Optimisme ekonomi Indonesia perlu dirangkai secara rasional dan tidak berbasis euforia semata. Di tengah perlambatan global, Bank Dunia mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 5 persen pada 2023 hingga 2024, angka yang relatif stabil dibanding banyak negara berkembang lain. Stabilitas ini memberi ruang untuk optimisme, tetapi hanya jika diarahkan pada fondasi yang tepat, terutama penguatan ekonomi domestik yang inklusif dan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, UMKM kerap disebut sebagai tulang punggung ekonomi nasional, bukan tanpa alasan. Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan lebih dari 64 juta unit UMKM menyerap sekitar 97 persen tenaga kerja nasional dan berkontribusi lebih dari 60 persen terhadap PDB. Namun, besarnya jumlah belum otomatis menjamin kekuatan struktural.
Persoalan utama UMKM terletak pada informalitas yang masih dominan. BPS mencatat lebih dari 55 persen unit usaha di Indonesia masih berada di sektor informal. Transisi dari informal menuju formal menjadi prasyarat untuk upscaling, tetapi proses ini tidak mudah.
Banyak pelaku usaha menghadapi biaya kepatuhan yang tinggi, keterbatasan literasi hukum dan rendahnya insentif jangka pendek. Solusinya tidak cukup dengan simplifikasi perizinan. Negara perlu menggabungkan insentif fiskal, pendampingan berbasis klaster dan integrasi dengan rantai pasok industri besar. OECD pernah menegaskan bahwa formalisasi UMKM hanya efektif jika disertai peningkatan produktivitas, bukan sekadar pencatatan administratif.
Isu bankability menjadi simpul berikutnya. Akses pembiayaan UMKM masih timpang. OJK mencatat porsi kredit UMKM berada di kisaran 20 persen dari total kredit perbankan, jauh dari ideal untuk ekonomi yang mengklaim inklusivitas.
Padahal, agenda transisi energi dan bioenergy membuka peluang substitusi dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi hijau. Investasi di sektor ini membutuhkan UMKM yang bankable dan terhubung dengan ekosistem keuangan berkelanjutan. Skema pembiayaan hijau, blended finance dan penjaminan negara harus diarahkan untuk mendorong UMKM masuk ke sektor energi terbarukan, bukan hanya menjadi penonton investasi besar.
Dalam lanskap politik, pertanyaan krusial adalah langkah konkret partai politik. Program ekonomi sering berhenti pada slogan keberpihakan UMKM tanpa peta jalan implementasi. Padahal, parpol memiliki instrumen legislasi dan pengawasan anggaran untuk memastikan insentif pajak, belanja pemerintah dan proyek strategis nasional benar-benar membuka ruang bagi pelaku usaha lokal. Tanpa keberanian politik, UMKM akan tetap berada di pinggiran industrialisasi.
Stabilitas inflasi juga menyimpan paradoks. Inflasi Indonesia relatif terjaga di kisaran 2 hingga 3 persen dalam dua tahun terakhir, tetapi tekanan harga pangan dan energi tetap dirasakan rumah tangga. Ini menunjukkan bahwa stabilitas makro belum sepenuhnya diterjemahkan menjadi kesejahteraan mikro.
Kesesuaian tingkat kemakmuran antarwilayah masih timpang. BPS mencatat rasio gini antarwilayah dan disparitas PDRB per kapita antara Jawa dan luar Jawa masih signifikan. Maka, industrialisasi dan investasi harus sensitif wilayah, tidak terpusat pada kantong lama pertumbuhan.
Keterlibatan asosiasi industri menjadi keharusan. Investasi dalam negeri akan lebih berkelanjutan jika asosiasi dilibatkan sejak perencanaan, terutama untuk memastikan transfer teknologi dan penyerapan UMKM lokal.
Di level regional, institusi regionalisme seperti ASEAN perlu memainkan peran lebih aktif dalam mendukung upscaling UMKM melalui harmonisasi standar, akses pasar dan pembiayaan lintas negara. Transformasi digital menjadi prasyarat mutlak. McKinsey memperkirakan digitalisasi UMKM dapat menambah nilai ekonomi Indonesia hingga ratusan miliar dolar pada 2030, tetapi tanpa literasi digital dan infrastruktur yang merata, potensi ini akan timpang.
Kredit Usaha Rakyat super mikro dapat menjadi booster jika dirancang sebagai pintu masuk ekosistem, bukan sekadar kredit konsumtif. Pendampingan usaha, integrasi dengan platform digital dan akses pasar harus berjalan paralel. Di sisi lain, agenda upstreaming perlu dijaga rasionalitasnya.
Fokus besar pada ekosistem kendaraan listrik menghadapi ketidakpastian, terutama dengan wacana pencabutan insentif global pada 2026. Optimisme terhadap 2026 harus bertumpu pada diversifikasi hilirisasi, tidak bertaruh pada satu sektor saja.
Masalah lain adalah infrastruktur harga mati, terutama di daerah terpencil, yang membuat biaya logistik tinggi dan mematikan daya saing UMKM. Tanpa intervensi negara dalam distribusi dan konektivitas, pasar tidak akan bekerja adil.
Di tengah itu semua, Indonesia berada di antara peluang besar yang datang dari timur dan barat. Ketegangan geopolitik membuka ruang relokasi industri, tetapi juga membawa risiko. Kerja sama internasional harus ditingkatkan dengan nuansa win win bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya bagi segelintir pelaku besar.
Kunci akhirnya terletak pada industrialisasi yang lengkap dan berimbang. Upstreaming harus berjalan tanpa keserakahan ekstraktif dan dengan kewaspadaan terhadap bencana. BNPB mencatat kerugian ekonomi akibat bencana mencapai puluhan triliun rupiah per tahun, menjadikannya faktor koreksi ekonomi yang nyata.
Geopolitik juga akan terus menjadi faktor negatif eksternal. Dalam kondisi ini, ekonomi inklusif bukan utopia, tetapi pilihan kebijakan. Optimisme 2026 hanya masuk akal jika Indonesia berani menata ulang arah industrialisasi, memperkuat UMKM secara struktural dan menempatkan keberlanjutan sebagai kepentingan bersama.
Di luar instrumen ekonomi konvensional, diversifikasi sumber pertumbuhan perlu diarahkan pada ekonomi berbasis budaya populer yang selama ini belum diposisikan sebagai instrumen strategis. Indonesia memiliki modal demografi dan kekayaan kultural yang besar, mulai dari musik, film, animasi, gim, fesyen, hingga konten digital berbasis narasi lokal.
Data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menunjukkan kontribusi ekonomi kreatif telah melampaui 7 persen terhadap PDB nasional dan menyerap jutaan tenaga kerja, terutama dari kelompok usia muda. Pengalaman Korea Selatan dan Jepang memperlihatkan bahwa budaya populer mampu menjadi mesin ekspor bernilai tinggi sekaligus instrumen diplomasi ekonomi yang efektif.
Dalam konteks Indonesia, penguatan ekosistem industri kreatif dapat menjadi jalur industrialisasi ringan yang relatif rendah risiko lingkungan, inklusif bagi UMKM, dan adaptif terhadap transformasi digital. Namun, pengembangan ini mensyaratkan perlindungan hak kekayaan intelektual yang kuat, skema pembiayaan kreatif yang bankable, serta keberpihakan negara dalam membuka akses pasar global.
Diversifikasi ini penting agar optimisme ekonomi tidak sepenuhnya bertumpu pada ekstraksi sumber daya alam atau satu sektor hilirisasi tertentu, sekaligus memperluas basis ekonomi inklusif yang tahan terhadap guncangan geopolitik.
(miq/miq)




