JAKARTA, KOMPAS– Kondisi warga yang terdampak banjir di Sumatera belum pulih. Risiko gangguan kesehatan kian tinggi, sedangkan layanan kesehatan belum berjalan optimal. Hal itu diperburuk dengan terganggunya layanan kesehatan untuk penyakit yang sudah ada.
Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi, Tjandra Yoga Aditama mengatakan, bencana banjir yang terjadi di Sumatera beberapa waktu lalu masih memberikan dampak pada masyarakat, termasuk masalah kesehatan seperti tuberkulosis. Masalah tuberkulosis perlu jadi perhatian, karena penyakit ini butuh pengobatan jangka panjang yang tak boleh terputus.
“Pasien tuberkulosis harus mengonsumsi obat antituberkulosis selama setidaknya enam bulan. Tidak boleh putus dan berhenti di tengah jalan. Dengan bencana, pasien jadi tidak dapat datang ke puskesmas atau rumah sakit tempat untuk mengambil obat,” katanya, dalam pernyataannya, di Jakarta, pada Minggu (21/12/2025).
Berbagai fasilitas kesehatan termasuk farmasi yang menyimpan obat juga rusak sehingga obat antituberkulosis tidak tersedia. Sementara itu, upaya distribusi obat dari daerah lain juga sulit dilakukan karena terputusnya alur transportasi ke lokasi terdampak bencana.
Tjandra menuturkan, persoalan akses tersebut serta perbaikan sarana prasarana pendukung kesehatan harus segera diatasi. Jika dibiarkan berlarut, masyarakat termasuk pasien tuberkulosis tidak dapat mengakses obat yang dibutuhkan untuk menunjang kesembuhannya.
Selain itu, ia mengatakan, diagnosis penyakit tuberkulosis harus ditegakkan secara tepat dengan pemeriksaan laboratorium tes cepat molekuler (TCM). Namun, banyak alat TCM yang rusak akibat dampak bencana. Perbaikan pada alat diagnosis tersebut juga perlu dilakukan dengan cepat.
“Memang ada kemungkinan diagnosis lain dengan foto rontgen, tapi alat rontgen dan ruangannya juga mungkin rusak dan terdampak akibat bencana banjir sehingga perlu segera diperbaiki pula,” ucapnya.
Tjandra menyampaikan, antisipasi adanya lonjakan penularan tuberkulosis perlu menjadi perhatian pula. Lokasi pengungsian yang padat kerumunan sangat rentan terhadap penularan tuberkulosis.
Lokasi pengungsian yang padat kerumunan sangat rentan terhadap penularan tuberkulosis.
Kondisi para pengungsi yang membuat daya tahan tubuh menurun juga membuat penularan tuberkulosis menjadi semakin rentan. Pada sejumlah orang yang sudah membawa kuman tuberkulosis pada tubuhnya dapat memburuk sehingga menunjukkan tanda dan gejala.
“Kegiatan pengendalian tuberkulosis memerlukan sumber daya manusia, sarana prasarana, dan sistem kerja yang baik. Amat diperlukan ketahanan atau resiliensi kesehatan yang kuat setidaknya sampai beberapa bulan ke depan,” tuturnya.
Penyakit lain yang juga perlu diantisipasi yakni penyakit kulit. Kondisi lingkungan yang lembap, kurang higienis, dan padat penghuni membuat para pengungsi rentan mengalami berbagai infeksi kulit.
Dosen dari Fakultas Kedokteran IPB University, Widya Khairunnisa Sarkowi menuturkan, paparan air banjir yang tercepat merupakan pemicu utama maraknya keluhan kesehatan kulit setelah bencana terjadi. Air banjir biasanya bercampur lumpur, sampah rumah tangga, kotoran, hingga bangkai.
“Kombinasi ini sangat ideal untuk menimbulkan penyakit kulit, terutama saat warga terpapar dalam waktu lama,” katanya dikutip dalam laman IPB University.
Widya menyampaikan, temuan yang sama juga terjadi di berbagai negara yang kerap mengalami banjir. Kasus penyakit kulit selalu meningkat pada fase tanggap darurat banjir. Penyakit kulit yang sering ditemui, yakni dermatitis kontak, infeksi jamur, dan infeksi bakteri. Penyakit-penyakit tersebut merupakan penyakit yang umum terjadi pascabencana.
Keluhan yang muncul pada kondisi dermatitis kontak, antara lain, kulit merah, gatal, dan perih akibat paparan air banjir atau bahan pembersih.
Sementara untuk infeksi jamur ditandai dengan adanya kurap pada badan, selangkangan, dan sela jari kaki. Untuk infeksi bakteri seperti impetigo dan selulitis banyak muncul pada orang dengan luka terbuka.
“Tidak jarang, korban banjir juga mengalami luka traumatik akibat tersayat puing atau benda tajam selama proses evakuasi. Luka tersebut mudah terinfeksi karena kondisi lingkungan yang lembap dan tidak higienis,” tuturnya.
Widya menyebutkan, gejala dan tanda yang muncul terkait penyakit kulit jangan dibiarkan, terutama ketika kondisi infeksi mulai serius. Kondisi itu meliputi antara lain kulit memerah luas, bengkak, muncul rasa hangat atau nyeri. Jika luka memburuk, mengeluarkan nanah, berbau, atau disertai demam, pasien itu harus segera mencari pertolongan medis.
Penyakit kulit lebih rentan terjadi pada orang yang tinggal di wilayah dengan keterbatasan akses pada layanan kebersihan dan kesehatan. Selain di lokasi bencana, orang-orang yang tinggal dengan kondisi sosial-ekonomi rendah, tinggal di daerah padat, serta memiliki akses air bersih terbatas paling berisiko mengalami penyakit kulit.
Kondisi penyakit kulit ini harus diwaspadai pada kelompok rentan, yaitu anak-anak, warga lanjut usia atau lansia, ibu hamil, serta orang dengan penyakit kronis seperti diabetes, kanker, HIB, dan gangguan ginjal. Kondisi fisik yang lemah membuat orang dengan penyakit tersebut lebih mudah mengalami infeksi kulit dan komplikasi.
Untuk mencegah terjadinya penyakit kulit, masyarakat sebisa mungkin menjaga kebersihan tubuh. Mandi dengan air bersih dan sabun sangat disarankan. Selain itu, gunakan alas kaki dan hindari berbagi barang pribadi seperti handuk dan pakaian.
“Prinsipnya adalah bersihkan, keringkan, dan lindungi. Setelah terpapar air banjir, segera cuci bagian kulit yang terasa gatal atau muncul ruam dengan air bersih dan sabun, lalu keringkan dengan handuk bersih,” kata Widya.




