Bisnis.com, JAKARTA — Dominant logic merupakan konsep sentral dalam kajian manajemen stratejik dan perilaku organisasi. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Prahalad dan Bettis (1986) sebagai kerangka berpikir utama yang mengarahkan bagaimana kelompok manajemen puncak memandang bisnis, menafsirkan lingkungan, serta mengambil keputusan strategis terkait alokasi sumber daya, diversifikasi, inovasi, dan pengelolaan risiko.
Dominant logic ibarat "peta kognitif bersama" yang mengkristal melalui pengalaman, nilai, proses, dan kebiasaan yang telah mengakar di organisasi, sehingga menuntun perilaku dan pengambilan keputusan di tingkat strategis (Bettis dan Prahalad, 1995).
Menurut Engelmann dan kawan-kawan (2020), dominant logic terdiri atas empat dimensi utama yang saling berkaitan. Dimensi pertama disebut shared mental models, yaitu cara pandang bersama yang dibangun oleh manajemen mengenai industri, pelanggan, ancaman, dan peluang.
Dimensi kedua dinamakan values and premises, yaitu asumsi dasar, prinsip, serta nilai-nilai yang diyakini sebagai fondasi pengambilan keputusan.
Dimensi berikut adalah organizational practices, yaitu kebiasaan, tata cara, dan rutinitas manajerial yang membentuk pola tindakan organisasi.
Dimensi terakhir adalah organizing structures, yaitu cara organisasi menstrukturkan sumber daya, fungsi, dan proses untuk mendukung visi strategis.
Keempat dimensi tersebut juga dikenal sebagai pilar dominant logic yang berinteraksi secara dinamis dan membentuk DNA organisasi, sehingga menentukan bagaimana organisasi merespon perubahan lingkungan maupun tantangan bisnis.
Sejak diperkenalkan, dominant logic telah mengalami perkembangan makna dan aplikasi. Bettis dan Prahalad (1995) menegaskan bahwa dominant logic tak hanya berperan sebagai filter pemrosesan informasi atau sense-making mechanism tetapi juga sebagai penuntun arah aksi dan strategi organisasi.
Dominant logic dapat menjadi kekuatan pendorong perubahan (enabler), namun juga berpotensi menjadi penghambat (liability) jika organisasi terjebak pada pola pikir lama sehingga gagal menangkap peluang disruptif (Brandtner dan Freiling, 2020).
Contohnya, studi mengenai industri utilitas di Jerman menunjukkan bahwa dominant logic yang terlalu mengeksploitasi pola lama justru menghambat kemampuan eksplorasi dan adaptasi terhadap transisi energi baru.
Organisasi yang mampu melakukan explorative turn dengan menyeimbangkan learning dan unlearning, serta mengadaptasi dominant logic, menjadi lebih tahan banting dan inovatif (Brandtner dan Freiling, 2020).
Sedangkan dalam konteks liberalisasi industri pos di Nordic, perubahan dominant logic dari orientasi kerjasama ke kompetisi melalui merger perusahaan membawa transformasi mendasar dalam strategi (Sund, 2020).
Prahalad dan Bettis (1986) menghubungkan dominant logic secara erat dengan strategi diversifikasi. Mereka menemukan bahwa pola diversifikasi yang berhasil selalu didasarkan pada konsistensi dominant logic antara unit bisnis dan visi manajemen puncak.
Jika organisasi melakukan diversifikasi tanpa sinergi cara berpikir, kinerja cenderung buruk karena antar unit bisnis tak terhubung satu sama lain.
Dengan kata lain, keterhubungan antara dominant logic dan portofolio bisnis menjadi penentu keberhasilan strategi diversifikasi (Bettis dan Prahalad, 1995).
Studi empiris selanjutnya menemukan bahwa adaptive capacity, kemampuan pemecahan masalah kompleks, dan dynamic dominant logic menjadi katalisator penting dalam menjaga keunggulan kompetitif perusahaan, terutama di lingkungan VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity).
Ketika dominant logic bersifat dinamis, organisasi mampu menangkap sinyal eksternal dan melakukan rejuvenasi strategi untuk mempertahankan performa bisnis (Dwipayana, 2022).
Salah satu isu utama dalam teori dominant logic adalah peranannya yang paradoks: apakah dominant logic (selalu) bernilai tambah, ataukah bisa juga menjadi penghambat? Brandtner (2021) menyoroti bahwa dominant logic dapat memberikan arah, memastikan konsistensi proses, dan menjaga fokus organisasi—namun di sisi lain bisa menjadi blinder yang menutupi potensi perubahan dan inovasi.
Oleh sebab itu, organisasi di era digital dan perubahan cepat harus mampu melakukan evaluasi dan adaptasi dominant logic secara berkala, termasuk refleksi terhadap learning, unlearning, dan pengelolaan pengetahuan lama dan baru (Khan dan kawan-kawan, 2019).
Salah satu perusahaan besar yang menjadi korban dominant logic sebagai blinder adalah Kodak. Kodak tak mampu menyesuaikan dominant logic-nya sehingga tersapu oleh arus perubahan yang cepat dan kuat.
Kodak gagal karena terlalu kuat mempertahankan nilai-nilai dan praktik “film-based business”. Kodak terlalu bangga sebagai pelopor teknologi digital imaging sehingga Kodak seolah lupa bahwa jaman sudah berubah (Lucas dan Goh, 2009). Kebanggaan yang semakin lama semakin semu yang akhirnya menjadi blinder (membutakan mata manajemen puncaknya).
Yang terjadi pada Netflix justru sebaliknya. Sekian tahun yang lalu hampir tak ada yang mengenal Netflix. Ya tentu saja karena Netflix “hanyalah” perusahaan penyewaan DVD berbasis pengiriman pos. Namun, manajemen puncak memiliki dominant logic yang tak kaku.
Melihat tren digitalisasi dan disrupsi video streaming, manajemen puncak Netflix melakukan “logic shift” ke bisnis streaming dengan menekankan pada personalisasi tayangan berbasis data pelanggan dengan memanfaatkan kecerdasan buatan, serta menawarkan tayangan film-film yang eksklusif (Netflix Originals) (John, 2011).
Transformasi dynamic logic tersebut memungkinkan Netflix menjadi pionir di industri streaming global dan meninggalkan model bisnis lamanya sebelum terdisrupsi.
Apa manfaat praktis dari dominant logic? Mengacu pada penjelasan di atas, dominant logic memiliki sejumlah implikasi praktis bagi organisasi. Implikasi pertama adalah dominant logic dapat memastikan kesesuaian visi, nilai, dan orientasi aksi antara manajemen dan unit bisnis, sehingga strategi dapat diimplementasikan secara konsisten dan efektif.
Implikasi berikutnya adalah organisasi yang mampu memelihara dominant logic secara dinamis lebih terbuka terhadap inovasi, eksplorasi, dan adaptasi pada perubahan lingkungan.
Implikasi ketiga adalah dominant logic dapat menjadi filter utama dalam mengenali, menafsirkan, dan mengelola risiko sehingga dapat memberikan pilihan stratejik lebih tepat.
Implikasi terakhir adalah kinerja perusahaan dapat meningkat jika dominant logic selaras dengan tuntutan kompetitif, portofolio bisnis, dan perubahan eksternal.
Kunci keberhasilan perusahaan seperti Netflix yang mampu mengadaptasikan dan mentransformasikan dominant logic-nya sebenarnya sederhana, yaitu berani melakukan learning dan unlearning secara serempak. Learning dan unlearning ini harus diikuti dengan adopsi budaya dan struktur organisasi yang fleksibel dan terbuka terhadap inovasi, serta menjadikan digitalisasi, data analytics, dan umpan balik konsumen sebagai core logic yang baru.
Dua hal ini perlu diikuti dengan rekonfigurasi sumberdaya dan pengembangan ekosistem kemitraan. Hal yang tak kalah pentingnya adalah konsistensi manajemen puncak dalam menjalankan strategi dan mengambil keputusan dengan selalu mengacu pada perubahan lingkungan eksternal.
Strategi dan keputusan harus agile mengikuti tuntutan kebutuhan dan keinginan pasar. Dominant logic tetap menjadi kerangka kognitif dan budaya manajemen yang secara stratejik membentuk arah, proses dan adaptasi organisasi. Namun, pengelolaan dominant logic harus dilakukan secara dinamis agar dapat membawa keberhasilan di era perubahan yang disruptif dan kompleks.




