Bagi mahasiswa, isu manajemen pemasaran dagang pasar juga menjadi bahan refleksi kritis terhadap arah pembangunan ekonomi. Apabila kebijakan terus lebih berpihak pada pertumbuhan ritel modern tanpa perlindungan dan pemberdayaan pasar tradisional, kesenjangan ekonomi berpotensi semakin melebar. Pasar tradisional bukanlah sektor yang lemah, melainkan sektor yang belum memperoleh kesempatan berkembang secara adil.
Pada akhirnya, penguatan manajemen pemasaran dagang pasar menuntut sinergi antara pedagang, mahasiswa, dan pembuat kebijakan. Mahasiswa memiliki posisi strategis sebagai penghubung antara teori akademik dan praktik lapangan, sementara kebijakan publik perlu bergeser dari fokus pembangunan fisik menuju pemberdayaan pemasaran dan pengembangan sumber daya manusia.
Dengan pendekatan tersebut, pasar tradisional tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga berkembang sebagai wujud ekonomi rakyat yang adaptif dan kompetitif.
Pasar tradisional tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlangsungnya kegiatan ekonomi, tetapi juga menjadi ruang interaksi sosial yang mencerminkan sistem ekonomi kerakyatan. Bagi mahasiswa—khususnya yang menekuni bidang ekonomi, pendidikan, dan kebijakan publik—pasar tradisional merupakan sarana pembelajaran nyata untuk memahami pertemuan antara konsep manajemen, strategi pemasaran, dan kebijakan pemerintah dalam praktik sehari-hari.
Namun demikian, pengelolaan pemasaran dagang pasar hingga saat ini masih dihadapkan pada berbagai persoalan struktural yang memerlukan peran dan perhatian serius dari negara.
Dilihat dari sudut pandang mahasiswa, lemahnya manajemen pemasaran di pasar tradisional tidak sepenuhnya berasal dari keterbatasan pedagang. Sebagian besar pedagang menjalankan usaha berdasarkan pengalaman turun-temurun tanpa dibekali pendampingan manajerial yang memadai.
Di sisi lain, kebijakan publik cenderung lebih menitikberatkan pada pembangunan fisik pasar, seperti perbaikan gedung atau relokasi, sementara penguatan kapasitas pemasaran dan pengembangan sumber daya manusia pedagang masih kurang mendapat perhatian.
Secara konseptual, manajemen pemasaran meliputi pengelolaan produk, penetapan harga, strategi promosi, serta hubungan dengan konsumen. Dalam praktik pasar tradisional, keempat unsur tersebut umumnya berjalan secara spontan tanpa perencanaan yang sistematis.
Kondisi ini menyebabkan pasar tradisional kesulitan bersaing dengan ritel modern dan platform digital yang memiliki sistem pemasaran terstruktur. Oleh karena itu, peran mahasiswa menjadi penting; bukan hanya sebagai pengamat, melainkan juga sebagai agen perubahan melalui kegiatan penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan dorongan terhadap kebijakan publik.
Dari aspek produk, mahasiswa dapat mengamati bahwa mutu dan kebersihan barang dagangan sangat bergantung pada fasilitas serta regulasi yang berlaku. Ketidakhadiran pengawasan dan edukasi yang berkelanjutan dalam kebijakan publik menyebabkan standar kualitas produk antarpedagang menjadi tidak seragam.
Pemerintah seharusnya tidak hanya menetapkan aturan, tetapi juga menyediakan pelatihan berkesinambungan terkait pengemasan, penataan lapak, dan keamanan pangan guna meningkatkan daya saing produk pasar tradisional.
Dalam hal penetapan harga, pasar tradisional memiliki kelebihan berupa fleksibilitas dan komunikasi langsung antara penjual dan pembeli. Namun, tanpa pedoman yang jelas, fleksibilitas tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian bagi konsumen.
Kehadiran kebijakan publik melalui penyediaan informasi harga, papan harga acuan, atau digitalisasi sederhana dapat mendorong transparansi tanpa menghilangkan budaya tawar-menawar. Bagi mahasiswa, kondisi ini menjadi contoh nyata bagaimana kebijakan mampu mengatur mekanisme pasar tanpa menghapus nilai lokal.
Sementara itu, kegiatan promosi pasar tradisional masih menjadi kelemahan utama. Banyak kebijakan berhenti pada ajakan normatif seperti “cinta pasar tradisional” tanpa didukung strategi pemasaran jangka panjang.
Melalui program kampus merdeka, KKN tematik, maupun inkubator kewirausahaan, mahasiswa dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk membantu pedagang memanfaatkan media sosial, layanan pesan antar, dan membangun citra pasar berbasis kearifan lokal. Kolaborasi tersebut akan berjalan lebih efektif apabila ditopang oleh kebijakan yang mendukung akses teknologi dan pendampingan berkelanjutan.
Hubungan antara pedagang dan konsumen sejatinya merupakan keunggulan utama pasar tradisional. Kedekatan sosial yang terjalin menjadi modal sosial bernilai tinggi. Namun, tanpa pengelolaan yang baik, keunggulan ini berpotensi terkikis oleh perubahan pola konsumsi masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan publik perlu memandang modal sosial sebagai aset strategis dengan mendorong terciptanya pasar yang ramah konsumen, bersih, dan inklusif.
Bagi mahasiswa, isu manajemen pemasaran dagang pasar juga menjadi bahan refleksi kritis terhadap arah pembangunan ekonomi. Apabila kebijakan terus lebih berpihak pada pertumbuhan ritel modern tanpa perlindungan dan pemberdayaan pasar tradisional, kesenjangan ekonomi berpotensi semakin melebar. Pasar tradisional bukanlah sektor yang lemah, melainkan sektor yang belum memperoleh kesempatan berkembang secara adil.
Pada akhirnya, penguatan manajemen pemasaran dagang pasar menuntut sinergi antara pedagang, mahasiswa, dan pembuat kebijakan. Mahasiswa memiliki posisi strategis sebagai penghubung antara teori akademik dan praktik lapangan, sementara kebijakan publik perlu bergeser dari fokus pembangunan fisik menuju pemberdayaan pemasaran dan pengembangan sumber daya manusia.
Dengan pendekatan tersebut, pasar tradisional tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga berkembang sebagai wujud ekonomi rakyat yang adaptif dan kompetitif.




/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2025%2F12%2F19%2F34251b10-06d9-38c9-9592-5540363b482e_jpg.jpg)
