Literasi Kediri terus bertumbuh, mulai prasasti di masa Raja Airlangga, berdirinya percetakan Tan Khoen Swie di era kolonial, hingga perpustakaan dan ruang digital di era modern saat ini. Pola dasarnya tetap sama, di mana pengetahuan sebagai fondasi peradaban.
Jauh sebelum mesin cetak berdetak dan toko buku berdiri, Kediri telah memahat kata di batu, menyalinnya di daun lontar, lalu menyebarkannya lewat kertas cetak. Dari prasasti Airlangga hingga percetakan Tan Khoen Swie, perjalanan literasi ini menjelaskan mengapa Kediri tidak pernah benar-benar hilang dari peta sejarah Jawa. Bahkan ketika pusat kekuasaan berpindah, kerajaan runtuh, dan zaman berubah.
Tantangan literasi Kediri hari ini bukan kekurangan informasi, melainkan kemampuan membaca secara kritis dan reflektif. Sebagaimana para pujangga Kediri membaca dunia lewat kakawin. Di sinilah kesinambungan sejarah itu terasa nyata.
Kediri bertumbuh karena ia tidak pernah memutus hubungan dengan kata. Dari batu, lontar, kertas cetak, hingga data digital, kekuasaan kata tetap menjadi porosnya.
Sejarawan George Coedes dalam The Indianized States of Southeast Asia menegaskan bahwa kerajaan-kerajaan Asia Tenggara bertahan bukan semata karena kekuatan militer, melainkan karena kematangan administrasi dan budaya tulisnya. Dalam kerangka itulah Kediri dapat dibaca sebagai kota yang sejak awal memperlakukan kata sebagai instrumen kekuasaan, pengikat sosial, dan penjaga ingatan kolektif.
Prasasti Airlangga: Ketika Negara Dibangun dengan KataAwal abad ke-11 adalah masa rapuh dalam sejarah Jawa. Kerajaan Medang runtuh akibat konflik politik dan serangan luar. Pusat kekuasaan tercerai-berai, legitimasi negara melemah.
Yang menarik, Airlangga tidak memilih jalan ekspansi militer besar-besaran sebagai fondasi kekuasaannya. Ia justru memilih jalan pencatatan. Prasasti menjadi medium utama. Melalui prasasti, negara dibangun ulang bukan hanya secara teritorial, tetapi juga secara konseptual melalui bahasa, hukum, dan ingatan bersama.
Prasasti Pucangan, yang dikaji mendalam oleh epigraf J.G. de Casparis, tidak sekadar monumen batu, melainkan dokumen negara. Di dalamnya tercatat silsilah raja, legitimasi kekuasaan, pembagian wilayah, hingga keputusan politik strategis. Batu dipilih agar ingatan bertahan lintas generasi. Kata dipahat agar tidak mudah dihapus oleh perubahan zaman.
Prasasti-prasasti sima di wilayah Panjalu–Kediri memperlihatkan sistem administrasi yang maju, di antaranya hak dan kewajiban desa, status tanah, pengelolaan pajak, hingga penunjukan pejabat lokal. R.M. Ng. Poerbatjaraka menyebut tradisi ini sebagai bukti awal hukum tertulis dan akuntabilitas pemerintahan di Jawa Timur. Negara dijalankan dengan teks, bukan semata titah lisan.
Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno dipakai bukan untuk pamer elite, melainkan demi presisi makna dan legitimasi hukum. Denys Lombard dalam Nusa Jawa menyebut bahasa resmi kerajaan sebagai cara negara mengatur realitas. Di Kediri, sejak awal, kekuasaan bukan hanya dijalankan, melainkan ditulis, dibaca, dan diwariskan.
Kediri sebagai Kota Naskah dan Tradisi PengetahuanKetika era prasasti berangsur berkurang, literasi Kediri tidak berhenti. Ia bertransformasi. Dari batu ke daun lontar. Dari pernyataan kekuasaan ke refleksi etika, spiritualitas, dan estetika.
Abad ke-12 menandai puncak Kediri sebagai pusat sastra Jawa Kuno. P.J. Zoetmulder dalam Kalangwan menempatkan Kediri sebagai jantung kebudayaan intelektual Jawa Timur. Kakawin Bharatayuddha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh bukan sekadar adaptasi Mahabharata, melainkan tafsir politik tentang perang saudara, kepemimpinan, dan tanggung jawab moral seorang raja.
Naskah-naskah tersebut tidak hanya beredar di lingkungan keraton. Slamet Muljana mencatat bahwa padepokan, pertapaan, dan ruang spiritual seperti Goa Selomangleng berfungsi sebagai simpul transmisi pengetahuan. Membaca, menulis, dan merenung menyatu dengan laku hidup. Literasi menjadi jalan spiritual, bukan sekadar aktivitas intelektual.
Kediri tumbuh sebagai kota naskah. Kota yang percaya bahwa peradaban harus disalin agar dapat diteruskan. Daya tahannya dibangun bukan pada bangunan tinggi, melainkan pada gagasan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Masuknya Modernitas: Mesin Cetak dan Percetakan Tan Koen SwieMemasuki akhir abad ke-19, Kediri kembali berhadapan dengan perubahan besar. Kolonialisme membawa teknologi baru mesin cetak, yang mengubah lanskap literasi. Jika sebelumnya kata disalin dengan tangan, kini ia diproduksi secara massal.
Tahun 1905 di Kediri, Tan Khoen Swie mendirikan toko buku dengan nama "Tan Khoen Swie Sedia Boekoe Djawa Melajoe dan Ollanda". Momentum tersebut menjadi simpul penting perubahan. Ia dikenal sebagai pemilik toko buku, sekaligus penggerak literasi lokal pada masanya.
Pada tahun 1915 nama toko buku berganti menjadi "Boekhandel en Schryf Behoeften". Perubahan nama itu penanda dibukanya penerbitan oleh Tan Khoen Swie. Terdapat perkembangan intelektual dari seorang pedagang menjadi penerbit.
Dalam arsip kolonial Hindia Belanda dan kajian sejarah pers peranakan Tionghoa, mencatat bahwa percetakan Tan Khoen Swie menerbitkan ratusan judul dalam bahasa Jawa, Melayu, dan Tionghoa. Angka ini luar biasa untuk kota non-metropolitan. Buku-bukunya mencakup cerita rakyat, kitab pengetahuan praktis, teks pendidikan, hingga bacaan populer yang dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Yang menentukan bukan hanya jumlah, melainkan jangkauan. Percetakan Tan Khoen Swie menjembatani tradisi naskah dengan pembaca modern. Buku menjadi lebih murah, lebih cepat beredar, dan lebih inklusif. Literasi keluar dari keraton dan padepokan, masuk ke ruang kota, ke tangan guru, pedagang, buruh, santri, dan pelajar.
Toko buku yang terhubung dengan percetakan berfungsi sebagai ruang publik baru. Orang datang bukan hanya membeli, tetapi bertukar gagasan. Seperti dicatat Denys Lombard, percetakan Tan Khoen Swie adalah agen modernitas yang memungkinkan ide beredar lintas kelas sosial dan lintas identitas budaya.
Percetakan sebagai Motor Kesadaran PublikPeran percetakan Tan Khoen Swie melampaui ekonomi dan bisnis. Wisnu dalam penelitian tentang Boekhandel Tan Khoen Swie menempatkannya sebagai agen pengubah (man of change). Ia telah melakukan upaya mengubah kondisi masyarakat yang berbudaya tutur, menjadi budaya baca.
Pamflet, selebaran, dan bacaan murah yang dicetaknya beredar luas, memantik diskusi tentang pendidikan, etika sosial, dan perubahan zaman. Abad ke-19 menandai pergeseran penting, di mana literasi tidak lagi menjadi simbol status elite, tetapi alat partisipasi publik.
Kediri mengalami fase ini secara nyata. Literasi menjadi alat bertanya, bukan sekadar menerima. Kota mulai membaca dirinya sendiri; menimbang ulang tradisi, merespon kolonialisme, dan membayangkan masa depan.
Jejak sosialnya masih terasa hingga kini. Rumah dan toko lama di sekitar Jalan Dhoho dikenang sebagai pusat bacaan. Ada upaya komunitas untuk mengusulkan museum kecil, sebagai penanda bahwa memori literasi ini tetap hidup dalam ingatan kota.
Di sinilah literasi menunjukkan daya politiknya yang paling halus. Ia tidak memaksa, tidak berteriak, tetapi perlahan mengubah cara berpikir masyarakat.
Dari Airlangga ke Hari Ini: Literasi sebagai Peradaban KotaJika pada masa Airlangga prasasti menjadi alat tata kelola, hari ini arsip, regulasi, dan dokumen publik memegang peran serupa. Jika dulu naskah disalin di lontar, kini pengetahuan disebarkan lewat layar. Medium berubah, tetapi logika literasinya berlanjut.
Warisan Tan Khoen Swie mengajarkan bahwa literasi kuat lahir dari ekosistem, yang meliputi produksi teks, distribusi, dan ruang diskusi. Menguatkan ekosistem itu melalui kebijakan pendidikan, dukungan komunitas, dan investasi literasi digital, adalah cara menjaga kesinambungan sejarah. Kekuasaan kata tetap menjadi poros Kediri.
Dalam sejarah panjang Jawa, tidak semua kota meninggalkan jejak melalui istana megah atau monumen raksasa. Sebagian justru meninggalkan warisan berupa teks, catatan, dan ingatan kolektif. Kediri termasuk di dalamnya. Ia hadir sebagai kota yang sejak awal memperlakukan kata sebagai sesuatu yang serius; sebagai penanda kekuasaan, alat administrasi, sekaligus medium kebudayaan.
Kediri tidak besar karena bangunan. Ia besar karena ingatan. Dan ingatan itu dijaga oleh literasi. Dari Airlangga hingga Tan Khoen Swie, dari prasasti hingga percetakan, Kediri menunjukkan bahwa peradaban yang menulis dirinya sendiri akan selalu menemukan cara untuk bertahan.





