Pemerintah akan memangkas produksi nikel dan batu bara pada Rancangan Anggaran Kerja dan Belanja (RKAB) tahun 2026 agar harga komoditas tersebut bisa terdongkrak. Langkah ini dinilai sudah tepat namun harus disertai komunikasi dengan negara produsen lainnya.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Bisman Bakhtiar menilai, komunikasi memang penting agar harga dapat kembali pulih.
“Ini sebagai sebagai langkah pengendalian suplai. Tapi ini bukan satu-satunya cara, harus dibarengi langkah lain. Termasuk juga perlu juga komunikasi dengan negara-negara produsen lain agar ini tidak hanya mengurangi volume tetapi bisa mendongkrak harga signifikan,” kata Bisman kepada kumparan, Minggu (21/12).
Ke depan, Bisman memproyeksi penurunan harga komoditas memang masih akan berlanjut utamanya pada nikel dan batu bara. Hal ini karena permintaan global memang sedang melemah.
“Untuk batu bara juga karena faktor transisi energi. Sedangkan nikel karena enggak jadi dipakai secara masif untuk baterai EV. Sentimen terkuat penekan harga karena over supply dan permintaan global yang memang melemah. Selain itu juga lambatnya laju ekonomi global,” ujarnya.
Selaras, Pengamat Energi lainnya yakni Tumbur Parlindungan juga menilai langkah pemerintah sudah tepat agar harga nikel dapat terdongkrak kembali. Meski demikian, ia menyadari bahwa permintaan kebutuhan nikel memang berkurang.
“Sehingga harga terkoreksi. Awalnya nickel menjadi mineral utama untuk baterai EV, tapi sekarang Banyak teknologi yang lebih baik daripada menggunakan nikel sebagai mineral utama untuk baterai,” kata Tumbur.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengumumkan pemangkasan produksi tersebut memang dilakukan merespons tren penurunan harga sepanjang tahun 2025.
"Semuanya kita pangkas, bukan hanya nikel, batu bara pun kita pangkas. Kenapa? Karena kita akan mengatur supply and demand. Hari ini harga batu bara anjlok semua," ungkapnya usai konferensi pers, Jumat (19/12).
Dia menyebutkan, jumlah batu bara yang diperjualbelikan kurang lebih sekitar 1,3 miliar ton. Sementara Indonesia memasok sekitar 500-600 juta ton atau hampir 50 persen.
"Gimana harganya nggak jatuh? Jadi kita akan mengatur tujuannya apa? Pengusahanya harus mendapatkan harga yang baik. Negara juga mendapatkan pendapatan yang baik," tegas Bahlil.


