ANALIS komunikasi politik Hendri Satrio resmi meluncurkan buku terbarunya berjudul Riah-Riuh Komunikasi di Universitas Paramadina, Jakarta, pada Kamis (18/12). Buku ini membedah dinamika komunikasi para pejabat publik di Indonesia dan menekankan bahwa komunikasi seharusnya menjadi pilar strategis dalam tata kelola pemerintahan, bersanding dengan pilar politik, ekonomi, dan hukum.
Pria yang akrab disapa Hensa ini menjelaskan, karya tersebut lahir dari keresahannya melihat pola komunikasi pejabat yang seringkali memicu polemik. Namun, ia juga memberikan apresiasi terhadap pola komunikasi tertentu yang dianggapnya berhasil.
“Ada hal positif yang saya sorot, misalnya komunikasi Presiden Prabowo dengan para mantan presiden seperti Pak SBY, Pak Jokowi, hingga Ibu Megawati. Itu komunikasinya baik dan ada landasan teorinya,” ujar Hensa.
Di sisi lain, Hensa memberikan catatan kritis terhadap sejumlah kasus viral, seperti pernyataan Kepala Presidential Communication Office (PCO) Hasan Nasbi terkait kasus ‘Kepala Babi’, hingga dinamika komunikasi publik seputar sosok Gus Miftah dan pelatih timnas Shin Tae-yong.
Ia mengingatkan para pejabat publik untuk kembali pada kerangka berpikir dasar dalam berkomunikasi guna menghindari kegaduhan.
“Pejabat harus ingat teori Harold Lasswell: Anda siapa? Apa yang dibicarakan? Kapan waktunya? Kepada siapa? Dan apa dampaknya? Komunikasi pemerintah tidak boleh dilakukan secara serampangan,” tegasnya.
Peluncuran buku ini juga dibalut dengan misi kemanusiaan. Hensa menyatakan akan menyumbangkan 50 persen dari hasil penjualan buku untuk membantu korban bencana banjir di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat melalui IKA FIKOM UNPAD.
Peneliti BRIN, Siti Zuhro, yang hadir sebagai pembicara, menilai buku ini sangat relevan sebagai cermin bagi elit penguasa. Menurutnya, buku ini menawarkan panduan agar pengambil kebijakan dapat membangun komunikasi publik yang jernih dan berempati.
“Buku ini bisa menjadi pembelajaran bagi elit kita tentang bagaimana melakukan komunikasi yang efektif, clear, serta menggunakan empati dan nurani. Komunikasi yang tidak terkelola dengan baik hanya akan menimbulkan kegaduhan,” kata Siti Zuhro.
Senada dengan Siti, profesional media Helmy Yahya menekankan pentingnya strategi penyampaian pesan di era modern. Ia menilai banyak program bagus milik pejabat gagal di mata publik karena cara diseminasi yang salah atau kaku.
“Banyak pimpinan publik atau anggota DPR itu salah komunikasi. Komunikasi sekarang harus pakai gimmick agar didengar orang, karena keahlian membuat gimmick adalah bagian dari kredibilitas,” ungkap Helmy.
Sementara itu, CEO Good News From Indonesia, Wahyu Aji, menyoroti tantangan di era digital di mana setiap orang memiliki media di tangan masing-masing. Di tengah hiruk-pikuk informasi (noise), ia menekankan bahwa kejernihan pesan (clarity) adalah kunci utama agar narasi pemerintah tidak tenggelam.
Acara peluncuran buku ini turut dihadiri oleh sejumlah tokoh seperti Ekonom Wijayanto Samirin dan Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik Junaidi Rachbini. Selain buku ini, Hensa mengonfirmasi tengah menyiapkan dua buku lanjutan mengenai estafet ideologi tokoh bangsa, termasuk dari Soemitro Djojohadikoesoemo ke Prabowo Subianto.(H-2)




:strip_icc()/kly-media-production/medias/5450016/original/062479600_1766123934-Petugas_damkar_memadamkan_api_yang_membakar_rumah_dan_menewaskan_lima_orang_di_Penjaringan.jpeg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5348128/original/056093900_1757768912-Persijap-Fokus-Penuh-Tatap-Laga-Lawan-Arema-FC-1756347109.jpg)