Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membatasi penerapan skema tadpole pada platform pinjaman daring (pindar). Skema ini hanya diperbolehkan jika memenuhi batas manfaat ekonomi, disampaikan secara transparan kepada peminjam dan pemberi dana, serta menjaga tingkat wanprestasi (TWP90) di bawah 5%.
Namun dalam praktiknya, skema tadpole kerap disalahgunakan oleh platform pindar nakal. Setidaknya terdapat tiga tipe utama skema tadpole bermasalah, yaitu:
Cicilan tidak merata dan interval tidak konsisten
Beban pembayaran besar ditempatkan di awal tenor. Contohnya, dari pinjaman Rp1 juta dengan total pengembalian Rp1,54 juta dalam 180 hari, peminjam diwajibkan membayar cicilan pertama Rp924 ribu pada hari ke-15. Artinya, lebih dari 60% total kewajiban harus dibayar di awal, sementara cicilan berikutnya memiliki nominal dan jarak waktu yang tidak beraturan.
Cicilan sama besar, tetapi jadwal pembayaran dipercepat
Meskipun nominal cicilan tampak seragam, misalnya Rp385 ribu per periode, jadwal pembayaran dibuat lebih rapat di awal dengan jarak hanya 15 hari. Dampaknya, peminjam memiliki waktu pemanfaatan dana yang jauh lebih singkat dari yang dipersepsikan peminjam saat pengajuan pinjaman.
Pencairan dana tidak penuh akibat potongan biaya di muka
Dari pengajuan Rp1 juta, peminjam hanya menerima sekitar Rp700 ribu karena adanya potongan biaya di awal. Namun, peminjam tetap diwajibkan mengembalikan Rp1,242 juta. Meski cicilan dan interval pembayaran teratur, selisih besar antara dana yang diterima dan kewajiban pembayaran menimbulkan beban ekonomi yang berat.
Skema tadpole tersebut menimbulkan sejumlah risiko serius, antara lain meningkatkan risiko gagal bayar, melanggar prinsip fair lending, merusak kepercayaan publik terhadap industri pindar, serta berpotensi melanggar ketentuan OJK terkait batas maksimum bunga, yakni 0,3% per hari untuk tenor di bawah enam bulan dan 0,2% per hari untuk tenor di atas enam bulan.


