CEO Ford Motor Company, Jim Farley, secara terbuka mengakui bahwa teknologi manufaktur dan pengembangan mobil listrik Ford tertinggal jauh dibandingkan para pesaing, khususnya produsen otomotif asal China.
Bahkan, Ford disebut tertinggal hingga 25 tahun dalam sejumlah aspek teknologi utama. Pernyataan tersebut mencuat seiring pengalaman pribadi Farley menggunakan mobil listrik Xiaomi SU7, sedan listrik asal China yang belakangan mencuri perhatian industri otomotif global.
Farley mengaku sangat terkesan dengan pendekatan teknologi dan pengalaman pengguna yang ditawarkan Xiaomi, hingga menyebut merek tersebut sebagai 'Apple dari China'.
“Tidak mengherankan mereka bisa begitu sukses. Pengalaman yang diberikan Xiaomi sangat mulus dan terintegrasi,” ujar Farley dikutip Car News China.
Farley menyoroti bagaimana Xiaomi SU7 mampu mengenali pengemudi secara otomatis melalui ponsel pintar tanpa perlu proses pairing, dilengkapi pengenal wajah, asisten AI di dalam mobil, hingga performa akselerasi 0–100 km/jam yang dapat diraih dalam waktu sekitar tiga detik. Menurutnya, sensasi berkendara mobil tersebut mengingatkannya pada Porsche Taycan.
Untuk memahami langsung kekuatan para pesaing, Farley bahkan mengambil langkah tak biasa. Setelah mengunjungi China tahun lalu, ia meminta tim manajemennya memilih lima kendaraan listrik terbaik asal Negeri Tirai Bambu untuk dikirim ke Amerika Serikat. Mobil-mobil tersebut kemudian digunakan oleh jajaran pimpinan Ford sebagai kendaraan harian.
Langkah tersebut dilakukan sebagai upaya membuka mata internal Ford terhadap realitas persaingan global. Farley menegaskan, Ford tidak boleh mengulangi kesalahan masa lalu dengan meremehkan kekuatan industri otomotif Asia.
Ia menambahkan, sikap menghormati kompetitor harus dimulai dari pimpinan tertinggi agar menjadi budaya di seluruh perusahaan.
Pengakuan soal ketertinggalan teknologi ini juga diperkuat ketika Ford merekrut Doug Field, mantan insinyur utama Tesla Model 3 yang juga pernah terlibat dalam proyek mobil Apple.
Dari hasil evaluasi internal, Ford menemukan bahwa dalam beberapa area krusial, terutama teknologi kendaraan listrik dan digitalisasi manufaktur, perusahaan tertinggal hingga seperempat abad dari pemain terdepan industri.
Bagi Ford, kondisi ini menjadi tantangan besar sekaligus alarm keras untuk berbenah. Di tengah gempuran merek China yang agresif menggabungkan teknologi canggih, efisiensi manufaktur, dan harga kompetitif, transformasi menyeluruh dinilai menjadi satu-satunya jalan agar pabrikan asal Amerika Serikat tersebut tetap relevan di era elektrifikasi.



