UMK Semarang Bisa Naik 7%, Pengusaha Usul Gunakan Alfa 0,5

bisnis.com
1 jam lalu
Cover Berita

Bisnis.com, SEMARANG – Usai pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 49/2025, pembahasan di tingkat Dewan Pengupahan kembali berlanjut.

Di Kota Semarang, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) diperkirakan bisa naik hingga 7% lantaran perwakilan pemerintah daerah dan buruh sepakat untuk menggunakan nilai alfa 0,9 dalam formula upah minimum.

“Itu kan masih pembahasan, saya baru mengajukan proposal keberatan juga. Dari saya sih mengajukan 0,5 untuk alfanya,” ungkap Deddy Mulyadi, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Semarang, saat dihubungi Bisnis pada Jumat (19/12/2025).

Deddy menilai nilai alfa 0,9 masih terlalu tinggi untuk Jawa Tengah. Ada beberapa alasan yang diutarakan. Pertama, kondisi industri manufaktur di Jawa Tengah yang tidak baik-baik saja.

googletag.cmd.push(function() { googletag.display("div-gpt-ad-parallax"); });

Pelaku usaha masih merasakan penurunan permintaan ekspor dari negara mitra dagang utama seperti Amerika Serikat dan China. Faktor lain adalah masalah internal sektor manufaktur.

“[UMK] itu kan mempertimbangkan produktivitas dan efisiensi juga,” ucap Deddy.

Baca Juga

  • UMP dan UMK Jawa Barat 2026 Jika Naik 7,22%, Bisa Tembus Rp6,1 Juta
  • Resmi Terbit! Ini Aturan Formula UMP & UMK Terbaru yang Diteken Prabowo
  • Buruh Jatim Tolak Formula UMP Pemerintah: Hanya Terpisah Jalan, Selisih UMK Rp2 Juta

Di Jawa Tengah, termasuk di Kota Semarang, sektor padat karya mendominasi struktur industri manufaktur yang ada. Kondisi itu memerlukan perhitungan ongkos tenaga kerja yang sesuai dengan potensi pasar saat ini.

Untuk itu, Deddy merasa keberatan dengan usulan nilai alfa 0,9 dalam perhitungan UMK Semarang. Demikian pula dengan wacana penyetaraan upah minimum Jawa Tengah dengan provinsi lain di Pulau Jawa seperti yang disampaikan perwakilan buruh di Dewan Pengupahan.

“Dia [perwakilan buruh] kan membandingkan disparitas antara Jakarta, Semarang, Bekasi, tidak apple to apple. Bisnisnya kan beda, padat karya sama padat modal. Secara edukasi, secara keterampilan, pekerja di industri padat modal itu minimal S1 atau D3. Sementara di padat karya, semua tingkat dari SD pun diterima, itu seharusnya jadi satu pertimbangan,” jelas Deddy.

Upah minimum menjadi variabel operasional yang penting bagi keberlangsungan sektor industri. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan sejumlah keringanan pajak dan cukai, seperti pembatalan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) maupun cukai hasil tembakau (CHT), namun Deddy menilai pelonggaran itu sejatinya tidak dinikmati oleh pelaku usaha.

“Keringanan seperti cukai itu pada akhirnya dirasakan masyarakat. Tergantung juga dampaknya ke sektor industri, tapi dampaknya tidak bisa cepat. Cukai itu sebetulnya yang menanggung dan merasakan adalah masyarakat, bukan industri,” tutup Deddy.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Soal Desakan Bencana Nasional, Seskab Teddy:  Semua Bantuan Sudah dari Pusat Rp 60 Triliun
• 7 jam lalurealita.co
thumb
KONI Sulteng dan Gubernur Anwar Hafid Beri Apresiasi Tinggi Atlet Berprestasi di SEA Games 2025
• 15 jam lalutvonenews.com
thumb
Ahmad Dhani ungkap El Rumi akan menikah tahun depan
• 37 menit laluantaranews.com
thumb
Ratusan Juta Disita dalam OTT di Kalimantan Selatan, KPK Masih Hitung Totalnya
• 6 jam lalumediaindonesia.com
thumb
Dilema Orang Tua Menimbang Kuliah Anak, Stabilitas, dan Masa Depan
• 13 jam lalukumparan.com
Berhasil disimpan.