Alergi langka yang ditularkan melalui kutu dan terkait dengan daging merah kini telah dipastikan bisa menyebabkan kematian untuk pertama kalinya. Seorang pria sehat di New Jersey ditemukan pingsan dan meninggal beberapa jam setelah makan daging sapi. Pemerikasaan medis mengungkapkan reaksi alergi parah yang terkait dengan alpha-gal, sejenis gula yang disebarkan oleh gigitan kutu lone star.
Gejala penyakit ini sering muncul beberapa jam kemudian, sehingga kondisi ini mudah terlewatkan. Para peneliti memperingatkan bahwa meningkatnya populasi kutu lone star ini dapat menempatkan lebih banyak orang dalam risiko.
Alergi ini mungkin jarang terdengar, namun bukan tidak ada. Seorang jurnalis investigasi dari Brazil Gustavo menyatakan sudah beberapa waktu terakhir menghindari konsumsi daging merah. "Saya bisa mati jika makan daging, setidaknya itu kata dokter," katanya saat ditemui di Belem, Brazil, bulan lalu.
Awalnya, saya mengira dia hanya bercanda. Namun, dia kemudian menjelaskan tentang alpha-gal syndrome (AGS) atau kerap disebut sindrom alpha-gal, reaksi alergi parah yang terjadi setelah gigitan kutu lone star atau bintang tunggal (Amblyomma americanum) saat bertugas di Amerika Serikat.
Kini, informasi dari Gustavo ini menjadi terang. Para peneliti di Fakultas Kedokteran Universitas Virginia baru-baru ini mengonfirmasi kematian pertama yang disebabkan oleh kondisi alergi daging yang ditularkan oleh kutu lone star.
Kutu ini biasa hidup di hutan lembap, semak belukar, tepi hutan, dan kawasan pinggiran kota dan merupakan asli Amerika Serikat. Menurut keterangan Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) AS, kutu lone star ini tersebar luas di wilayah Timur Laut, Selatan, dan Midwest Amerika Serikat.
Kutu ini tergolong sangat agresif. Sekalipun inang utamanya binatang liar seperti rusa, namun dia juga kerap menempel pada hewan ternak. Kutu betina dewasa dibedakan oleh bintik putih atau "bintang tunggal" di punggungnya, sehingga diberi nama lone star. Nimfa dan kutu betina dewasa paling sering menggigit manusia dan menyebarkan penyakit.
Kasus kematian pasien pertama akibat alergi alpha-gal ini dilaporkan di The Journal of Alergy and Clinical Immunology edisi Desember 2025. Disebutkan, seorang pria berusia 47 tahun dari New Jersey yang sebelumnya sehat, meninggal mendadak sekitar empat jam setelah makan daging sapi pada 2024 lalu. Selama berbulan-bulan, penyebab kematiannya tetap tidak jelas.
Thomas Platts Mills, dokter dari University of Virginia School of Medicine dan spesialis alergi, meneliti lebih lanjut. Mills akhirnya menemukan petunjuk tentang alergi alpha-gal (AGS) yang berkembang setelah gigitan kutu lone star.
Gigitan kutu ini, menurut Platts Mills dan tim, dapat menyebabkan sistem kekebalan tubuh menjadi sensitif terhadap alpha gal, gula yang secara alami ditemukan dalam daging mamalia. Setelah menjadi sensitif, orang mungkin mengalami gejala alergi setelah makan makanan seperti daging sapi, babi, atau domba. Reaksi umum termasuk ruam kulit, mual, dan muntah.
Jika mereka mengalami episode nyeri perut hebat yang tidak terduga beberapa jam setelah makan daging mamalia, mereka harus diperiksa untuk kemungkinan sensitisasi terhadap oligosakarida alfa-gal.
Para ilmuwan telah lama menduga bahwa kasus yang parah dapat meningkat menjadi anafilaksis yang mengancam jiwa. Namun, hingga saat ini, belum ada kasus fatal yang dikonfirmasi secara resmi.
Informasi penting bagi masyarakat adalah: pertama, nyeri perut hebat yang terjadi 3 hingga 5 jam setelah makan daging sapi, babi, atau domba harus diselidiki sebagai kemungkinan episode anafilaksis. Kedua, gigitan kutu yang gatal selama lebih dari seminggu atau larva kutu yang sering disebut ”chigger” dapat menyebabkan atau meningkatkan sensitivitas terhadap daging yang berasal dari mamalia.
Tidak semua orang yang digigit kutu ini akan mengalami alergi daging yang parah secara tiba-tiba. "Sebagian besar individu yang mengalami episode gatal-gatal ringan hingga sedang dapat mengendalikan gejalanya dengan diet yang tepat," kata Mills.
Menurut keterangan CDC, alpha-gal syndrome merupakan alergi serius yang berpotensi mengancam jiwa. Alfa-galaktosa adalah molekul (galaktosa-α-1,3-galaktosa) yang secara alami diproduksi tubuh sebagian besar mamalia tetapi tidak pada manusia. Molekul ini juga ditemukan dalam air liur beberapa kutu.
Ketika kutu lone star menggigit, ia dapat memindahkan alfa-galaktosa dari air liurnya ke dalam darah seseorang. Pertahanan alami tubuh atau sistem kekebalan tubuh dapat mengidentifikasi alfa-galaktosa sebagai ancaman dan memicu reaksi alergi. Gejala muncul setelah seseorang mengonsumsi daging merah atau terpapar produk lain yang terbuat dari mamalia. Karena itu, alpha-gal syndrome juga dikenal sebagai alergi daging merah atau alergi gigitan kutu pada daging.
Sebagian besar penyedia layanan kesehatan di AS akan merekomendasikan pasien dengan sindrom ini untuk berhenti mengonsumsi daging merah atau daging mamalia, seperti daging sapi, babi, domba, rusa, atau kelinci. Sekalipun demikian, tidak semua pasien dengan sindrom ini bereaksi terhadap setiap produk yang mengandung alpha-gal.
Pria dari New Jersey yang meninggal setelah mengonsumsi daging merah pergi berkemah bersama istri dan anak-anaknya selama musim panas 2024. Suatu malam, keluarga tersebut makan steak pukul 22.00. Sekitar pukul 2 pagi, pria itu terbangun dengan sakit perut hebat, diare, dan muntah. Meskipun merasa lebih baik di pagi harinya, ia kemudian memberi tahu putranya bahwa kejadian itu terasa mengancam jiwa.
Sekitar dua minggu kemudian, ia masih belum menyadari bahwa dirinya telah mengalami alergi daging. Ia menghadiri pesta barbekyu dan makan hamburger. Ia mulai merasa tidak enak badan tak lama setelah pukul 19.00. Pada pukul 19:37, putranya menemukannya pingsan di kamar mandi.
Otopsi tidak mengungkap penjelasan yang jelas soal kematiannya. Penyebab resminya tercantum sebagai "kematian mendadak yang tidak dapat dijelaskan."
Istrinya tidak puas dengan kesimpulan itu dan meminta dokter lain untuk meninjau temuan tersebut. Dokter itu menghubungi Platts Mills dan timnya untuk menyelidiki apakah sensitivitas alfa gal mungkin penyebabnya.
Pengujian oleh Platts Mills menunjukkan bahwa pria itu memang telah mengalami sensitisasi terhadap sindrom alpha gal. Hasilnya juga menunjukkan respons imun ekstrem yang konsisten dengan anafilaksis fatal.
Ketika ditanya tentang paparan kutu baru-baru ini, istri pria itu mengatakan bahwa suaminya tidak melihat gigitan kutu dalam setahun terakhir. Namun, ia ingat bahwa suaminya menderita 12 atau 13 gigitan gatal di sekitar pergelangan kakinya di awal musim panas.
Mills menyadari bahwa banyak gigitan yang dianggap berasal dari tungau di Amerika Serikat bagian timur sebenarnya berasal dari larva kutu lone star. Ia percaya beberapa kondisi mungkin telah memperparah respons alergi pria tersebut, termasuk minum bir bersama hamburger, paparan serbuk sari ragweed, dan olahraga fisik pada hari itu.
Setelah kasus ini, Platts Mills mendesak para dokter untuk tetap waspada terhadap pasien yang mungkin mengalami alergi ini atau yang menghadapi risiko paparan lebih tinggi. Ia menunjukkan bahwa populasi inang, yaitu rusa liar telah meningkat pesat di banyak negara bagian, menciptakan kondisi ideal bagi penyebaran kutu lone star.
"Penting bagi dokter dan pasien yang tinggal di daerah di negara tempat kutu lone star umum ditemukan untuk menyadari risiko sensitisasi," kata Platts Mills. "Lebih spesifiknya, jika mereka mengalami episode nyeri perut hebat yang tidak terduga beberapa jam setelah makan daging mamalia, mereka harus diperiksa untuk kemungkinan sensitisasi terhadap oligosakarida alfa-gal."
Peringatan dari Platts Mills ini mungkin relevan untuk pasien di AS karena ada banyak laporan yang menunjukkan penyebaran kutu lone star yang semakin meluas belakangan ini.
Namun demikian, belum ada laporan bahwa kutu ini telah ditemukan di negara lain, termasuk Indonesia. Beberapa kasus yang terjadi pada pasien di luar AS pada umumnya pernah tinggal atau mengunjungi negara tersebut.




