Anak Berbakat Tak Selalu Juara Kelas

kumparan.com
4 jam lalu
Cover Berita

Ruang kelas tersedia banyak, tetapi kecerdasan masih punya satu wajah, yaitu nilai tinggi dan peringkat. Anak yang rapornya penuh angka bagus dipuji, sementara yang lain ada yang meski sudah diam-diam belajar tapi hasilnya biasa saja—padahal tak sedikit dari mereka yang sebenarnya berbakat hanya tak masuk ke kolom nilai.

Ironisnya, sistem pendidikan sering membuat anak-anak percaya bahwa pintar itu satu bentuk saja. Jika tidak unggul di matematika, mereka merasa tidak cukup cerdas. Di sinilah banyak potensi hilang sebelum sempat tumbuh.

Howard Gardner—melalui teori Multiple Intelligence—pernah mengingatkan bahwa kecerdasan manusia tidak tunggal. Setiap anak membawa kombinasi kecerdasan yang berbeda sejak lahir. Ada yang cerdas dengan angka, ada yang hidup lewat kata-kata, ada yang berbicara melalui gerak tubuh, nada, gambar, empati, atau bahkan kepekaan terhadap alam. Namun, tidak semua kecerdasan diberi ruang yang sama di sekolah.

Ketika Anak Pintar Merasa Gagal

Tidak sedikit anak berbakat yang pulang sekolah dengan kepala tertunduk; bukan karena mereka tidak mampu, melainkan karena tidak pernah dianggap cukup. Mereka mungkin tidak terlihat di atas kertas ujian, tetapi mampu mencipta, memimpin, menggerakkan orang lain, atau melihat sesuatu yang tidak disadari teman-temannya bahkan gurunya.

Masalahnya, bakat hanya akan hidup jika dikenali. Multiple intelligence adalah fondasi, sementara bakat khusus adalah hasil dari kecerdasan yang dirawat. Ketika fondasi ini diabaikan, bakat berubah menjadi beban hingga sumber luka batin bagi anak-anak.

Bakat Tidak Pernah Seragam

Bakat tidak selalu hadir dalam bentuk juara kelas. Bakat terdiri atas bakat verbal, numerikal, spasial, mekanik, linguistik, sampai bakat dalam ketelitian dan kepemimpinan. Setiap bakat memiliki jalannya sendiri. Namun, pendidikan yang terlalu seragam sering memaksa semua anak berjalan di jalur yang sama.

Sebabnya, anak-anak dengan bakat berbeda justru tertinggal. Bukan karena mereka lambat, melainkan karena jalur mereka tidak pernah disiapkan. Prestasi akhirnya menjadi hak segelintir anak, sementara yang lain belajar menerima bahwa mereka “biasa saja”.

Lingkungan Bisa Menumbuhkan, Bisa Juga Mematikan

Bakat anak tidak tumbuh di ruang hampa. Itu dipengaruhi oleh faktor bawaan, kepribadian, dan terutama di lingkungan. Keluarga yang suportif, sekolah yang peka, dan lingkungan sosial yang menerima dapat membuat anak berkembang pesat.

Sebaliknya, tekanan, perbandingan, dan standar tunggal bisa membuat anak kehilangan kepercayaan diri. Banyak anak berbakat—yang menjadi underachiever—justru memiliki potensi besar, tetapi prestasinya rendah. Bukan karena malas, melainkan karena mereka tidak pernah merasa aman untuk menjadi diri sendiri.

Mengapa Banyak Anak Berbakat Tak Pernah Ditemukan?

Karena kita terlalu percaya bahwa kecerdasan bisa diringkas menjadi satu angka. Padahal, keberbakatan tidak hanya soal kemampuan di atas rata-rata, tetapi juga kreativitas dan komitmen terhadap tugas.

Ada anak yang penuh ide, tekun, dan memiliki dorongan kuat, tetapi gagal bersinar karena tidak cocok dengan sistem belajar yang ada. Ketika pendidikan hanya mengandalkan tes dan nilai, banyak potensi terlewat begitu saja. Anak-anak ini tidak bodoh; mereka hanya tidak diukur dengan cara yang adil.

Pendidikan yang Seharusnya Mengerti, bukan Menghakimi

Anak berbakat membutuhkan pendidikan yang berbeda, bukan istimewa secara berlebihan, melainkan manusiawi. Pendidikan berdiferensiasi—melalui pengayaan, percepatan, atau pendekatan individual—memberi ruang bagi anak untuk belajar sesuai ritmenya.

Model integrasi di kelas reguler dengan perlakuan khusus menjadi pilihan yang lebih sehat. Anak tidak dipisahkan, tetapi dipahami. Guru bukan hanya pengajar, melainkan pendamping yang membantu anak mengenali kekuatannya sendiri.

Mengubah Pertanyaan yang Salah

Mungkin masalah terbesar pendidikan bukan pada kurikulumnya, melainkan pada pertanyaan yang terus kita ulang. Kita terlalu sering bertanya, “Siapa yang paling pintar?” padahal seharusnya kita bertanya, “Apa yang membuat anak ini istimewa?”

Setiap anak cerdas, hanya dengan cara yang berbeda. Pendidikan yang adil bukan tentang menyamakan semua anak, melainkan tentang memberi ruang agar setiap anak tumbuh tanpa harus kehilangan dirinya sendiri. Anak berbakat memang tidak selalu juara kelas.

Namun, jika pendidikan mau berhenti menyederhanakan kecerdasan, mereka bisa tumbuh menjadi manusia utuh percaya diri, bermakna, dan memberi dampak bagi dunia.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Ayah Bupati Bekasi Turut Ditangkap KPK
• 22 jam lalukumparan.com
thumb
KPK OTT Bupati Bekasi: Sita Uang Ratusan Juta, Diduga Suap Terkait Proyek
• 22 jam lalukumparan.com
thumb
Kementerian ESDM siapkan aturan baru untuk LPG 3 kg agar tepat sasaran
• 5 jam laluantaranews.com
thumb
KPK Prihatin, Bupati-Jaksa Terjaring 3 Kali OTT dalam 2 Hari
• 22 jam lalukompas.com
thumb
Besok Diprediksi Jadi Puncak Arus Mudik Nataru ke Jogja, Exit Prambanan Jadi Perhatian
• 18 jam lalusuara.com
Berhasil disimpan.