Tenun telah menjadi pilihan busana resmi untuk acara formal, upacara adat dan keagamaan, ataupun sebagai pakaian keseharian. Tenun ikat kini juga semakin diminati generasi muda. Hal itu mendorong perajin tenun Sumba untuk terus berinovasi mengikuti selera zaman.
Sudah sebulan ini Umbu Yohanis Bodi (42) bertekun menyelesaikan desain tenun ikat di Rumah Tenun Rambu Tirto Kaliuda. Selembar tenun itu dirancang dengan motif budaya yang menggambarkan identitas orang Sumba.
”Ini desain kain panjang untuk acara adat,” ujar Umbu Yohanis, yang juga Ketua Kelompok Rumah Tenun Rambu Tirto Kaliuda, di Kampung Adat Kaliuda, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Minggu (14/12/2025). Umbu merupakan sebutan untuk laki-laki bagi orang Sumba dan rambu sebutan bagi perempuan.
Pengerjaan kain tenun ikat membutuhkan proses cukup panjang. Kain tenun ikat Sumba dengan pewarnaan alami memerlukan setidaknya 42 proses pengerjaan, seperti pemintalan serat kapas, gambar desain, pengikatan tenun, pewarnaan alami, dan penjemuran.
Pewarna alami, antara lain, berasal dari akar mengkudu, kemiri, atau daun nila. Bahan-bahan itu dipilih agar tidak menimbulkan limbah lingkungan serta diproses satu per satu untuk setiap warna yang diciptakan. Tak mengherankan, pembuatan selembar kain tenun ikat membutuhkan waktu hingga lebih dari setahun.
Hasil tidak mengkhianati proses. Pengerjaan panjang tenun ikat Sumba mampu memikat khalayak, baik dari dalam maupun luar negeri. Permintaan kerap mengalir dari Australia dan Italia. Tenun ikat Sumba kini banyak diminati untuk pakaian formal hingga fashion show.
Yohanis menuturkan, beberapa pejabat, selebritas, dan desainer papan atas juga kerap mampir ke rumah tenun itu. Kini, permintaan merambah dan mulai didominasi generasi muda yang melek media sosial. Selera kekinian diakui turut mendorong tren modifikasi tenun ikat Sumba dalam hal desain, motif, ketebalan kain, dan pewarnaan. Permintaan kain tenun ikat yang lebih tipis juga disiasati dengan menyesuaikan benang kapas yang digunakan.
”Pasar saat ini mulai didominasi orang muda yang melek media sosial. Mereka mencari tahu produk-produk kami dari media sosial, lalu datang langsung untuk memesan ataupun lewat daring,” ujarnya.
Setiap tahun, Yohanis dan istrinya, Meliana Kareri Muni (38), menghasilkan rata-rata 16 kain tenun ikat Sumba. Mereka berbagi tugas. Yohanis bertugas mendesain motif, sedangkan istrinya mengerjakan menenun dan mewarnai. Sementara itu, kelompoknya yang terdiri atas 20 mama-mama di Kampung Adat Kaliuda membuat lebih dari 100 kain tenun ikat per tahun. Harga jual satu lembar tenun ikat Sumba itu mulai dari Rp 1,5 juta.
Penyesuaian pasar terus dilakukan perajin tenun. Saat ini, selera generasi muda pada tenun ikat Sumba, antara lain, berpusat pada motif yang lebih modern dan detail, misalkan hewan dan manusia menyerupai wujud asli. Selain itu, teknik pewarnaan alami dengan pemilihan warna-warna yang lebih cerah. Sebagian konsumen cenderung membeli kain untuk dijahit sesuai selera.
”Kami sudah poles (tenun ikat) sesuai keinginan pasar saat ini, seperti motif kain tenun lebih ekspresif dan warna lebih terang. Kami mencoba menjaga (pasar) disitu,” lanjut Yohanis.
Hal senada diungkapkan Adriana Mbelu Ana Djawa (42), pemilik Rambu Chiko di Sumba Timur. Ia terus berinovasi memadukan tenun ikat Sumba yang modern dengan akar tradisi. Kain tenun ikat Kambera buatannya dikenakan sejumlah pesohor hingga pejabat di Indonesia.
Tenun ikat buatannya mampu merangkai beragam cerita, baik tentang budaya Sumba maupun desain-desain yang lebih modern tentang keindahan alam Sumba yang disukai generasi muda.
Selama ini, tenun ikat yang dihasilkannya memiliki cerita atau sejarah yang tertuang dalam motif tenun sehingga disukai para kolektor. Sejarah atau budaya Sumba yang dituangkan pada motif tenun, antara lain, bercerita tentang meninggalnya Raja Sumba, upacara penguburan raja, kuda raja, perkawinan adat, dan rumah adat.
Sekarang, lanjut Adriana, cerita yang berkembang antara lain Sumba yang dikenal dengan keindahan alam, seperti bukit savana yang baru-baru ini populer di kalangan generasi muda. Hal itu juga ia tuangkan dalam motif tenun. Upaya memadukan unsur modern dengan tradisional pun terus dilakukan, seperti tenun ikat motif mamuli. Mamuli merupakan simbol kebahagiaan dan keharmonisan dalam membentuk suatu hubungan, baik dengan pasangan hidup maupun dengan Sang Pencipta.
”Budaya Sumba, cerita tentang Sumba saya tuangkan dalam selembar kain tenun. Semua desain saya buat sendiri,” kata Adriana.
Modifikasi juga dilakukan melalui penyesuaian bahan tenun dengan selera konsumen yang menyukai kain tenun lebih tipis. Kain tenun pun dimodifikasi agar lebih tipis dengan kualitas setara dengan kain tenun asli Sumba yang cenderung tebal.
Desainer Didiet Maulana berpendapat, seni budaya yang ingin bertahan harus memiliki relevansi dengan tetap menjaga akar tradisi. Inovasi ataupun modifikasi motif dan material tenun ikat merupakan usaha agar budaya tetap bisa diterima, dicintai, dipakai, dan dibeli sehingga seni budaya tetap bisa bertahan dan adaptif.
Upaya menjaga wastra Nusantara tanpa meninggalkan seni tradisi antara lain mengembangkan akar budaya sekaligus tampilan adat yang diterima tren fashion. Upaya itu perlu melibatkan pelaku-pelaku usaha yang bersentuhan dengan wastra dan budaya untuk menjaga agar perkembangan fashion tidak meninggalkan adat dan marwahnya.
”Menjaga akar budaya bukan melulu harus sama dengan tampilan adat yang pakem, namun menghadirkannya dalam norma yang tetap menghormati akar budaya dan diterima tren fashion sehingga generasi muda merasa budaya tidak mengintimidasi mereka saat ingin memakai wastra,” ujar Didiet, Kamis (18/12/2025).
Tantangannya, lanjut Didiet, adalah menjaga proses suplai yang menghasilkan permintaan. Di beberapa daerah, tantangan yang dihadapi bukan hanya pemasaran, melainkan juga mempertemukan perajin dan pengguna. Di sisi hulu, regenerasi perajin tenun juga menjadi persoalan di beberapa daerah karena generasi muda kurang tertarik meneruskan tradisi tenun.
Oleh karena itu, imbuhnya, perlu mencari strategi yang lebih jitu, tidak sekadar tampil di media sosial, tetapi langkah holistik dengan memasukkan tenun ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah menengah kejuruan serta kegiatan ekstrakurikuler.
Menghadirkan tenun ke dalam platform pendidikan akan memberikan kepercayaan diri bahwa seni kerajinan tenun bukan sekadar keterampilan, melainkan peluang usaha. Pengembangan kerajinan tenun tidak berhenti pada perajin dan inovasi desain, tetapi kemampuan bisnis menjadi pengusaha dan profesi yang bersentuhan dengan akar budaya. Regenerasi perajin tenun menjadi kunci agar kerajinan tenun tetap selaras dengan zaman.
”Kuncinya ada di relevansi. Menjaga akar budaya tanpa meninggalkan DNA, namun tetap bisa menari dengan keadaan dan tren yang ada,” kata Didiet.





