Di dapur kecil di sebuah gang Pathuk, Yogyakarta, Bu Wasiati tetap menyalakan kompor setiap pagi, meski hari-hari tak lagi seramai dulu. Tangannya mengaduk adonan Bakpia 526—dengan gerakan yang sama seperti puluhan tahun lalu—saat pembeli datang silih berganti. Kini, di tengah menjamurnya bakpia bermerek dan penjualan daring, ia hanya berharap dagangannya tetap laku sambil menjaga rasa yang selama ini menjadi hidupnya.
Bakpia 526 yang ia buat bukan sekadar penganan manis, melainkan bagian dari perjalanan hidupnya. Sejak awal 1990-an, Bu Wasiati terlibat langsung dalam produksi bakpia rumahan di Pathuk, kawasan yang lama dikenal sebagai sentra oleh-oleh Yogyakarta. Dengan modal terbatas dan peralatan sederhana, ia menghidupi keluarga dari dapur rumah, saat bakpia belum menjadi industri besar seperti sekarang.
Pada masa itu, Pathuk nyaris tak pernah sepi. Wisatawan berdatangan, pesanan datang bertubi-tubi, dan bakpia buatan pengrajin kampung menjadi buah tangan wajib. Namun, waktu berjalan dan perubahan perlahan menggeser kebiasaan lama.
Bakpia tak lagi hanya soal rasa, tetapi juga kemasan, merek, dan kehadiran di ruang digital. “Sekarang orang lebih lihat bungkusnya dulu,” tutur Bu Wasiati pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh bunyi adonan yang diaduk.
Penurunan pembeli mulai terasa beberapa tahun terakhir. Produksi yang dulu mengisi rak-rak toko kini menyusut. Di sudut dapur, loyang-loyang tua sering kembali kosong sebelum senja. “Sekarang bikin sedikit saja, takut tidak habis,” katanya singkat. Meski demikian, Bu Wasiati tetap mempertahankan caranya bekerja. Baginya, kualitas bukan sekadar strategi bertahan, melainkan juga prinsip hidup yang tak bisa ditawar.
Perubahan ini berjalan di luar kendalinya. Digitalisasi membuka peluang baru, tetapi tidak sepenuhnya dapat diikuti oleh semua pengrajin rumahan. Dalam keterbatasan tersebut, Bu Wasiati memilih bertahan dengan cara yang ia pahami: menjaga rasa Bakpia 526, memperkecil produksi, dan mengandalkan pelanggan yang masih setia.
“Kalau rasanya dijaga, rezeki pasti ada jalannya,” ujarnya lirih, lebih menyerupai doa daripada pernyataan. Di tengah ketidakpastian, dapur kecil itu tetap menjadi ruang bertahan sunyi, tetapi penuh harapan.
Di Pathuk, perubahan zaman terasa nyata di dapur-dapur kecil seperti milik Bu Wasiati. Mesin produksi, pemasaran daring, dan strategi dagang skala besar perlahan menggeser pengrajin tradisional yang bertumpu pada kerja tangan dan ketekunan. Namun bagi Bu Wasiati, berhenti bukanlah pilihan. Selama kompor masih menyala dan adonan masih bisa diuleni, ia akan terus bekerja dengan caranya sendiri.
Ia tidak lagi mengejar keramaian seperti masa lalu. Tidak pula berharap pembeli kembali berjubel di depan rumah. Baginya, cukup jika Bakpia 526 masih dicari oleh mereka yang menghargai rasa dan proses. Dalam ritme kerja yang lebih pelan, Bu Wasiati menemukan makna bertahan; bukan untuk melawan zaman, melainkan untuk tetap jujur pada pekerjaan yang telah ia jalani selama puluhan tahun.
Kisah Bu Wasiati adalah potret sunyi banyak pelaku UMKM tradisional. Mereka mungkin tidak hadir di etalase digital atau lini masa media sosial, tetapi mereka menjaga sesuatu yang lebih mendasar: kerja yang dilakukan dengan kesabaran, rasa yang tidak dikompromikan, dan keyakinan bahwa setiap usaha yang dijalani dengan jujur akan menemukan jalannya.


:strip_icc()/kly-media-production/medias/5430971/original/010853500_1764683656-wilayah_terdampak_bencana_sumatera.jpg)
