FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Dokter Tifauzia Tyassuma, kembali blak-blakan terkait Presiden ke-7, Jokowi. Ia menyebut bahwa di penghujung tahun kebohongannya kian terkuak.
Terutama terkait polemik hukum yang menyeret dirinya dan tujuh orang lainnya dengan penggunaan pasal-pasal berat dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dikatakan Tifa, Pasal 32 dan 35 UU ITE sejatinya dirancang untuk menjerat pelaku kejahatan serius, seperti pembobol bank, manipulator data, hingga peretas keamanan negara.
Namun, ia melihat pasal tersebut justru digunakan Jokowi untuk mempidanakan para pencari kebenaran ijazah.
“Pasal 32 dan 35 UU ITE Pasal yang sangat kejam dengan hukuman 8 dan 12 tahun, yang dibuat untuk menghukum pembobol bank, pemanipulator data, hacker keamanan negara, dipakai oleh Jokowi, mantan Presiden, untuk mempidanakan RRT!,” tegasnya.
Yang lebih disesalkan, menurut Tifa, Jokowi tidak mengakui langkah tersebut dalam pernyataan-pernyataannya di ruang publik.
“Dan parahnya lagi, dalam pernyataan-pernyataan yang dia sampaikan di media, dia tidak mengakui!,” lanjutnya.
Ia menegaskan bahwa sikap tersebut bukan hanya berdampak secara hukum dan politik, tetapi juga menimbulkan kegaduhan sosial dan memperlebar jurang perpecahan di masyarakat.
“Ini lebih dari sekedar kekejaman bagi rakyat, lebih dari itu, dia telah membuat kegaduhan, dan perpecahan di masyarakat, meningkatkan rasa saling curiga,” sebutnya.
Tifa juga menyinggung keterlibatan anak-anak muda dalam pusaran konflik tersebut. Baginya, generasi muda seharusnya menjadi aset bangsa, bukan dijadikan alat dalam konflik kekuasaan.
“Dan yang paling mengerikan, dia melibatkan anak-anak muda sebagai termul, yang seharusnya menjadi aset bangsa, bukan sekedar berhenti menjadi termul. Berapa jahatnya,” katanya.
Lebih jauh, ia menuturkan adanya konsekuensi yang sering dilupakan dari kebohongan, yakni dampaknya terhadap kesehatan tubuh.
Konsekuensi itu, kata dia, tidak tercatat dalam laporan keuangan maupun neraca kekuasaan, namun perlahan menggerogoti tubuh dari dalam.
“Tetapi yang lupa, ada biaya yang harus ditanggung oleh tubuh, yang tidak dia sadari, biaya emosi yang menghantam imunitas tubuh!,” imbuhnya.
Ia menjelaskan, biaya tersebut bekerja secara senyap namun konsisten, memengaruhi pikiran, tubuh, hingga sistem imun manusia.
“Biaya ini tidak tercatat di neraca keuangan, tidak tampak di laporan kekuasaan, tetapi perlahan menggerogoti pikiran, tubuh, dan sistem imun. Ia bekerja senyap, konsisten, dan kejam,” terangnya.
Tifa kemudian menguraikan pandangannya dari sisi medis dan psikologis. Menurutnya, kejujuran justru membawa dampak biologis dan psikologis yang positif.
“Kejujuran, meski sering terasa pahit di awal, sejatinya adalah berkat biologis dan psikologis,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, saat seseorang jujur, pikiran dan tubuh berada dalam kondisi selaras. Tidak ada konflik internal, kecemasan, atau tekanan mental yang berlebihan.
“Otak berada dalam kondisi koheren. Tubuh pun relatif tenang. Sistem imun bekerja tanpa gangguan stres kronis,” katanya.
Sebaliknya, kebohongan dinilainya sebagai utang mental yang terus menumpuk.
“Sebaliknya, kebohongan adalah utang mental. Setiap kebohongan menuntut kebohongan lanjutan untuk menutupinya,” Tifa menuturkan.
Ia menambahkan, dalam perspektif ilmu saraf dan psiko-neuro-imunologi, kebohongan memicu stres kronis yang berdampak pada meningkatnya peradangan dan melemahnya sistem imun.
“Tubuh membaca kebohongan sebagai ancaman yang tak pernah selesai,” tegasnya.
Dalam konteks Jokowi, polemik yang terus berulang terutama soal ijazah dinilai Tifa bukan lagi sekadar persoalan hukum atau politik.
“Dalam konteks Jokowi, polemik yang tak kunjung usai terutama soal ijazah bukan sekadar perkara hukum atau politik. Ia telah berubah menjadi beban emosi kolektif dan, lebih dalam lagi, beban psikobiologis bagi subjek utamanya,” jelasnya.
Kata Tifa, setiap klarifikasi yang setengah-setengah dan transparansi yang tertunda justru menambah lapisan stres, baik bagi publik maupun bagi Jokowi sendiri.
“Masalahnya, tubuh tidak bisa diajak berbohong,” Tifa menuturkan.
Ia menegaskan, meski narasi bisa direkayasa dan prosedur bisa diatur, sistem imun hanya merespons kejujuran biologis.
“Ketika seseorang terus hidup dalam ketegangan mempertahankan kebohongan, tubuh akan menagihnya dalam bentuk kelelahan, penyakit autoimun, inflamasi kronis, atau kerusakan kesehatan yang tampak tidak ada sebabnya,” tukasnya.
Di titik tersebut, Tifa menekankan kebohongan menjadi jauh lebih mahal dibandingkan kejujuran.
“Di titik ini, berbohong menjadi jauh lebih mahal daripada jujur. Mahal secara mental, mahal secara emosional, dan mahal secara biologis,” tandasnya.
Tifa bilang, sejarah telah berkali-kali membuktikan kekuasaan bisa bertahan lewat manipulasi, namun kesehatan dan ketenangan hidup hanya bisa dirawat dengan kejujuran.
“Pada akhirnya, bukan pengadilan yang paling keras, melainkan tubuh sendiri yang akan memutuskan vonisnya,” kuncinya.
(Muhsin/Fajar)




