Ketegangan perdagangan global kembali menguat. Tarif impor—yang seharusnya menjadi instrumen perlindungan ekonomi domestik—kini berubah menjadi senjata geopolitik yang dampaknya menjalar ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Meski istilah “perang dagang” sempat meredup pascapandemi, realitanya konflik ekonomi antarnegara besar belum benar-benar berakhir—hanya berganti bentuk.
Dalam beberapa waktu terakhir, negara-negara besar kembali menaikkan tarif dan memperketat kebijakan perdagangan dengan dalih melindungi industri dalam negeri. China, Amerika Serikat, dan Uni Eropa berada di garis depan dinamika ini.
Surplus perdagangan China yang besar memicu reaksi keras dari mitra dagangnya, sementara negara-negara Barat semakin agresif menerapkan kebijakan proteksionisme atas nama keamanan ekonomi.
Masalahnya, proteksionisme bukan solusi jangka panjang. Tarif yang tinggi memang dapat melindungi industri tertentu, tetapi di sisi lain mendorong kenaikan harga barang, mengganggu rantai pasok global, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia. Beban akhirnya justru ditanggung oleh konsumen dan negara berkembang yang posisinya lemah dalam negosiasi global.
Bagi Indonesia, situasi ini menghadirkan dilema sekaligus peluang. Di satu sisi, perlambatan perdagangan global dapat menekan ekspor dan investasi. Ketergantungan pada pasar global membuat Indonesia rentan terhadap gejolak eksternal yang tidak bisa dikendalikan sepenuhnya.
Namun di sisi lain, pergeseran rantai pasok global membuka peluang relokasi industri ke negara-negara dengan stabilitas ekonomi dan politik yang relatif baik, termasuk Indonesia.
Sayangnya, peluang ini tidak akan otomatis datang. Tanpa reformasi struktural yang serius—mulai dari kemudahan berusaha, kepastian hukum, hingga kualitas sumber daya manusia—Indonesia hanya akan menjadi penonton dalam konflik dagang negara besar. Ketika negara lain berlomba menarik investasi, kita masih berkutat pada persoalan birokrasi dan ketimpangan daya saing.
Ketegangan perdagangan global seharusnya menjadi alarm, bukan sekadar berita. Dunia sedang bergerak menuju ekonomi yang semakin terfragmentasi di mana kerja sama internasional melemah dan kepentingan nasional semakin sempit. Jika tren ini terus berlanjut, negara berkembang seperti Indonesia harus bersiap menghadapi risiko perlambatan ekonomi yang lebih besar.
Pada akhirnya, perang dagang tidak pernah benar-benar dimenangkan. Yang ada hanyalah kerugian yang dibagi secara tidak merata. Dalam situasi global yang penuh ketidakpastian ini, Indonesia dituntut tidak hanya bertahan, tetapi juga cerdas membaca arah perubahan agar tidak kembali menjadi korban dari konflik ekonomi global.





