PERGESERAN paradigma komunikasi publik pemerintah telah mencapai titik krusial di era digital. Saat ini, wajah birokrasi tidak lagi hanya direpresentasikan oleh siaran pers resmi atau situs web kaku, tapi melalui layar ponsel jutaan rakyat lewat aksi para pegawainya.
Fenomena pemengaruh atau influencer di institusi publik kini merambah hampir ke seluruh lini: mulai dari polisi yang mendokumentasikan aksi pengejaran, guru yang berbagi metode mengajar kreatif, tenaga medis yang mengedukasi kesehatan, hingga petugas pemadam kebakaran yang menunjukkan sisi humanis penyelamatan.
Kesadaran akan kompleksitas fenomena ini membawa penulis hadir sebagai narasumber dalam kegiatan peningkatan kapasitas yang diselenggarakan oleh Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) Provinsi DKI Jakarta dalam forum bertajuk "Pemanfaatan Media Sosial Secara Bertanggung Jawab dan Pengelolaan Citra Institusi dari Potensi Pelanggaran Kode Etik".
Terungkap keresahan strategis yang juga dialami banyak institusi lain: bagaimana mengelola antusiasme digital pegawai agar tetap selaras dengan marwah jabatan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Ekosistem baru komunikasi publik: Dari institusi ke individuDalam kajian Public Relations (PR) Strategis, kita menyaksikan pergeseran dari komunikasi berbasis institusi (institutional branding) menuju komunikasi berbasis individu (human branding).
Baca juga: UMP 2026: Formula Upah Baru, antara Kesejahteraan Buruh dan Jurang PHK
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=media sosial, pegawai pemerintah&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8yMC8xMDExNDM0MS9tZW5qYWdhLW1hcndhaC1hc24taW50ZWdyaXRhcy1wZWdhd2FpLXBlbWVyaW50YWgtZGktcHVzYXJhbi1tZWRzb3M=&q=Menjaga Marwah ASN: Integritas Pegawai Pemerintah di Pusaran Medsos§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Masyarakat cenderung lebih memercayai sosok manusia nyata di balik seragam dibandingkan akun resmi organisasi yang sering dianggap impersonal.
Hal ini menjelaskan mengapa influencer berseragam di berbagai instansi pemerintah—baik di kepolisian, TNI, kementerian, hingga Pemda—memiliki daya tarik dan jangkauan yang seringkali melampaui kanal komunikasi resmi instansi mereka.
Kehadiran para "duta digital" ini sejatinya adalah anugerah bagi komunikasi publik. Mereka berperan sebagai jembatan yang meruntuhkan sekat birokrasi, membuat institusi terasa lebih dekat, transparan, dan dapat dipercaya.
Namun, di balik popularitas tersebut, tersimpan risiko reputasi yang masif. Setiap individu yang mengenakan seragam saat tampil di media sosial secara otomatis membawa seluruh beban sejarah, nilai, dan kehormatan institusinya ke dalam ruang publik digital yang seringkali tidak kenal ampun.
Kepercayaan publik yang tinggi terhadap sebuah institusi—seperti yang dialami Damkar DKI saat ini—dibangun di atas dua pilar utama: field of experience dan frame of reference.
Pengalaman nyata (field of experience) adalah fondasi yang paling kokoh. Ketika warga merasakan langsung pertolongan petugas yang cepat, tulus, dan gratis, sebuah memori kolektif yang positif terbentuk. Ini adalah kinerja nyata yang menjadi mata uang kredibilitas paling berharga.
Namun, di era media sosial, mayoritas masyarakat membangun persepsi mereka tanpa pernah mengalami interaksi langsung.
Di sinilah frame of reference atau wawasan digital bekerja. Bagi jutaan orang, profesionalisme seorang abdi negara diukur dari apa yang mereka lihat di layar gawai.
Konten penyelamatan heroik, edukasi yang cerdas, hingga momen humanis yang dibagikan oleh para influencer institusi menjadi referensi utama publik.
Tantangannya, jika konten yang disajikan justru menampilkan perilaku yang bertentangan dengan nilai profesi, maka "wawasan digital" yang negatif akan dengan cepat merusak legitimasi kinerja nyata yang telah dibangun di lapangan.




