Mataram (ANTARA) - Pagi di kampung-kampung pesisir Nusa Tenggara Barat (NTB) selalu dimulai lebih awal dibandingkan di daratan. Saat sebagian orang masih terlelap, lampu perahu nelayan telah menjauh dari garis pantai.
Di balik pemandangan itu, tersimpan ironi yang sudah lama menjadi wacana publik: NTB dianugerahi laut luas dan sumber daya perikanan melimpah, tapi kehidupan kampung nelayan banyak yang masih tertinggal.
Rumah berhimpitan di sempadan pantai, akses air bersih terbatas, hasil tangkapan bergantung cuaca, dan rantai niaga yang panjang membuat nilai tambah tidak sepenuhnya dinikmati nelayan.
Isu kampung nelayan kembali mengemuka seiring digulirkannya program Kampung Nelayan Merah Putih. Di NTB, puluhan desa diusulkan, sebagian telah masuk tahap pembangunan, sementara lainnya masih menunggu kepastian.
Program ini membawa harapan besar untuk mengubah wajah kampung nelayan tradisional menjadi kawasan yang tertata, produktif, dan berkelanjutan.
Namun, bersamaan dengan itu, pembangunan ini juga membuka ruang kritis tentang sejauh mana infrastruktur mampu menjawab persoalan struktural nelayan, serta bagaimana memastikan program tersebut tidak berhenti sebagai proyek, melainkan benar-benar menjadi jalan keluar yang berkelanjutan.
Tradisi dan perubahan
Kampung nelayan di NTB tumbuh dari sejarah panjang interaksi manusia dengan laut. Di Lombok, Sumbawa, hingga pulau-pulau kecil, pola permukiman pesisir berkembang secara organik, mengikuti kebutuhan sandar perahu dan kedekatan dengan sumber ikan.
Pola ini membentuk solidaritas sosial yang kuat, tetapi juga menyisakan masalah tata ruang. Banyak kampung nelayan berada di zona rawan abrasi, banjir rob, dan konflik pemanfaatan ruang, terutama ketika kawasan pesisir mulai dilirik untuk pariwisata dan investasi.
Baca juga: Pemprov NTB bangun kampung modern untuk nelayan
Data sektor kelautan menunjukkan kontribusi ekonomi yang besar, namun kesejahteraan nelayan bergerak lebih lambat. Pertumbuhan sektor perikanan NTB yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir belum sepenuhnya tercermin pada pendapatan nelayan kecil.
Salah satu penyebabnya adalah lemahnya infrastruktur pascapanen. Tanpa cold storage (fasilitas penyimpanan berpendingin), pabrik es, dan tempat pelelangan yang layak, nelayan terpaksa menjual ikan dengan harga rendah. Ketergantungan pada tengkulak menjadi keniscayaan, bukan pilihan.
Program Kampung Nelayan Merah Putih mencoba masuk di celah ini. Pembangunan dermaga, tambatan perahu, fasilitas penyimpanan dingin, hingga koperasi desa diharapkan memutus mata rantai panjang distribusi.
Di NTB, beberapa lokasi sudah berjalan, sementara puluhan lainnya masih terkendala kesiapan lahan dan administrasi.
Ancaman kegagalan pada sebagian usulan menunjukkan bahwa persoalan kampung nelayan bukan sekadar teknis, tetapi juga soal tata kelola dan sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah.
Di sisi lain, antusiasme masyarakat pesisir terhadap fasilitas seperti pabrik es dan bengkel kapal, menjadi penanda kebutuhan yang nyata.
Bagi nelayan, fasilitas tersebut bukan simbol modernisasi, melainkan alat bertahan hidup. Ketika mesin rusak atau es sulit diperoleh, hari melaut bisa berubah menjadi kerugian.
Dalam konteks ini, pembangunan kampung nelayan seharusnya dimulai dari kebutuhan paling dasar nelayan, bukan dari desain megah yang jauh dari realitas lapangan.
Program nasional
Ambisi nasional membangun ratusan hingga ribuan kampung nelayan menempatkan NTB pada posisi strategis.
Dengan garis pantai panjang dan banyak komunitas pesisir, NTB berpotensi menjadi model pengembangan kampung nelayan di kawasan timur Indonesia. Namun potensi ini hanya bisa terwujud jika program disesuaikan dengan konteks lokal.
Kasus di beberapa wilayah menunjukkan bahwa ketersediaan lahan menjadi batu sandungan utama. Banyak kampung nelayan tumbuh di tanah negara atau kawasan yang status hukumnya belum jelas.
Baca juga: Kemenkop dan KKP kembangkan KMP di kampung nelayan Bangka Selatan
Tanpa kepastian lahan, pembangunan fisik berisiko memicu konflik baru. Selain itu, penerimaan masyarakat juga menjadi faktor krusial.
Kampung nelayan bukan sekadar kumpulan bangunan, melainkan ruang hidup dengan ikatan sosial dan budaya yang kuat. Relokasi atau penataan ulang tanpa dialog berisiko mengikis kepercayaan.
Program kampung nelayan modern yang disiapkan di kawasan perkotaan dan kawasan strategis pariwisata juga menghadirkan dilema.
Di satu sisi, integrasi dengan pariwisata membuka peluang ekonomi baru. Di sisi lain, nelayan rentan tersisih jika tidak ditempatkan sebagai subjek utama. Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa tanpa perlindungan yang jelas, kampung nelayan bisa berubah menjadi etalase wisata, sementara nelayan hanya menjadi penonton.
Karena itu, pendekatan yang terlalu seragam berisiko melemahkan tujuan awal. Kampung nelayan di NTB memiliki karakter berbeda-beda, dari pesisir selatan Lombok hingga teluk-teluk di Sumbawa.
Kebutuhan nelayan tangkap berbeda dengan nelayan budidaya, begitu pula tantangan geografisnya. Tulisan ini menegaskan bahwa keberhasilan program sangat ditentukan oleh fleksibilitas desain dan kedalaman pemahaman terhadap kondisi lokal.
Masa depan pesisir
Menata kampung nelayan di NTB seharusnya dipandang sebagai investasi sosial jangka panjang. Pembangunan fisik penting, tetapi tidak cukup. Penguatan kelembagaan nelayan melalui koperasi menjadi kunci agar fasilitas yang dibangun tidak mangkrak.
Koperasi yang dikelola secara transparan dapat menjadi pengelola cold storage, pabrik es, hingga distribusi BBM nelayan. Dengan demikian, nilai tambah hasil laut bisa tinggal di kampung, bukan berpindah ke luar daerah.
Selain itu, peningkatan kapasitas sumber daya manusia perlu berjalan seiring. Nelayan perlu didukung dengan literasi keuangan, akses permodalan yang adil, dan teknologi penangkapan ramah lingkungan.
Program kampung nelayan akan kehilangan makna jika tidak mampu menjawab tantangan keberlanjutan. Tekanan terhadap sumber daya laut, perubahan iklim, dan cuaca ekstrem menuntut kebijakan yang adaptif dan berpihak pada nelayan kecil.
Pemerintah daerah memegang peran penting sebagai penghubung antara kebijakan nasional dan realitas lokal. Sinkronisasi tata ruang, kepastian lahan, serta pendampingan masyarakat harus menjadi prioritas.
Tanpa itu, ancaman program yang terhenti di tengah jalan akan terus membayangi. Kampung nelayan tidak boleh menjadi deretan bangunan tanpa kehidupan ekonomi yang bergerak.
Kampung nelayan adalah cermin pilihan pembangunan. NTB memiliki kesempatan untuk menunjukkan bahwa pembangunan pesisir tidak harus mengorbankan nelayan.
Dengan kebijakan yang konsisten, partisipatif, dan berorientasi jangka panjang, kampung nelayan dapat menjadi ruang hidup yang layak sekaligus pusat ekonomi biru yang berkelanjutan.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah kampung nelayan perlu dibangun, melainkan bagaimana memastikan pembangunan itu benar-benar berpihak pada mereka yang sejak lama menggantungkan hidup pada laut.
Baca juga: Prabowo terima laporan progres Kampung Nelayan KKP capai 45 persen
Di balik pemandangan itu, tersimpan ironi yang sudah lama menjadi wacana publik: NTB dianugerahi laut luas dan sumber daya perikanan melimpah, tapi kehidupan kampung nelayan banyak yang masih tertinggal.
Rumah berhimpitan di sempadan pantai, akses air bersih terbatas, hasil tangkapan bergantung cuaca, dan rantai niaga yang panjang membuat nilai tambah tidak sepenuhnya dinikmati nelayan.
Isu kampung nelayan kembali mengemuka seiring digulirkannya program Kampung Nelayan Merah Putih. Di NTB, puluhan desa diusulkan, sebagian telah masuk tahap pembangunan, sementara lainnya masih menunggu kepastian.
Program ini membawa harapan besar untuk mengubah wajah kampung nelayan tradisional menjadi kawasan yang tertata, produktif, dan berkelanjutan.
Namun, bersamaan dengan itu, pembangunan ini juga membuka ruang kritis tentang sejauh mana infrastruktur mampu menjawab persoalan struktural nelayan, serta bagaimana memastikan program tersebut tidak berhenti sebagai proyek, melainkan benar-benar menjadi jalan keluar yang berkelanjutan.
Tradisi dan perubahan
Kampung nelayan di NTB tumbuh dari sejarah panjang interaksi manusia dengan laut. Di Lombok, Sumbawa, hingga pulau-pulau kecil, pola permukiman pesisir berkembang secara organik, mengikuti kebutuhan sandar perahu dan kedekatan dengan sumber ikan.
Pola ini membentuk solidaritas sosial yang kuat, tetapi juga menyisakan masalah tata ruang. Banyak kampung nelayan berada di zona rawan abrasi, banjir rob, dan konflik pemanfaatan ruang, terutama ketika kawasan pesisir mulai dilirik untuk pariwisata dan investasi.
Baca juga: Pemprov NTB bangun kampung modern untuk nelayan
Data sektor kelautan menunjukkan kontribusi ekonomi yang besar, namun kesejahteraan nelayan bergerak lebih lambat. Pertumbuhan sektor perikanan NTB yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir belum sepenuhnya tercermin pada pendapatan nelayan kecil.
Salah satu penyebabnya adalah lemahnya infrastruktur pascapanen. Tanpa cold storage (fasilitas penyimpanan berpendingin), pabrik es, dan tempat pelelangan yang layak, nelayan terpaksa menjual ikan dengan harga rendah. Ketergantungan pada tengkulak menjadi keniscayaan, bukan pilihan.
Program Kampung Nelayan Merah Putih mencoba masuk di celah ini. Pembangunan dermaga, tambatan perahu, fasilitas penyimpanan dingin, hingga koperasi desa diharapkan memutus mata rantai panjang distribusi.
Di NTB, beberapa lokasi sudah berjalan, sementara puluhan lainnya masih terkendala kesiapan lahan dan administrasi.
Ancaman kegagalan pada sebagian usulan menunjukkan bahwa persoalan kampung nelayan bukan sekadar teknis, tetapi juga soal tata kelola dan sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah.
Di sisi lain, antusiasme masyarakat pesisir terhadap fasilitas seperti pabrik es dan bengkel kapal, menjadi penanda kebutuhan yang nyata.
Bagi nelayan, fasilitas tersebut bukan simbol modernisasi, melainkan alat bertahan hidup. Ketika mesin rusak atau es sulit diperoleh, hari melaut bisa berubah menjadi kerugian.
Dalam konteks ini, pembangunan kampung nelayan seharusnya dimulai dari kebutuhan paling dasar nelayan, bukan dari desain megah yang jauh dari realitas lapangan.
Program nasional
Ambisi nasional membangun ratusan hingga ribuan kampung nelayan menempatkan NTB pada posisi strategis.
Dengan garis pantai panjang dan banyak komunitas pesisir, NTB berpotensi menjadi model pengembangan kampung nelayan di kawasan timur Indonesia. Namun potensi ini hanya bisa terwujud jika program disesuaikan dengan konteks lokal.
Kasus di beberapa wilayah menunjukkan bahwa ketersediaan lahan menjadi batu sandungan utama. Banyak kampung nelayan tumbuh di tanah negara atau kawasan yang status hukumnya belum jelas.
Baca juga: Kemenkop dan KKP kembangkan KMP di kampung nelayan Bangka Selatan
Tanpa kepastian lahan, pembangunan fisik berisiko memicu konflik baru. Selain itu, penerimaan masyarakat juga menjadi faktor krusial.
Kampung nelayan bukan sekadar kumpulan bangunan, melainkan ruang hidup dengan ikatan sosial dan budaya yang kuat. Relokasi atau penataan ulang tanpa dialog berisiko mengikis kepercayaan.
Program kampung nelayan modern yang disiapkan di kawasan perkotaan dan kawasan strategis pariwisata juga menghadirkan dilema.
Di satu sisi, integrasi dengan pariwisata membuka peluang ekonomi baru. Di sisi lain, nelayan rentan tersisih jika tidak ditempatkan sebagai subjek utama. Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa tanpa perlindungan yang jelas, kampung nelayan bisa berubah menjadi etalase wisata, sementara nelayan hanya menjadi penonton.
Karena itu, pendekatan yang terlalu seragam berisiko melemahkan tujuan awal. Kampung nelayan di NTB memiliki karakter berbeda-beda, dari pesisir selatan Lombok hingga teluk-teluk di Sumbawa.
Kebutuhan nelayan tangkap berbeda dengan nelayan budidaya, begitu pula tantangan geografisnya. Tulisan ini menegaskan bahwa keberhasilan program sangat ditentukan oleh fleksibilitas desain dan kedalaman pemahaman terhadap kondisi lokal.
Masa depan pesisir
Menata kampung nelayan di NTB seharusnya dipandang sebagai investasi sosial jangka panjang. Pembangunan fisik penting, tetapi tidak cukup. Penguatan kelembagaan nelayan melalui koperasi menjadi kunci agar fasilitas yang dibangun tidak mangkrak.
Koperasi yang dikelola secara transparan dapat menjadi pengelola cold storage, pabrik es, hingga distribusi BBM nelayan. Dengan demikian, nilai tambah hasil laut bisa tinggal di kampung, bukan berpindah ke luar daerah.
Selain itu, peningkatan kapasitas sumber daya manusia perlu berjalan seiring. Nelayan perlu didukung dengan literasi keuangan, akses permodalan yang adil, dan teknologi penangkapan ramah lingkungan.
Program kampung nelayan akan kehilangan makna jika tidak mampu menjawab tantangan keberlanjutan. Tekanan terhadap sumber daya laut, perubahan iklim, dan cuaca ekstrem menuntut kebijakan yang adaptif dan berpihak pada nelayan kecil.
Pemerintah daerah memegang peran penting sebagai penghubung antara kebijakan nasional dan realitas lokal. Sinkronisasi tata ruang, kepastian lahan, serta pendampingan masyarakat harus menjadi prioritas.
Tanpa itu, ancaman program yang terhenti di tengah jalan akan terus membayangi. Kampung nelayan tidak boleh menjadi deretan bangunan tanpa kehidupan ekonomi yang bergerak.
Kampung nelayan adalah cermin pilihan pembangunan. NTB memiliki kesempatan untuk menunjukkan bahwa pembangunan pesisir tidak harus mengorbankan nelayan.
Dengan kebijakan yang konsisten, partisipatif, dan berorientasi jangka panjang, kampung nelayan dapat menjadi ruang hidup yang layak sekaligus pusat ekonomi biru yang berkelanjutan.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah kampung nelayan perlu dibangun, melainkan bagaimana memastikan pembangunan itu benar-benar berpihak pada mereka yang sejak lama menggantungkan hidup pada laut.
Baca juga: Prabowo terima laporan progres Kampung Nelayan KKP capai 45 persen


