DUA hari berturut-turut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar operasi tangkap tangan untuk tiga perkara berbeda di Banten, Bekasi, hingga Kalimantan Selatan. Dalam peristiwa tersebut, sebanyak 25 orang terjaring, termasuk di antaranya sejumlah jaksa.
Sungguh muram nasib negeri ini. Jaksa yang seharusnya menjadi penuntut dalam perkara kejahatan, justru menjadi bagian dari praktik yang mereka lawan. Pihak yang semestinya bekerja sebagai instrumen penegakan hukum, malah menyalahgunakan jabatan untuk melayani nafsu dan kepentingan.
Salah seorang jaksa yang dicokok ialah RZ dari Kejaksaan Tinggi Banten. Ia terjaring operasi tangkap tangan KPK pada Rabu (17/12). Setelah perkaranya dilimpahkan oleh KPK, Kejaksaan Agung kemudian menetapkan RZ sebagai tersangka dugaan pemerasan terhadap warga negara asing asal Korea Selatan.
Baca Juga :Kajari HSU Albertinus Parlinggoman Ketahuan KPK Terima Rp450 Juta lewat Rekening Istri
Jaksa lain yang terkena operasi tangkap tangan ialah Kepala Kejaksaan Negeri dan Kasi Intel Kejaksaan Negeri Hulu Sungai. Keduanya ditangkap di Kalimantan Selatan, Kamis (18/12), dan sudah tiba di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, kemarin, untuk pemeriksaan lebih lanjut. Hal itu untuk memutus status hukum mereka sebelum ditingkatkan sebagai tersangka atau tidak. KPK mengisyaratkan operasi senyap di Kalimantan Selatan terkait dengan pemerasan.
Perkara yang melibatkan RZ dan dua jaksa lainnya menegaskan bahwa Korps Adhyaksa masih dihinggapi jaksa nakal. Mereka terus saja menodai kepercayaan untuk menjaga integritas hukum dan memastikan keadilan ditegakkan.
Belum lama ini, jaksa di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat divonis 7 tahun penjara karena terbukti memeras korban investasi bodong Robot Trading Fahrenheit melalui pengacaranya senilai Rp11,7 miliar. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kemudian memperberat hukuman Azam Akhmad Akhsya menjadi 9 tahun penjara pada 11 September silam.
Jaksa ditangkap KPK. Foto
Publik pernah digemparkan oleh kasus jaksa Pinangki Sirna Malasari pada 2020. Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung itu terlibat penyuapan uang US$500 ribu (sekitar Rp7,3 miliar) dari buron kasus Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.
Jauh sebelum itu, ada jaksa Urip Tri Gunawan yang ditangkap pada 2008. Ia menerima suap senilai US$600 ribu atau setara Rp6 miliar dari Artalyta Suryani pada 2 Maret 2008. Urip kemudian divonis 20 tahun penjara karena terbukti menerima uang terkait dengan jabatannya sebagai tim jaksa penyelidik perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Kasus yang mendera Urip dan Pinangki rupanya terus berulang dalam lorong penegakan hukum. Kita harus katakan bahwa pengawasan internal belum sepenuhnya berdaya dan pembenahan dari dalam masih jauh panggang dari api.
Dengan tertangkapnya RZ dan dua jaksa lain dari Kalimantan Selatan, Korps Adhyaksa harus berani bersikap. Sanksi harus dijatuhkan seberat-beratnya kepada jaksa nakal. Pemecatan sudah tidak bisa ditawar lagi. Begitu pula ketika di persidangan, sekalipun rekan sendiri yang harus dituntut, jangan ada kata ampun bagi mereka yang mencoreng nama baik kejaksaan.
Di luar itu, Jaksa Agung ST Burhanuddin harus benar-benar serius melakukan pembenahan. Semuanya harus dimulai dari hulu dengan memperketat pengawasan dan menutup setiap celah yang memungkinkan penyalahgunaan wewenang tumbuh subur.
Reformasi di tubuh Korps Adhyaksa jangan sekadar slogan yang diulang setiap kali skandal mencuat, lalu menguap ketika perhatian publik mereda. Tanpa langkah konkret dan pembersihan total, hukum akan terus kehilangan martabatnya, sementara kepercayaan publik kian menjauh.

:strip_icc()/kly-media-production/medias/5449527/original/068468600_1766067423-1000101389.jpg)