EtIndonesia. Baru-baru ini, The Wall Street Journal menerbitkan sebuah laporan panjang tentang gaya hidup yang semakin populer di kalangan anak muda di Tiongkok daratan, yang dikenal sebagai fenomena “manusia tikus” (rat people). Di tengah tingginya tingkat pengangguran, persaingan internal yang semakin ketat (neijuan), serta melonjaknya biaya hidup, semakin banyak kaum muda memilih menurunkan hasrat hidup, mengurangi interaksi sosial, dan menarik diri ke ruang sempit untuk hidup layaknya tikus.
Para pakar menilai bahwa ini bukan sekadar budaya bercanda atau menyindir diri sendiri, melainkan respons kolektif terhadap rasa tidak berdaya menghadapi realitas. Para ekonom pun memperingatkan bahwa jika ekosistem “manusia tikus” menjadi hal yang normal, hal itu dapat secara serius melemahkan daya konsumsi Tiongkok dan menantang pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
“Manusia Tikus” Menyebar di Kalangan Generasi ZMenurut laporan The Wall Street Journal, gaya hidup yang menyebut diri sebagai “manusia tikus” tengah menyebar cepat di kalangan generasi muda Tiongkok, khususnya Generasi Z. Istilah “manusia tikus” merujuk pada anak muda yang lama tinggal di ruang sempit, menghindari interaksi sosial, memiliki pola hidup terbalik siang–malam, serta mempertahankan kehidupan dengan biaya sangat rendah. Tagar terkait fenomena ini menjadi viral di media sosial Tiongkok, dengan jumlah penayangan mencapai puluhan miliar kali.
Laporan tersebut menekankan bahwa “manusia tikus” bukan sekadar cerminan kemalasan atau pengasingan diri, melainkan bentuk penarikan diri yang bersifat protektif. Ini adalah pilihan yang diambil anak muda di bawah tekanan berat akibat harga properti yang tinggi, biaya hidup mahal, persaingan ekstrem, dan kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Dalam beberapa tahun terakhir, seiring terus melemahnya ekonomi Tiongkok, tingkat pengangguran kaum muda tetap berada pada level tinggi. Menurut data resmi, pada Juli tahun lalu tingkat pengangguran usia 16 hingga 24 tahun mencapai 17,1%, artinya satu dari enam anak muda menganggur—lebih dari tiga kali lipat tingkat pengangguran secara keseluruhan. Bahkan, kondisi nyata diyakini bisa lebih buruk dari angka resmi.
Banyak anak muda masa kini menyadari bahwa meskipun memiliki pendidikan tinggi, mereka tetap kesulitan memperoleh pekerjaan yang stabil dan menarik, dan upaya keras belum tentu membuahkan hasil. Karena itu, sebagian memilih apa yang disebut sebagai “cara bertahan alami”, guna meredakan rasa kesepian, kecemasan, dan ketidakberdayaan.
Evolusi dari Budaya “Rebahan”Fenomena “manusia tikus” dipandang sebagai versi lanjutan dari budaya “tang ping” (rebahan dan pasrah). Jika “pasrah” merupakan bentuk perlawanan pasif terhadap persaingan berlebihan, maka gaya hidup “manusia tikus” bukan berarti berhenti mengkonsumsi, melainkan mengalihkan konsumsi ke arah yang berbiaya rendah dan bersifat ke dalam, seperti layanan streaming, gim ponsel, makanan pesan-antar, serta kebutuhan hidup murah.
Pergeseran ini diperkirakan akan memberi tekanan besar pada sektor-sektor yang bergantung pada peningkatan konsumsi, seperti otomotif, pariwisata, restoran, dan industri fesyen.
Ancaman bagi Konsumsi dan Pertumbuhan Jangka PanjangPara ekonom memperingatkan bahwa tren ini dapat menimbulkan tantangan serius bagi struktur konsumsi dan pertumbuhan jangka panjang Tiongkok. Penurunan struktural dalam keinginan belanja kaum muda dapat menyebabkan “pengosongan” pasar produk dan jasa kelas menengah, sehingga menghambat potensi pertumbuhan ekonomi.
Hong Kong Economic Journal menganalisis bahwa fenomena “manusia tikus” mencerminkan perubahan mentalitas generasi muda Tiongkok dari kondisi “terjebak dalam persaingan internal” menuju “menarik diri dari arena”. Selain memperparah lemahnya konsumsi, hal ini juga berpotensi mempengaruhi pasar tenaga kerja dan inovasi sosial.
Bagi mereka yang menyebut diri sebagai “manusia tikus”, istilah tersebut sekaligus merupakan bentuk ejekan terhadap diri sendiri dan gambaran nyata tekanan hidup di perkotaan Tiongkok masa kini. (Hui/asr)





