FAJAR, SEMARANG — Kedatangan Esteban Vizcarra dan Alberto Goncalves ke PSIS Semarang bukan sekadar transfer biasa. Dua nama ini membawa bobot simbolik yang besar: pengalaman panjang di sepak bola Indonesia, status pemain naturalisasi, serta rekam jejak di level tertinggi kompetisi nasional. Bagi publik Jatidiri, pengumuman keduanya terasa seperti sinyal kebangkitan—bahwa Laskar Mahesa Jenar tidak ingin berlama-lama terjebak dalam pusaran krisis di Pegadaian Championship Liga 2 musim 2025/2026.
Namun seiring euforia itu mereda, pertanyaan yang lebih substantif pun muncul: apakah rekrutan ini cukup untuk benar-benar mengangkat PSIS keluar dari keterpurukan?
Manajemen PSIS jelas bergerak agresif. Setelah sebelumnya mendatangkan Wawan Febrianto dan Ocvian Chanigio, PSIS kembali “membajak” Persela Lamongan dengan merekrut Vizcarra dan Beto Goncalves. Keduanya diperkenalkan secara resmi di Stadion Jatidiri dengan narasi besar tentang kepemimpinan, mental juara, dan pengalaman lintas generasi.
Vizcarra disambut dengan pesan simbolik—seolah meneruskan jejak pemain Argentina yang pernah menjadi pembeda di PSIS. Sementara Beto diperkenalkan dengan kalimat penuh optimisme: age is just a number. Sebuah pernyataan yang romantis dan inspiratif, tetapi tetap harus diuji dalam realitas sepak bola profesional yang keras dan tanpa kompromi.
Di sinilah persoalan mulai terasa kompleks.
Nama Besar, Dampak Nyata?
Jika menilik statistik musim berjalan, baik Vizcarra maupun Beto sebenarnya tidak datang dengan performa yang benar-benar meyakinkan. Bersama Persela Lamongan, Beto hanya mencatat satu gol dan satu assist dari sepuluh pertandingan. Vizcarra pun tak jauh berbeda, dengan satu gol dan satu assist dari enam laga.
Tentu, sepak bola tidak semata-mata soal angka. Ada dimensi tak kasatmata yang sering luput dari statistik: kepemimpinan di ruang ganti, ketenangan saat laga krusial, dan kemampuan mengatur tempo permainan. Dua pemain ini jelas unggul dalam aspek tersebut.
Namun kondisi PSIS saat ini menuntut lebih dari sekadar stabilitas mental. Klub berada di papan bawah klasemen, tekanan untuk bangkit sangat besar, dan target jangka pendeknya jelas: keluar dari zona merah sekaligus menjaga asa promosi. Dalam situasi seperti ini, rekrutan ideal adalah pemain yang bisa langsung mengubah wajah permainan, bukan hanya menenangkan suasana.
Keuntungan Nonteknis yang Tak Bisa Diabaikan
Tak bisa dipungkiri, gelombang hijrahnya pemain Persela Lamongan ke PSIS tidak terjadi dalam ruang hampa. Perpindahan Fariz Julinar dan Datu Nova Fatmawati ke PSIS sebagai CEO menciptakan efek struktural yang signifikan. Persela dikabarkan mengalami kekosongan manajemen serta persoalan finansial, membuat banyak pemain berada dalam situasi tidak pasti.
PSIS memanfaatkan momentum itu dengan cerdas. Stabilitas manajemen baru, visi yang lebih jelas, serta jaminan kompetisi membuat PSIS menjadi destinasi yang jauh lebih menarik dibanding klub-klub Liga 2 lain yang masih gamang secara struktural.
Namun justru di sinilah letak bahayanya. Keuntungan struktural bisa menjadi pedang bermata dua jika PSIS terjebak dalam pola rekrutmen “aman”—mengambil pemain berpengalaman yang tersedia, tanpa benar-benar meningkatkan level kompetitif tim.
Promosi Butuh Lebih dari Nostalgia
Jika PSIS benar-benar ingin menatap promosi dengan serius, langkah berikutnya harus lebih berani. Vizcarra dan Beto adalah pondasi, bukan puncak strategi. Keduanya bisa membantu menjaga stabilitas, tetapi tidak bisa sendirian menjadi motor kebangkitan.
Liga 2 adalah kompetisi yang keras, padat, dan sangat menuntut konsistensi fisik. Tim-tim yang berhasil promosi biasanya memiliki satu kesamaan: komposisi pemain yang bukan hanya berpengalaman, tetapi juga berada di usia produktif dan terbiasa dengan ritme Super League.
Idealnya, PSIS masih membutuhkan setidaknya tiga rekrutan kunci:
Satu bek tengah jebolan Super League yang mampu mengorganisasi lini belakang dan memenangi duel-duel krusial.
Satu gelandang box-to-box dengan stamina tinggi dan agresivitas untuk menghubungkan lini bertahan dan menyerang.
Satu penyerang usia 24–29 tahun yang masih lapar gol, punya mobilitas tinggi, dan mampu menjadi pembeda di kotak penalti.
Tanpa tambahan kualitas seperti ini, PSIS berisiko menjadi tim dengan banyak nama besar tetapi minim daya dobrak.
Komposisi Tim Masih Timpang
Hingga saat ini, PSIS telah merekrut tujuh pemain baru: Tegar Infantrie, Fahmi Al Ayyubi, Gustur Cahyo, Wawan Febrianto, Ocvian Chanigio, Esteban Vizcarra, dan Alberto Goncalves. Secara kuantitas, ini sudah cukup agresif.
Namun secara kualitas, distribusinya masih belum sepenuhnya seimbang. Beberapa rekrutan lebih berfungsi menutup lubang ketimbang meningkatkan level tim secara signifikan. Beban pun berpotensi jatuh terlalu besar di pundak Vizcarra dan Beto—sesuatu yang tidak ideal mengingat usia dan kondisi fisik mereka.
Momentum Tidak Boleh Hilang
PSIS saat ini berada di persimpangan penting. Manajemen baru membawa energi baru, kepercayaan publik mulai pulih, dan bursa transfer paruh musim memberikan ruang untuk melakukan koreksi besar.
Jika momentum ini hanya diisi dengan pragmatisme jangka pendek dan nostalgia nama besar, PSIS berisiko mengulang siklus lama: bertahan di Liga 2 tanpa arah yang jelas.
Sebaliknya, jika berani naik kelas—mendatangkan pemain level Super League yang masih “hidup” secara kompetitif—PSIS bisa menjelma menjadi kekuatan nyata di putaran kedua.
Esteban Vizcarra adalah simbol. Alberto Goncalves adalah pernyataan niat. Tetapi keduanya tidak boleh menjadi titik akhir ambisi PSIS Semarang.
Liga 2 tidak menunggu. Dan hanya klub yang benar-benar siap secara kualitaslah yang akan naik kelas. Jika PSIS ingin benar-benar meledak, satu pesan harus dipegang teguh: jangan berhenti di Vizcarra—lanjutkan dengan pemain level Super League.





