FAJAR, MAKASSAR – Wacana tata kelola lingkungan berkelanjutan kembali menguat melalui diskusi publik IDENTALK bertajuk “Green Governance: Peran Industri, Kebijakan Kota, dan Pengawasan Publik” yang digelar di Gedung IPTEKS Universitas Hasanuddin, Jumat (19/12/2025). Forum ini mempertemukan akademisi, pemerintah, dan pelaku industri untuk membedah tantangan sekaligus arah kebijakan lingkungan di tengah laju pembangunan.
Ketua Penyuntingan PK Unhas, Ahmad Bahar, menegaskan bahwa isu Green Governance semakin relevan menyusul meningkatnya bencana ekologis di berbagai wilayah Indonesia. Menurutnya, pemulihan lingkungan membutuhkan kebijakan yang berpihak, pendanaan memadai, serta keterlibatan seluruh pemangku kepentingan. “Dengan menghadirkan pihak industri, pemerintah, dan akademisi, forum ini diharapkan melahirkan gagasan segar yang dapat dikonsumsi publik,” ujarnya.
Direktur Kemahasiswaan Unhas, Abdullah Sanusi, menilai bencana alam menjadi pengingat bahwa kebijakan publik berdampak langsung terhadap lingkungan. Diskusi seperti IDENTALK dipandang strategis untuk membuka perspektif baru dalam merumuskan kebijakan berkelanjutan.
Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Makassar, Evi Aprialti, menegaskan bahwa tantangan keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial menuntut penerapan Green Governance secara konsisten di tingkat kota. Ia menekankan bahwa pembangunan dan pelestarian lingkungan tidak dapat berjalan sendiri-sendiri.
Program urban farming yang dijalankan Pemerintah Kota Makassar disebut sebagai contoh konkret, di mana masyarakat tidak hanya berperan sebagai konsumen, tetapi juga produsen dalam ekosistem hijau. Meski menghadapi keterbatasan ruang hijau, anggaran, dan tantangan sosial, pemerintah kota berkomitmen menghadirkan inovasi lingkungan.
Sementara Manager External Regional dan SDP Growth PT Vale Indonesia Tbk, Busman Dahlan Shirat, menjelaskan peran industri dalam mendukung tata kelola hijau. Ia mengakui bahwa pertambangan merupakan aktivitas ekstraktif, namun menegaskan komitmen PT Vale dalam memulihkan lahan pascatambang melalui analisis lingkungan, pemantauan berkelanjutan, serta program penghijauan. “Industri harus memastikan apa yang diambil dari alam dikembalikan untuk keberlanjutan jangka panjang,” katanya.
Sementara itu, Fachrie Rezka Ayyub, Fungsional Pengendali Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, menegaskan bahwa pemerintah memiliki instrumen pengawasan untuk memastikan pemanfaatan lahan tidak melampaui daya dukung lingkungan. Prinsip Green Governance, kata dia, harus menjadi pijakan utama dalam setiap aktivitas pembangunan.
Dosen Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Andi Ali Armunanto, menyoroti pentingnya keterlibatan publik dalam kebijakan lingkungan. Ia menilai regulasi sering kali menjadikan masyarakat sekadar objek, padahal keterlibatan langsung justru dapat memperkuat efektivitas kebijakan. Ia mencontohkan pengelolaan tambang skala kecil di Inggris yang dilakukan secara kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat sehingga manfaat ekonomi dan ekologinya dirasakan bersama. (*)
Penulis: Aditya Nugraha
Mahasiswa Magang FAJAR dari Sastra Inggris Unhas




