API Ingatkan Ancaman PHK Massal jika PP Pengupahan Baru Tak Diawasi

bisnis.com
7 jam lalu
Cover Berita

Bisnis.com, BANDUNG— Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mendesak pemerintah agar mengawasi implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 tentang pengupahan. 

API menilai beleid yang diterbitkan pada 17 Desember 2025 tersebut berisiko membahayakan keberlangsungan dunia usaha, sekaligus bisa menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masif bagi pekerja.

"Alih-alih meningkatkan daya beli buruh, yang ada PHK di mana-mana," ucap Direktur Eksekutif API, Danang Girindrawardana, dalam keterangan resminya, Jumat (19/12/2025).

Danang menyatakan meskipun menjaga daya beli pekerja merupakan hal penting, daya tahan dunia usaha sebagai pemberi kerja utama juga harus diperhatikan. 

googletag.cmd.push(function() { googletag.display("div-gpt-ad-parallax"); });

Jika pemerintah hanya berfokus pada kepentingan buruh secara sepihak, industri dikhawatirkan tidak mampu bertahan, yang pada akhirnya akan menurunkan serapan tenaga kerja dan meningkatkan angka PHK.

"Regulasi pengupahan nasional saat ini tidak membedakan sektor industri padat karya dengan sektor padat teknologi," jelasnya.

Baca Juga

  • UMP 2026 Sulsel Disepakati Naik 7,21%, Dewan Pengupahan: Masih Tunggu Penetapan Gubernur
  • PP Pengupahan 2026 Disahkan, Kadin Waswas Pertumbuhan Manufaktur Melambat
  • Apindo: Keterlambatan PP Pengupahan Rugikan Dunia Usaha di Batam

Menurutnya, sektor padat karya saat ini menjadi salah satu sektor yang mampu menampung pekerja berpendidikan rendah dan menengah dalam jumlah besar, sementara sektor padat teknologi membutuhkan tenaga kerja selektif berpendidikan tinggi dalam jumlah yang lebih sedikit.

"API menyarankan agar pemerintah dapat menerbitkan kebijakan yang terdiferensiasi sesuai karakteristik masing-masing sektor tanpa mengesampingkan kesejahteraan pekerja," kata dia.

Dia mengaku khawatir dengan para pengusaha tekstil dan garmen terkait dampak PP tersebut. Danang memaparkan 3 hal yang harus dipertimbangkan oleh pemerintahan di bawah komando Presiden Prabowo Subianto.

Pertama, kenaikan upah pekerja sebesar 6,5% yang telah ditetapkan pada tahun sebelumnya sudah mengakibatkan keruntuhan beberapa industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) skala nasional. 

API khawatir kenaikan upah lanjutan pada tahun 2026 akan menimbulkan lebih banyak korban industri. Alih-alih mendapatkan peningkatan pendapatan, para pekerja justru berisiko kehilangan mata pencaharian.

Kedua, kenaikan biaya produksi domestik yang dipicu oleh kenaikan upah akan membuat produk impor tekstil dan garmen semakin merajalela di pasar domestik. 

Kondisi ini dipicu oleh praktik predatory pricing yang sulit dikontrol pemerintah. Produsen tekstil dan garmen dalam negeri akan didorong secara alami untuk mengurangi kerugian dari dampak lonjakan biaya dan banjirnya importasi barang jadi.

Terkait masalah importasi, API menyinggung adanya celah regulasi melalui skema pajak penghasilan final (PPh Final) sebesar 0,5% bagi Wajib Pajak UMKM/Industri Kecil Menengah (IKM) dengan omzet hingga Rp4,8 miliar per tahun, sebagaimana diatur dalam PP No. 23 Tahun 2018. 

Skema yang juga diatur oleh UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan ini, kata dia, disinyalir disalahgunakan untuk perdagangan dan distribusi barang impor secara luas dengan beban pajak minimal. 

"Hal tersebut berisiko menimbulkan distorsi persaingan usaha dan melemahkan daya saing industri dalam negeri yang patuh pada kewajiban perpajakan proporsional," imbuhnya.

Ketiga, API mengkritik delegasi penetapan rentang nilai alpha sebesar 0,5 hingga 0,9 kepada Gubernur atas masukan Bupati/Wali Kota sebagai amanat PP 46 Tahun 2025. 

Menurut Danang, kebijakan yang bersifat delegatif ini berpotensi kembali mempolitisasi upah sebagai bagian dari politik praktis demi kekuasaan, alih-alih didasari kepentingan pertumbuhan iklim investasi dan ekonomi.

API menekankan bahwa kepentingan nasional adalah menciptakan iklim investasi dan serapan tenaga kerja yang diiringi pertumbuhan ekonomi. 

Dalam forum tripartit nasional, dunia usaha telah mengusulkan agar nilai alpha berada pada kisaran 0,1 hingga 0,5, yang dinilai telah mempertimbangkan kepentingan pekerja.

Danang menambahkan bahwa kenaikan upah, meskipun diarahkan kepada pekerja tahun pertama, pasti akan diikuti dengan kenaikan upah susulan berdasarkan Struktur dan Skala Upah (SUSU) dan peningkatan kewajiban tunjangan, seperti BPJS yang saat ini didasarkan pada persentase penghasilan. 

"Dengan demikian, beban biaya perusahaan meningkat tidak hanya dari kenaikan upah pokok, tetapi juga dari kenaikan biaya turunan lainnya," tandasnya.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Mutasi Polri, Irjen Edy Murbowo Ditunjuk Kapolri Jabat Kapolda NTB
• 7 jam lalurctiplus.com
thumb
Bursa Transfer: Jadi Duri Dalam Daging, MU Dikabarkan Siap Lepas Mainoo ke Chelsea dengan Syarat Ini
• 3 jam lalutvonenews.com
thumb
Wulan Guritno Jadi Pemilik Anyar, RANS Simba Bogor Makin Kental Nuansa Artis
• 1 jam laluskor.id
thumb
Rapor Pertama Siswa Sekolah Rakyat, Jalan Meraih Mimpi Itu Kembali Ada
• 5 jam lalukompas.com
thumb
Kronologi Kecelakaan Mobil Kru NDX AKA di Banyumas, Personel Tetap Tampil Secara Profesional
• 48 menit lalugrid.id
Berhasil disimpan.