Di banyak keluarga Indonesia, membandingkan anak sering kali dianggap hal lumrah. Kalimat seperti “Lihat tuh anak si A, selalu ranking satu,” atau “Kakakmu dulu seusiamu sudah bisa ini itu” meluncur begitu saja, tanpa niat melukai.
Orang tua merasa sedang memotivasi, guru merasa sedang menyemangati, lingkungan merasa sedang “menyadarkan”. Sayangnya, yang kerap luput disadari adalah satu hal penting: anak bukan piala yang dinilai dari siapa yang paling berkilau.
Budaya membanding-bandingkan anak sudah begitu mengakar hingga jarang dipertanyakan. Prestasi akademik, kemampuan bersosialisasi, bahkan penampilan fisik kerap dijadikan ukuran keberhasilan pengasuhan.
Anak yang unggul dipuji dan anak yang tertinggal dijadikan contoh sebaliknya. Dalam logika orang dewasa, perbandingan adalah alat dorong. Namun dalam dunia batin anak, perbandingan sering berubah menjadi beban.
Setiap anak lahir dengan keunikan, tempo belajar, dan potensi yang berbeda. Ketika mereka terus-menerus dibandingkan, pesan yang tertanam bukanlah “kamu bisa lebih baik”, melainkan “kamu tidak cukup”. Anak mulai mengukur nilai dirinya bukan dari usaha dan proses, melainkan dari posisinya dibandingkan orang lain. Di sinilah masalah bermula.
Banyak anak tumbuh dengan rasa tidak aman yang sulit dijelaskan. Mereka rajin, patuh, dan berprestasi, tetapi diam-diam dihantui ketakutan gagal. Mereka belajar bahwa cinta, pujian, dan penerimaan bersyarat pada hasil. Nilai tinggi berarti bangga, nilai rendah berarti kecewa. Anak lalu berjuang bukan untuk berkembang, melainkan untuk menghindari rasa kalah. Hidup berubah menjadi kompetisi tanpa garis akhir.
Lebih berbahaya lagi, kebiasaan membandingkan dapat merusak hubungan anak dengan orang-orang terdekatnya. Saudara kandung bisa tumbuh dengan rasa iri, dendam, atau merasa tidak adil. Teman sebaya berubah dari kawan menjadi lawan.
Anak belajar melihat orang lain bukan sebagai rekan bertumbuh, melainkan sebagai ancaman terhadap harga dirinya. Padahal, kemampuan bekerja sama dan empati justru lahir dari rasa aman, bukan dari persaingan terus-menerus.
Ironisnya, orang dewasa sering lupa bahwa standar perbandingan juga berubah-ubah dan tidak selalu adil. Anak dibandingkan dengan yang unggul, jarang dengan yang sedang berjuang. Anak diminta berlari cepat, tanpa ditanya apakah sepatunya pas. Tidak semua anak tumbuh dalam kondisi yang sama, dengan minat yang sama, atau dukungan yang sama. Menyamakan garis start mereka adalah ketidakadilan yang kerap dibungkus niat baik.
Membandingkan anak juga menyederhanakan makna keberhasilan. Seolah hidup hanya soal angka rapor, piala lomba, atau pengakuan sosial. Padahal, keberhasilan sejati mencakup ketangguhan, kejujuran, kemampuan untuk bangkit, dan kesehatan mental terhadap hal-hal yang tidak selalu terlihat dan tidak bisa dilombakan. Anak yang tidak juara kelas bisa saja memiliki empati tinggi atau kreativitas luar biasa, tetapi hal itu sering kali luput dari perhatian karena tidak mudah diukur.
Tidak sedikit pula anak yang akhirnya tumbuh dewasa dengan suara kritis di kepalanya—suara yang terus membandingkan dirinya dengan orang lain—bahkan ketika orang tua sudah tidak lagi melakukannya. Mereka membawa pola itu ke tempat kerja, hubungan pribadi, dan kehidupan sosial. Luka masa kecil menjelma menjadi tekanan hidup yang panjang.
Lantas, apakah orang tua dan pendidik harus berhenti mendorong anak untuk berkembang? Tentu tidak. Yang perlu diubah bukan semangatnya, melainkan caranya. Daripada membandingkan dengan orang lain, lebih sehat jika anak diajak untuk membandingkan dirinya hari ini dengan dirinya kemarin. Fokus pada proses, bukan hanya hasil. Apresiasi usaha, bukan sekadar capaian.
Anak perlu merasa bahwa ia dicintai bukan karena menjadi yang terbaik, melainkan karena ia adalah dirinya sendiri. Dari rasa aman itulah tumbuh keberanian untuk mencoba, gagal, dan belajar. Anak yang tidak takut dibandingkan justru lebih berani berkembang karena ia tahu nilainya tidak runtuh hanya karena satu kegagalan.
Sudah saatnya kita berhenti menjadikan anak sebagai piala yang dipamerkan atau tolak ukur gengsi. Anak adalah manusia utuh yang sedang bertumbuh, bukan proyek ambisi orang dewasa. Ketika kita berhenti membandingkan, kita memberi mereka ruang untuk mengenali potensi diri tanpa rasa tertekan.
Masyarakat boleh terus berlomba, tetapi rumah dan sekolah seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak untuk menjadi dirinya sendiri. Karena pada akhirnya, anak yang bahagia dan mengenal dirinya jauh lebih berharga daripada anak yang tampak unggul, tetapi kehilangan rasa percaya dirinya. Anak bukan piala; mereka adalah masa depan yang perlu dipeluk, bukan dilombakan.



