JAKARTA, KOMPAS — Kecemasan terhadap kondisi sosial, lingkungan, dan kebijakan negara kini tidak lagi sekadar menjadi obrolan di ruang publik. Dalam praktik klinis, keresahan itu mulai hadir sebagai keluhan kesehatan mental.
Psikolog klinis di Yogyakarta Mufliha Fahmi mengungkapkan, dalam beberapa bulan terakhir ia menangani sejumlah orang yang mengalami stress psikologis akibat kekhawatiran mendalam terhadap arah dan kondisi negara. Terlebih karena membaca berita tentang pernyataan pejabat publik yang kontroversial.
“Kalau diingat-ingat, ada tiga klien,” kata Mufliha saat dihubungi Kompas, Sabtu (20/12/2025).
Dia bercerita, salah satu pasiennya adalah seorang ibu hamil yang diliputi kecemasan mengenai masa depan anak yang akan ia dilahirkan. Kehamilan yang terjadi di luar rencana keluarganya itu diperberat oleh persepsinya bahwa kondisi negara saat ini sangat tidak bersahabat bagi generasi mendatang.
Dua klien lainnya datang dalam rentang satu minggu terakhir. Klien pertama mengeluhkan keresahan mendalam terkait kerusakan lingkungan dan ancaman bencana ekologis di masa depan. Ini dipicu oleh bencana ekologis di Sumatera, meski ia dan keluarganya bukan korban.
Sikap apatis bukanlah jalan keluar.
Sementara klien terakhir mengalami keputusasaan setelah menyaksikan cara pemerintah menangani bencana. Beberapa kasus ini membuktikan bahwa kebijakan negara yang tidak berpihak pada rakyat membuat kesehatan mental terganggu.
"Klien yang terakhir yang ngasih saya coklat untuk saling menguatkan, dia stres karena putus asa melihat cara pemerintah menangani bencana," ucapnya.
Secara umum, gejala yang muncul pada klien-klien tersebut relatif serupa. Dia menyebut kecemasan yang menetap, kewaspadaan berlebihan karena merasa selalu ada ancaman, serta kemarahan sebagai respons emosional yang paling dominan.
Perasaan-perasaan itu tidak muncul tiba-tiba, melainkan terakumulasi dari paparan informasi, pengalaman sosial, dan penilaian terhadap kondisi struktural di sekitar mereka.
Namun, Mufliha menegaskan bahwa sikap apatis bukanlah jalan keluar untuk menjaga kesehatan mental dalam situasi semacam ini. “Sama sekali tidak,” ujarnya tegas.
Menurut dia, upaya pemulihan justru dimulai dari menerima respons stres yang dirasakan dan memahami mengapa respons itu muncul. Setelah itu, mereka perlu berjejaring dan membangun gerakan kolektif untuk mengatasi hal-hal yang membuat mereka stres.
Partisipasi aktif, baik dalam komunitas, advokasi, maupun aksi sosial. dipandang sebagai kunci untuk memulihkan rasa berdaya dan makna. Bukan menarik diri dan bersikap tidak peduli.
Dalam konteks yang lebih luas, Mufliha menekankan bahwa kesehatan mental tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial dan kebijakan publik. Ia mengutip pandangan Afthonul Afif, ilmuwan psikologi klinis, yang menegaskan bahwa kesehatan mental merupakan produk dari struktur sosial yang menopang kehidupan sehari-hari.
“Kesehatan mental, menurut kerangka WHO dan American Psychiatric Association, tidak bisa dipisahkan dari determinan sosial yang lebih luas,” katanya.
Faktor seperti keamanan, keadilan sosial, akses layanan kesehatan, dan stabilitas ekonomi sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Ketika negara gagal menyediakan jaring pengaman sosial, mulai dari subsidi kesehatan hingga penanganan bencana, meningkatkan risiko gangguan mental masyarakat.
Sebaliknya, kebijakan yang inklusif dan berpihak pada kesejahteraan publik dapat berfungsi sebagai kebijakan preventif bagi kesehatan mental. Menilai kinerja pemerintah dari perspektif psikologi berarti menilai sejauh mana kebijakan publik mampu menciptakan kondisi sosial yang mendukung kesehatan mental warganya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa keresahan warga terhadap kondisi negara bukan sekadar sikap pesimistis atau skeptisisme berlebihan. Dalam batas tertentu, ia merupakan respons psikologis yang wajar terhadap realitas sosial.
Tantangannya, menurut Mufliha, adalah mengelola keresahan secara sehat, bukan dengan menutup mata, melainkan dengan keterlibatan aktif dan dukungan kolektif.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga mendorong bantuan kepada psikolog klinis dan psikiater untuk bisa terjun langsung ke area pascabencana di Sumatera. Sebab, setiap bencana menyisakan beberapa tahapan trauma pada para korban. Setelah trauma fisik dialami secara langsung, trauma mental menjadi prioritas untuk diobati pascabencana.
"Saya meminta bantuan kepada setiap organisasi profesi ataupun perseorangan dari para psikologi klinis dan psikiater atau dokter spesialis kedokteran jiwa untuk bisa datang ke lapangan melakukan trauma healing kepada para korban dan pengungsi disana," kata Budi melalui Instagramnya.
Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Pusat Andik Matulessy menyatakan, pemulihan mental para korban bencana akan berlangsung lama, layanan psikososial harus terus ada. Sebab, mereka perlu menata kehidupan baru mulai dari nol sebelum kembali normal.
HIMPSI menyatakan komitmen penuh untuk memberikan dukungan psikologis kepada para penyintas. Melalui dukungan profesional psikologi, HIMPSI siap berkolaborasi dengan pemerintah, organisasi kemanusiaan, dan masyarakat untuk memastikan bahwa para penyintas mendapatkan penanganan yang tepat, empatik, dan berkeadilan.
"Kami percaya bahwa pemulihan psikologis adalah bagian penting dari proses bangkit kembali, dan kehadiran para psikolog di lapangan dapat membantu memulihkan harapan serta memperkuat resiliensi komunitas," kata Andik.





