Hoaks, ancaman berbahaya kedua bagi korban bencana 

antaranews.com
2 jam lalu
Cover Berita
Jakarta (ANTARA) - Bencana hidrometeorologi yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 menghadapi problem lain, yakni beredarnya pemberitaan yang tidak benar atau hoaks dari oknum tidak bertanggung jawab.

Di saat banjir bandang serta longsor sedang mengalami pemulihan, muncul ancaman lain berupa maraknya hoaks, sehingga memperburuk dan menghambat penanganan darurat.

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengimbau masyarakat untuk waspada terhadap maraknya hoaks selama penanganan bencana; Masyarakat perlu lebih berhati-hati dalam menerima informasi karena banyak kabar yang beredar luas, ternyata tidak benar dan bukan bersumber dari kanal resmi pemerintah.

Imbauan ini menjadi semacam lensa sistematis bagi masyarakat agar dapat melihat sebagian besar kerentanan ruang digital di saat krisis.


Ancaman

Contoh hoaks yang beredar amat mencolok terjadi di Pidie Jaya, Aceh. Lima orang diamankan polisi karena menyebarkan narasi palsu tentang "naiknya air laut ke daratan yang akan menyapu permukiman". Pesan berantai dan rekaman suara itu memicu evakuasi karena panik, tanpa arah, dan mengacaukan operasi SAR.

Ada pula klaim makam massal 400 korban, atau tudingan politik tak berdasar yang mengaitkan bencana dengan kebijakan lama menteri tertentu.

Hoaks semacam ini tidak boleh beredar dan mengganggu proses pemulihan. Para pembuat dan penyebar hoaks sengaja memanfaatkan ketidakpastian psikologis korban, di mana informasi apa pun yang dramatis dan sensional lebih mudah diterima daripada fakta sejuk.

Baca juga: KNPI imbau generasi muda tak terjebak "framing" sepihak saat bencana

Di ruang digital, perbedaan antara pembuat dan penyebar hoaks sering kabur. Pembuat lebih sebagai originator yang menciptakan konten palsu dengan sengaja, sedangkan penyebar adalah siapa pun yang menyebar ulang atau retransmisi, tanpa verifikasi. Hukum Indonesia tidak membedakan ketat antara keduanya, sehingga pelaku (pembuat dan penyebar) bisa terkena jerat yang sama, karena "menyebarkan" mencakup transmisi ulang.

Memang, di era WhatsApp dan media sosial, satu share bisa viral lebih cepat daripada banjir bandang itu sendiri. Hoaks bencana ini mencerminkan pola berulang secara global.


Ancaman hukuman

Hukum di Indonesia tegas terhadap penyebar hoaks. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45A mengancam pidana penjara hingga 6 tahun dan/atau denda Rp1 miliar bagi yang menyebarkan berita bohong menyesatkan. Pasal 28 ayat (3) menjerat pelaku hoaks yang memicu kerusuhan dengan ancaman serupa. KUHP juga relevan: Pasal 14-15 UU 1/1946 tentang berita bohong yang menimbulkan keonaran, dengan hukuman hingga 2 tahun penjara.

Penyebar, bukan hanya pembuat, bisa dijerat, karena share sama dengan transmisi. Kasus Pidie Jaya membuktikan, penindakan cepat efektif mencegah eskalasi.

Reflektifnya, bencana Sumatera 2025 ini merupakan panggilan bangsa untuk introspeksi lebih dalam. Hoaks bukan musuh eksternal, tapi cermin dari rendahnya literasi digital dan empati sosial kita, seperti yang diamati pakar global bahwa di saat krisis, platform digital justru mempercepat kepanikan kolektif.

Di saat gotong royong dibutuhkan untuk rekonstruksi, kita malah sibuk dengan narasi palsu yang justru memecah belah. Pemulihan sejati tak hanya fisik, infrastruktur dan rumah, tapi juga mental, yakni membangun masyarakat yang kritis, verifikatif, dan solider.


Dampak buruk

Pakar komunikasi Matthew Baum, dari Harvard University, mencontohkan bagaimana hoaks dan misinformasi di media sosial pada bencana Hurricane Helene dan Milton di AS, telah menyebar lebih cepat daripada fakta. Hal itu membahayakan responder dan korban karena menciptakan ketidakpercayaan terhadap otoritas. Baum mencatat, hoaks bisa "put first responders and residents in even more danger" dengan mendorong perilaku menjadi irasional.

Sementara itu, studi naratif oleh peneliti di JMIR Infodemiology tahun 2025 menemukan bahwa misinformasi itu menghambat upaya respons darurat, mengalihkan sumber daya, dan mendistorsi persepsi severitas bencana. Pakar lain dari Center for Countering Digital Hate (CCDH) melaporkan bahwa algoritma platform memperkuat narasi konspirasi selama bencana, sering kali untuk monetisasi, sehingga informasi lifesaving menjadi tersingkir.

Baca juga: Hoaks! Dunia mengeluarkan status bencana internasional di Indonesia

Baca juga: Hoaks, isu 400 orang meninggal akibat bencana Aceh

Hoaks dalam kejadian kedaruratan biasanya mengungkap sisi gelap dan sensasional di tengah tragedi, eksploitasi duka untuk sensasi atau agenda-agenda tersembunyi. Hal ini bukan hanya kesalahan individu, tetapi bisa jadi kegagalan kolektif dalam membangun masyarakat madani yang reflektif dan memiliki empati.

Saat air bah menyapu rumah -rumah penduduk, hoaks menyapu akal sehat mereka, para pembuat dan penyebarnya. Hoaks menyebabkan korban bencana tidak hanya kehilangan harta, tapi juga ketidakberdayaan dalam orientasi terhadap realitas. Ini mengingatkan kita pada pemikiran Hannah Arendt tentang banality of evil, dimana kejahatan baru lahir dari ketidakpedulian, yakni berbagi informasi, tanpa verifikasi.

Komdigi menawarkan solusi kepada masyarakat, khususnya anak muda di Aceh, agar aktif membuat konten positif sebagai counter hoaks. Lebih dari itu, ada tiga langkah utama yang harus diperhatikan masyarakat. Lakukan verifikasi kebenaran sebelum membagikan yang beredar, rujuklah kanal resmi, seperti BNPB atau BMKG, dan laporkan dugaan hoaks via aduan konten ke Komdigi.


Perangi hoaks

Pada akhirnya, hoaks di tengah bencana harus diperangi, sebab ia merupakan pengkhianatan terhadap sesama korban. Hukum harus ditegakkan, tanpa pandang bulu. Namun, yang lebih mendesak adalah pendidikan: ajarkan generasi muda bahwa satu forward ceroboh bisa merenggut nyawa lebih banyak daripada banjir itu sendiri.

Sumatera harus bangkit bukan hanya dari lumpur, tapi dari kebohongan yang kita ciptakan sendiri. Waspada hoaks adalah bentuk bela negara modern, melindungi saudara kita di saat paling rentan.

Baca juga: Lima penyebar hoaks musibah banjir ditangkap Polres Pidie Jaya-Aceh

Baca juga: Komdigi imbau warga laporkan dugaan informasi palsu soal bencana Aceh



*) Dr Eko Wahyuanto dosen Politeknik Negeri Media Jakarta dan Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta






Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Kajari, Kasi Intel dan Kasi Datun Hulu Sungai Utara Diberhentikan Sementara, Tak Dapat Gaji
• 13 jam laluviva.co.id
thumb
Honda Kurangi Produksi Mobil Imbas Krisis Chip Nexperia
• 17 jam laluidxchannel.com
thumb
Harga Terbaru Komoditas Pangan 22 Desember: Cabai Hingga Bawang Merah Turun
• 21 menit lalumerahputih.com
thumb
DJP Matangkan Persiapan Pertukaran Data Properti Lintas Negara
• 20 jam lalukumparan.com
thumb
Pernyataan Berkelas Ramadhan Sananta Usai Cetak Gol Spektakuler di Liga Malaysia
• 20 jam laluviva.co.id
Berhasil disimpan.