Banjir Sumatra: Menguji Klaim Publik Lewat Data Satelit

katadata.co.id
21 jam lalu
Cover Berita

Bencana yang melanda wilayah Sumatra belakangan ini bukan sekadar memberikan pengalaman tentang banjir bandang yang merusak. Di balik genangan yang merendam Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat, terdapat krisis lain yang tak kalah pelik, krisis akuntabilitas informasi. Dalam situasi darurat, data yang akurat menentukan nyawa. Namun, apa jadinya jika data yang disampaikan ke publik justru bertolak belakang dengan fakta di lapangan?

Dewasa ini, publik menemukan disonansi kognitif antara panggung depan birokrasi dengan panggung belakang realitas lapangan. Kasus terakhir yang menyita perhatian adalah pernyataan seorang pejabat publik mengenai pemulihan kelistrikan pascabanjir di Aceh. Klaim bahwa “pasokan listrik menyala 93%” mungkin terdengar melegakan di telinga masyarakat dan segera menjadi rujukan media. Namun, angka tersebut memicu kebingungan dan kekecewaan mendalam ketika banyak warga di lokasi masih bergelut dalam gelap. 

Kasus ini bukan sekadar soal informasi yang meleset. Hal ini menegaskan satu urgensi tentang klaim publik yang berimplikasi pada respons bencana harus dapat diverifikasi secara transparan. Di sinilah peran data spasial khususnya penginderaan jauh (remote sensing), yang hadir bukan sekadar sebagai alat teknis, melainkan sebagai instrumen demokrasi untuk memvalidasi akuntabilitas publik.

Data (Satelit) Tidak Berbohong

Dalam era perkembangan teknologi dan Big Data, narasi verbal tidak lagi memegang monopoli kebenaran. Pernyataan mengenai pemulihan listrik pasca-bencana, misalnya, tidak lagi hanya bergantung pada laporan berjenjang dari otoritas terkait yang mungkin bias, subjektif atau bahkan terlambat. Teknologi penginderaan jauh, khususnya citra satelit Night Time Light (NTL) atau Citra Cahaya Malam, menawarkan perspektif independen yang jauh lebih objektif.

Mari kita bedah studi kasus klaim “93% listrik menyala” di wilayah terdampak banjir. Angka statistik ini kemungkinan besar diambil dari indikator teknis semata, seperti jumlah gardu induk yang aktif. Namun, secara spasial, gardu yang aktif belum tentu mendistribusikan listrik ke rumah-rumah warga yang jaringannya terputus atau masih terendam. Bagi seorang peneliti, klaim angka yang terlalu tinggi di tengah situasi krisis justru memicu skeptisisme ilmiah untuk memverifikasinya melalui data.

Metodologi validasinya sederhana namun kredibel: “komparasi data spasial”. Secara teknis, kita dapat memanfaatkan sensor satelit seperti VIIRS (Visible Infrared Imaging Radiometer Suite) milik NOAA/NASA yang mampu menangkap emisi cahaya malam sebagai indikator aktivitas antropogenik dari energi listrik setiap harinya. Dengan melakukan teknik overlay (tumpang susun) antara peta wilayah terdampak banjir dengan data citra NTL (misalnya dari produk NASA Worldview), kita dapat membandingkan kondisi saat ini dengan baseline kondisi normal sebelum bencana (Jia, M., et al., 2023).

Hasil analisis ini barangkali akan menyajikan informasi yang berbeda. Jika pejabat mengklaim 93% wilayah sudah menyala, namun data satelit menunjukkan pola gelap yang masif di area terdampak bencana seperti Aceh Timur dan Aceh Tamiang, maka ada diskrepansi informasi yang fatal. Area yang diklaim menyala ternyata masih menunjukkan kenampakan gelap signifikan dibandingkan kondisi normalnya. Hal ini membuktikan bahwa meski pasokan listrik di hulu mungkin pulih, akan tetapi distribusi hilir ke warga masih lumpuh.

Gambar tangkapan layar akses dan analisis data citra satelit NTL dalam periode bencana banjir Aceh (sumber: worldview.earthdata.nasa.gov - diakses tan (Katadata/ Nugroho Purwono)


 Di sinilah letak kekuatan data spasial. Satelit tidak memiliki kepentingan politik, tidak peduli pada citra instansi, ataupun tekanan media. Jika penerangan di wilayah bencana mati, sensor akan merekam kegelapan apa adanya. Data ini hadir sebagai bukti empiris yang menegaskan bahwa validitas informasi tidak bisa digantikan sekadar oleh klaim sepihak.

Data Spasial sebagai Alat Uji Kebenaran (Ground Truth)

Pembelajaran dari penanganan banjir di Sumatra ini menegaskan bahwa narasi maupun klaim pejabat publik sangat rentan terhadap bias optimisme. Seringkali, ada keinginan untuk segera menyatakan situasi “terkendali” demi menjaga stabilitas psikologis masyarakat atau sekadar performa politik. Akan tetapi, dalam tatat kelola bencana modern, kejujuran informasi jauh lebih krusial daripada sekadar optimisme semu (Cuadra, J. M., & Cotoron, V. N., 2025). Pernyataan publik yang tidak akurat memiliki konsekuensi logistik yang nyata.

  • Distribusi bantuan yang salah sasaran: Jika data mengatakan listrik sudah menyala, bantuan yang dikirim mungkin berupa bahan makanan mentah (sembako) yang perlu dimasak. Padahal, jika faktanya listrik masih padam, warga lebih membutuhkan makanan siap saji atau genset (generator set) darurat.
  • Rasa aman semu: Klaim pemulihan yang prematur dapat membuat kewaspadaan masyarakat menurun, padahal infrastruktur pendukung bertenaga listrik (seperti pompa banjir) belum berfungsi optimal untuk mengantisipasi banjir susulan.
  • Ketidakpercayaan publik: Ketika warga yang masih dalam gelap gulita membaca berita bahwa daerahnya diklaim “sudah menyala”, erosi kepercayaan terhadap pemerintah dapat terjadi. Padahal, dalam hal ini kepercayaan adalah modal sosial yang paling mahal.
Menuju Kebijakan Penanganan Bencana Berbasis Bukti

Tentu, kita perlu mengakui secara jujur bahwa data spasial dari satelit bukanlah “hakim absolut”. Teknologi memiliki keterbatasan, tutupan awan yang tebal (terutama di wilayah tropis seperti Sumatra) atau resolusi temporal satelit dapat mempengaruhi akurasi pembacaan sesaat. Namun, justru di sinilah skeptisisme ilmiah berperan penting untuk menguji validitas informasi.

Penggunaan data spasial dalam konteks ini tidak dimaksudkan untuk membantah secara politis atau mencari kesalahan individu pejabat. Opini ini juga tidak ditujukan untuk menihilkan keringat dan upaya keras tim teknis penanggulangan bencana yang berjibaku di lapangan. Sebaliknya, gagasan ini adalah tawaran metodologis untuk mengubah paradigma komunikasi publik: dari yang bersifat reaktif-defensif menjadi transparan-kolaboratif.

Di era digital saat ini, sedang terjadi apa yang disebut sebagai demokratisasi data. Pejabat publik tidak bisa lagi bergantung pada satu sumber laporan internal berjenjang yang rentan terdistorsi di tengah jalan. Publik, jurnalis, mahasiswa, hingga peneliti independen kini memiliki akses terbuka terhadap sumber data satelit seperti: Google Earth, NASA Worldview, hingga data radar Satelit Sentinel. Artinya, setiap klaim dan informasi yang disampaikan pemangku kepentingan kini dapat diuji dna diverifikasi langsung oleh publik menggunakan data spasial. Jika para pemangku kepentingan menutup mata terhadap realitas ini, mereka berisiko kehilangan legitimasi di mata masyarakat yang semakin terliterasi.

Validasi informasi adalah bentuk akuntabilitas tertinggi dalam manajemen krisis modern. Kuncinya sederhana, yakni data yang kredibel menjadi jembatan kepercayaan (Tehler, H., et al., 2024). Bencana banjir bandang di Sumatra sudah cukup menyusahkan dan menyengsarakan rakyat. Jangan sampai penderitaan tersebut ditambah dengan bencana informasi. Harapan pemulihan korban harus dibangun di atas fondasi kebenaran. Sudah saatnya integrasi berbagai data menjadi fondasi dalam komunikasi publik, bukan sekadar alat bantu teknis di ruang belakang. Mari bicara dengan data yang terukur, bukan sekadar retorika yang menghibur.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Roy Suryo Dulu Bilang ‘Kalau Gentle Lapor Sendiri’, Setelah Tersangka Sebut Jokowi Jahat
• 18 jam lalufajar.co.id
thumb
Letak Astronomis ASEAN Lengkap: Koordinat, Iklim, dan Pengaruhnya
• 3 jam lalumediaindonesia.com
thumb
ICJ Jadwalkan Sidang Terbuka Kasus Dugaan Genosida Rohingya pada Januari 2026
• 8 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Pohuwato Gorontalo Digoyang Gempa M5,2
• 10 jam lalurealita.co
thumb
Kematian Pemimpin Mahasiswa  Bangladesh Picu Gelombang Protes Besar
• 18 jam lalutvrinews.com
Berhasil disimpan.