Female Genital Mutilation atau biasa yang kita sebut dengan FGM adalah praktik khitan perempuan yang merupakan tindakan pemotongan, penggoresan, atau perubahan lainnya pada organ genital perempuan tanpa indikasi medis. Praktik ini masih dilakukan di berbagai negara Asia dan Afrika, termasuk Indonesia, baik dalam bentuk simbolik maupun dalam bentuk yang melukai fisik.
Meskipun sering dikaitkan dengan nilai budaya, moralitas, dan religiusitas, FGM telah menjadi isu global karena berkaitan dengan kesehatan perempuan, hak asasi manusia, serta kontrol sosial terhadap tubuh perempuan.
Di Indonesia, perdebatan mengenai FGM berlangsung intens. Sebagian kelompok masyarakat menilai bahwa praktik ini merupakan tradisi penting yang harus dipertahankan, sementara kelompok lainnya menolak FGM karena dianggap berbahaya dan melanggar integritas tubuh perempuan.
FGM sebagai Identitas Budaya dan Warisan LeluhurBagi sebagian komunitas, FGM dipandang sebagai bagian dari identitas budaya yang diwariskan turun-temurun. Penelitian Marie-Hélène Doucet (2022) di Guinea menunjukkan bahwa praktik ini memiliki makna simbolik yang dianggap menjaga kehormatan perempuan dan keluarga. FGM juga dipahami sebagai modal simbolik yang memengaruhi status sosial perempuan di komunitasnya.
Di Indonesia, praktik seperti tradisi Tetesan di Patehan, Yogyakarta memperlihatkan bahwa ritual ini merupakan bagian dari sistem simbol dan pendidikan moral kolektif. Tradisi tersebut tidak hanya terkait fisik, tetapi juga penuh nilai spiritual dan sosial, menghubungkan keluarga, tetangga, dan komunitas dalam sistem nilai budaya yang telah berlangsung lama.
Upaya Pelestarian Budaya dalam Bentuk SimbolikBeberapa komunitas tidak melakukan pemotongan, tetapi mengubah FGM menjadi ritual simbolik yang tidak melukai. Berikut merupakan beberapa contohnya.
Bugis-Makassar dengan ritual mappaselleng yang hanya melibatkan sentuhan simbolis, pembacaan doa, dan penggunaan daun pacci, tanpa melukai organ genital.
Masyarakat Bagu, Lombok yang melakukan penyucian dan ritual doa tanpa tindakan pembedahan.
Tradisi Singgiloa di Buton, yang menekankan nilai spiritual, kebersihan, dan kedewasaan tanpa melibatkan pemotongan.
Data UNFPA (2024) menunjukkan bahwa 58,6% praktik FGM di Indonesia sudah beralih menjadi bentuk simbolik. Hal ini membuktikan bahwa tradisi dapat dipertahankan tanpa memberi dampak kesehatan serius.
Fungsi Sosial dan PsikologisDalam beberapa komunitas, FGM diyakini sebagai ritus peralihan yang memberi penerimaan sosial dan identitas kolektif. Perempuan yang menjalani praktik ini merasa menjadi bagian penuh dari komunitasnya. Dari sudut pandang antropologis, praktik seperti Tetesan atau Singgiloa dipercaya mempererat solidaritas sosial dan membangun moralitas kolektif.
Dampak Kesehatan, Pelanggaran Hak Asasi, dan Tekanan SosialPertama, risiko kesehatan dan tidak ada indikasi medis. Pandangan kontra menegaskan bahwa tidak ada bentuk FGM yang aman, bahkan yang disebut simbolik sekalipun. WHO (2025) menyatakan bahwa semua bentuk tindakan pada organ genital perempuan tanpa kebutuhan medis dikategorikan sebagai FGM.
Risiko FGM meliputi infeksi dan perdarahan, nyeri kronis, gangguan menstruasi, komplikasi saat melahirkan, trauma psikologis jangka panjang, penurunan sensitivitas seksual, serta dampak obstetrik.
Penelitian Shakira & Anissa (2025) menegaskan bahwa FGM di Indonesia sering dilakukan tanpa indikasi medis. Bahkan, ketika dilakukan oleh tenaga medis sekalipun, tetap dikategorikan sebagai pelanggaran etik kedokteran.
Kedua, pelanggaran hak asasi manusia. FGM dianggap sebagai bentuk kekerasan berbasis gender yang melanggar karena dianggap hak atas integritas tubuh, hak kesehatan, hak anak, dan prinsip kesetaraan gender dalam CEDAW.
Penelitian Fitriani & Trisnawati (2023) menunjukkan bahwa Indonesia seharusnya melarang praktik ini karena bertentangan dengan standar internasional. Tubuh perempuan bukanlah objek budaya yang bisa dimodifikasi tanpa persetujuan. Bahkan, terkadang FGM dilakukan pada anak yang belum dapat memberikan persetujuan (informed consent), sehingga melanggar prinsip dasar hak anak.
Ketiga, tradisi sebagai mekanisme tekanan sosial. Beberapa penelitian—seperti Fitriani (2022) dan Shell-Duncan (2018)—menunjukkan bahwa FGM dipertahankan bukan karena perempuan menginginkannya, melainkan karena tekanan sosial. Perempuan yang tidak menjalani FGM sering dianggap tidak suci, tidak dihormati, atau tidak layak dinikahi. Ini membuktikan bahwa FGM adalah produk sistem patriarki yang mengontrol tubuh perempuan, bukan praktik budaya yang netral.
Kemudian, kegagalan reinterpretasi budaya dan ritual alternatif. Pendekatan reformasi seperti ARP (Alternative Rites of Passage) dianggap belum efektif. Njiiri et al. (2024) menemukan bahwa meskipun ARP diterapkan di Kenya, praktik FGM terus berlangsung secara tersembunyi. Begitu pula penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa simbolisasi tradisi tidak otomatis menghapus akar budaya yang menjustifikasi pemotongan.
Terakhir, medikalisasi justru menormalisasi FGM. Menurut Leye et al. (2019), keterlibatan tenaga medis tidak mengurangi praktik FGM, tetapi memperkuat legitimasi sosialnya. Rahmawati (2021) menemukan bahwa tenaga kesehatan masih banyak terlibat dalam praktik ini di Indonesia, menunjukkan bahwa medikalisasi justru memperluas praktik, bukan menghapusnya.
Dari dua perspektif di atas, terlihat bahwa FGM adalah praktik yang sarat makna budaya, religius, dan sosial. Namun, dari sudut pandang kesehatan dan hak asasi manusia, FGM tetap berisiko dan tidak memiliki manfaat medis.
Isu utama bukan hanya pada tindakan fisik, melainkan juga pada struktur sosial yang menempatkan tubuh perempuan sebagai pusat kontrol moral komunitas. Tradisi seperti Tetesan atau Singgiloa dapat dilestarikan sebagai simbol budaya tanpa melibatkan tindakan mutilatif.
Oleh karena itu, pelestarian nilai moral dan simbolik masyarakat tetap dapat dilakukan tanpa mempertahankan praktik yang melukai tubuh perempuan. Transformasi tradisi melalui ritual non-fisik, edukasi, dan pemberdayaan perempuan adalah jalan tengah yang lebih etis, aman, dan manusiawi.
Tradisi memang penting, tetapi budaya yang sejati adalah budaya yang berkembang menuju nilai kemanusiaan. FGM bukan hanya masalah medis atau budaya, melainkan juga masalah hak asasi. Menolak FGM bukan berarti menolak budaya, melainkan membangun budaya baru yang memanusiakan perempuan.




