FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pengacara sekaligus sastrawan politik, Ahmad Khozinuddin, menguliti Presiden Prabowo Subianto terkait penanganan bencana banjir dan longsor di Sumatera.
Ia menegaskan kebijakan pemerintah pusat justru berpotensi menjerumuskan rakyat korban bencana ke situasi yang lebih buruk.
Kritik itu mencuat menyusul keputusan Pemerintah Kota Medan yang secara resmi mengembalikan paket bantuan kemanusiaan dari Pemerintah Uni Emirat Arab (UEA).
Bantuan tersebut sebelumnya telah diterima, namun akhirnya dikembalikan demi menyesuaikan dengan kebijakan pemerintah pusat terkait penerimaan bantuan asing.
Wali Kota Medan, Rico Tri Putra Bayu Waas, menegaskan bahwa langkah pengembalian dilakukan setelah koordinasi intensif dengan kementerian terkait dan lembaga penanggulangan bencana nasional.
Dikatakan Ahmad, keputusan tersebut tak bisa dilepaskan dari sikap Presiden Prabowo Subianto yang hingga kini belum menetapkan bencana di Sumatera sebagai bencana nasional, sekaligus menutup pintu bantuan kemanusiaan dari dunia internasional.
Ia menuturkan, tidak ditetapkannya status bencana nasional berdampak serius pada efektivitas penanganan di lapangan.
Mulai dari keterbatasan mobilisasi sumber daya manusia, anggaran, hingga sarana dan prasarana penunjang penanggulangan bencana.
“Kehadiran negara tidak full power, bahkan terkesan sekedarnya dan ala kadarnya,” ujar Ahmad kepada fajar.co.id, Jumat (19/12/2025).
Ahmad juga menaruh perhatiannya pada dampak penolakan bantuan internasional yang dinilainya semakin mempersempit ruang bantuan bagi korban bencana.
Terutama mereka yang berada di wilayah terpencil dan sulit dijangkau pemerintah.
“Menutup bantuan internasional, makin menutup celah bantuan bagi korban yang boleh jadi tidak terjangkau oleh pemerintah namun dapat diakses oleh relawan internasional,” sebutnya.
Ia menegaskan, menolak bantuan asing sejatinya sah-sah saja, asalkan pemerintah memiliki kemampuan dan kapasitas penuh untuk menangani bencana secara mandiri.
Namun menurutnya, kondisi di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. “Kinerja pemerintahan Prabowo dapat dikategorikan sudah tak becus, sombong pula,” kata Ahmad.
Ia mengungkapkan fakta di lapangan yang menunjukkan banyak korban bencana masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, bahkan untuk makan dan akses listrik.
Ahmad merujuk pada laporan jurnalis CNN yang menggambarkan kondisi korban dengan penuh keprihatinan.
“Mereka kelaparan dan sangat bergantung pada bantuan relawan untuk mempertahankan hidup. Pasca bencana banjir, rakyat terancam bencana kelaparan,” lanjutnya.
Lebih jauh, Ahmad menduga ada kekhawatiran tertentu di balik keengganan pemerintah menetapkan bencana Sumatra sebagai bencana nasional.
Salah satunya, potensi audit terhadap penyebab banjir bandang yang disinyalir kuat berkaitan dengan deforestasi.
“Siapapun paham, sebabnya adalah deforestasi. Penyebab deforestasi selain karena adanya HPH, juga karena konversi lahan hutan menjadi industri sawit,” tegasnya.
Ia bahkan menyinggung dugaan keterkaitan oligarki sawit dan kepemilikan lahan di Aceh yang dinilai bisa menjadi faktor politis di balik sikap pemerintah.
“Apakah itu yang menjadi sebab keengganan Prabowo menetapkan bencana banjir Sumatera sebagai bencana nasional dan masih sombong menolak bantuan internasional?,” timpalnya.
Ahmad bilang, bencana yang menimpa rakyat Sumatra tidak semata-mata akibat faktor alam, melainkan buah dari kebijakan politik pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam dan hutan.
“Izin ugal-ugalan untuk industri sawit dan berbagai konsesi tambang adalah pangkal masalahnya. Dan bencana kelaparan akibat bencana tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah yang tidak mampu, tapi sombong menolak bantuan,” kuncinya. (Muhsin/fajar)





