alienasi, dan kesungguhan akting—dilipat dan ditertawakan.

Aktor-aktor sengaja berakting seperti sedang bermain-main. Adegan makan dilakukan “seolah-olah”, begitu pula minum, berjualan sayur, bahkan menjadi pembantu. Simbol-simbol dibiarkan terbuka. Penonton diajak sadar bahwa apa yang mereka saksikan adalah konstruksi.

“Alihwahana bagi saya berlapis-lapis,” ujar Bahar Merdhu. “Dari membaca cerpen Putu Wijaya, mengendap kuat di kepala, lalu pindah ke naskah, dan berkembang lagi ketika membuat adegan di panggung.”

Ia bahkan membayangkan dirinya sedang “mengendalikan” Putu Wijaya—memperlakukan pengarang cerpen itu sebagai Roh itu sendiri, dengan tonil sebagai medium persembahan.

Penokohan, logika ruang, latar waktu, hingga bloking diperlakukan sebatas prinsip dasar. Ada kesan nyinyir terhadap keseriusan pakem realisme teater. Salah satu dialog nyonya yang menegur Roh karena membelakangi penonton menjadi satire terang-terangan atas konvensi panggung yang mapan.

Keunikan lain muncul dalam adegan pesta ulang tahun Roh. Beberapa penonton diajak naik ke panggung untuk menjadi tamu pesta. Suasana semakin riuh dengan hadirnya atraksi kuda lumping—mengingatkan pada akar teater rakyat yang selalu menjadi rujukan Bahar Merdhu.

Maestro teater dan sastrawan Asia Ram Prapanca menyebut publik Jakarta tampak terpukau menyaksikan pertunjukan ini. Menurutnya, gaya teror dan mistik khas Putu Wijaya diramu dengan kelucuan ala teater rakyat yang menjadi ciri Petta Puang.

“Bagi saya, Roh menciptakan sirkulasi ilusi di setiap momen, selalu dibarengi canda yang membuat penonton geer,” kata Asia Ram. “Terornya mencekam tapi lembut. Namun pada akhirnya diakui sebagai lenong belaka. Bahkan para pemain membongkar diri mereka sendiri—semua hanyalah sandiwara. Penonton terpukau oleh gaya Andi Bahar Merdhu yang bisa disebut hiper-realis.”

Dalam diskusi pascapertunjukan, para kurator FTI memuji Roh sebagai alihwahana cerpen ke teater yang kreatif, inovatif, dan cerdas. Beberapa menyebutnya sangat berbeda dibanding pertunjukan peserta lain—berani, cair, dan tidak terjebak pada penghormatan tekstual yang kaku.

FTI 2025 menghadirkan lima kelompok teater dan seniman individu dari berbagai penjuru Indonesia. Jakarta menjadi kota terakhir setelah rangkaian pertunjukan sebelumnya digelar di Medan, Palu, dan Mataram. Festival ini menjadi ruang temu lintas kota sekaligus etalase dinamika teater Indonesia mutakhir.

Diselenggarakan oleh Titimangsa bekerja sama dengan PENASTRI (Perkumpulan Nasional Teater Indonesia), FTI 2025 didukung Direktorat Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan, Kementerian Kebudayaan RI. Di ujung perjalanannya, Roh hadir bukan sebagai penutup yang megah, melainkan sebagai ejekan cerdas terhadap keseriusan—dan justru karena itu, terasa paling hidup.(#)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Lakon Makutharama dan Etika Air dalam Budidaya Tambak
• 1 jam lalukumparan.com
thumb
Presiden Prabowo Lantik Enam Duta Besar RI, Ini Daftarnya
• 1 menit lalutvrinews.com
thumb
OPINI: Dominant Logic, Kodak versus Netflix
• 7 jam lalubisnis.com
thumb
Ledakan Terjadi di Warkop Makassar, Polisi Sebut dari Tabung Gas
• 14 jam laludetik.com
thumb
Simak Lokasi dan Jadwal SIM Keliling di Kota Tangerang Hari Ini, Jumat 19 Desember 2025
• 13 jam lalutvonenews.com
Berhasil disimpan.