Air adalah jantung budidaya tambak. Tanpa air yang sehat, tidak ada udang, ikan, atau produktivitas yang bisa dipertahankan. Namun dalam praktiknya, air sering diperlakukan sekadar sebagai media produksi: diambil, dimanfaatkan, lalu dibuang ketika kualitasnya menurun.
Pola ini menjadikan budidaya tambak sebagai aktivitas yang rentan konflik lingkungan, terutama di wilayah pesisir yang daya dukungnya terbatas. Di tengah persoalan tersebut, lakon wayang Makutharama menawarkan refleksi etika yang relevan: kekuasaan—termasuk kuasa mengelola alam—selalu mengandung tanggung jawab moral.
Budidaya Tambak dan Krisis Air PesisirDalam dua dekade terakhir, budidaya tambak berkembang pesat, terutama tambak udang intensif. Produksi meningkat, tetapi tekanan terhadap lingkungan pesisir juga kian besar. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penurunan kualitas air di kawasan tambak disebabkan oleh akumulasi limbah organik, residu pakan, bahan kimia, dan lemahnya sistem pengolahan air buangan.
Studi kualitas perairan di wilayah pesisir Indonesia mencatat meningkatnya eutrofikasi dan pencemaran nutrien sebagai dampak aktivitas budidaya yang tidak terkelola secara terpadu (Peraut, 2023).
Masalahnya bukan semata pada teknologi, melainkan pada cara pandang. Air diperlakukan sebagai input yang bisa dikontrol sepenuhnya, padahal ia adalah bagian dari sistem ekologi yang dinamis.
Ketika daya dukung lingkungan terlampaui, penyakit muncul, produktivitas turun, dan konflik dengan masyarakat sekitar tak terhindarkan. Di banyak kawasan, budidaya tambak bahkan dipersepsikan sebagai ancaman terhadap sumber air bersih dan perikanan tangkap tradisional.
Kondisi ini menunjukkan bahwa krisis air dalam budidaya tambak bukan hanya persoalan teknis, melainkan juga persoalan etika dan tata kelola.
Makutharama: Kekuasaan yang Tidak Bebas NilaiLakon Makutharama dalam tradisi wayang Jawa berkisah tentang kekuasaan dan legitimasi kepemimpinan. Mahkota (makutha) bukan sekadar simbol kekuasaan, melainkan juga amanah yang menuntut kebijaksanaan. Seorang pemimpin dianggap layak memegang kekuasaan bukan karena kekuatannya, melainkan karena kemampuannya menjaga keseimbangan antara kepentingan manusia dan tatanan alam.
Dalam konteks budidaya tambak, pengelola tambak—baik perusahaan maupun individu—sejatinya memegang 'makutha' atas air dan lingkungan di sekitarnya. Mereka memiliki kuasa untuk mengatur aliran air, kualitas, dan pembuangannya. Namun seperti pesan Makutharama, kuasa itu tidak boleh dilepaskan dari tanggung jawab menjaga harmoni.
Wayang mengajarkan bahwa kekuasaan yang mengabaikan keseimbangan akan melahirkan kerusakan. Ini paralel dengan realitas budidaya tambak modern: ketika orientasi produksi jangka pendek mengalahkan prinsip keberlanjutan, kegagalan panen, wabah penyakit, dan degradasi lingkungan menjadi konsekuensi yang tak terelakkan.
Etika Air: Dari Kearifan Lokal ke Sains ModernDalam diskursus modern, etika pengelolaan air dikenal sebagai bagian dari water ethics, yakni pendekatan yang memandang air sebagai hak publik dan warisan ekologis lintas generasi. Jurnal Ecology and Society (2024) menekankan bahwa pengelolaan air yang berkelanjutan mensyaratkan tanggung jawab moral, bukan sekadar efisiensi ekonomi.
Prinsip ini sejalan dengan filosofi Jawa yang menempatkan air sebagai bagian dari harmoni kosmis. Dalam pandangan ini, merusak air sama artinya dengan merusak tatanan kehidupan. Pesan tersebut menemukan relevansinya dalam praktik budidaya tambak yang bergantung penuh pada kualitas air.
Pendekatan ilmiah yang banyak digunakan dalam pengelolaan air adalah Integrated Water Resources Management (IWRM). Menurut kajian Universitas Warmadewa (2023), IWRM menekankan integrasi antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta pentingnya partisipasi pemangku kepentingan. Namun, penerapan IWRM dalam konteks tambak sering kali terhambat oleh lemahnya koordinasi, minimnya pengawasan, dan kurangnya kesadaran etis pelaku usaha.
Di sinilah nilai Makutharama menjadi penting: etika kepemimpinan dan pengendalian diri harus berjalan seiring dengan instrumen teknis dan kebijakan.
Masalah Nyata Tata Kelola Air TambakSetidaknya ada tiga persoalan utama dalam tata kelola air budidaya tambak saat ini.
Pertama, fragmentasi pengelolaan air. Air tambak sering dikelola secara individual tanpa mempertimbangkan keterkaitannya dengan ekosistem sekitar. Penelitian tentang tata kelola daerah aliran sungai (DAS) menunjukkan bahwa pendekatan parsial ini mempercepat degradasi lingkungan pesisir (DAS Institute, 2023).
Kedua, penurunan kualitas air secara kronis. Pencemaran nutrien dan bahan kimia memperburuk stabilitas ekosistem tambak. Ketika kualitas air menurun, petambak cenderung merespons dengan menambah bahan kimia atau antibiotik, yang justru memperparah masalah jangka panjang (Peraut, 2023).
Ketiga, ketimpangan sosial dan konflik lingkungan. Studi implementasi SDGs 6 menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi berbasis air, termasuk tambak, sering berbenturan dengan kebutuhan air bersih masyarakat sekitar (JPTAM, 2024). Ini menandakan bahwa keberlanjutan tidak bisa dilepaskan dari keadilan distribusi sumber daya.
Membangun Etika Air dalam Budidaya TambakMenghadapi persoalan tersebut, solusi tidak cukup berbasis teknologi. Diperlukan perubahan paradigma.
Pertama, menempatkan etika air sebagai fondasi budidaya tambak. Air harus dipahami sebagai sistem hidup, bukan sekadar media produksi. Nilai Makutharama tentang pengendalian diri dan tanggung jawab pemimpin dapat menjadi kerangka etis dalam pengambilan keputusan budidaya, mulai dari kepadatan tebar hingga pengelolaan limbah.
Kedua, integrasi teknologi dengan tata kelola yang akuntabel. Riset tentang smart water management menunjukkan bahwa sensor kualitas air dan sistem pemantauan berbasis IoT dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi (Envirous UPN Jatim, 2024). Namun, teknologi hanya efektif jika didukung komitmen etis untuk menjaga lingkungan, bukan sekadar mengejar target produksi.
Ketiga, penguatan kolaborasi dan partisipasi. Model quintuple helix yang melibatkan pemerintah, pelaku usaha, akademisi, masyarakat, dan lingkungan terbukti memperkuat legitimasi dan keberlanjutan kebijakan sumber daya alam (JSDS UGM, 2023). Dalam konteks tambak, ini berarti pengelolaan air tidak boleh eksklusif, tetapi terbuka terhadap pengawasan dan dialog sosial.
Belajar dari Wayang untuk Masa Depan TambakMakutharama mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa etika hanya melahirkan kehancuran. Pesan ini sangat relevan bagi budidaya tambak modern. Ketika air diperlakukan semata sebagai alat produksi, krisis lingkungan hanya tinggal menunggu waktu.
Sebaliknya, jika air dipahami sebagai amanah—sebagaimana diajarkan dalam kearifan wayang—budidaya tambak dapat menjadi aktivitas yang produktif sekaligus berkelanjutan. Menggabungkan etika budaya dan pendekatan ilmiah bukanlah langkah mundur, melainkan strategi realistis untuk menjawab krisis air pesisir.
Pada akhirnya, budidaya tambak bukan hanya soal panen dan angka produksi, melainkan juga ujian kepemimpinan, kebijaksanaan, dan tanggung jawab manusia terhadap alam. Seperti dalam Makutharama, mahkota sejati bukan terletak pada kekuasaan, melainkan pada kemampuan menjaga keseimbangan kehidupan.




