Jakarta (ANTARA) - Respons darurat banjir bandang di tiga provinsi di Sumatera memperlihatkan mobilisasi besar sumber daya negara dan non-negara.
Pemerintah pusat dan daerah, TNI lintas matra, Polri, relawan, organisasi masyarakat, komunitas, serta sektor swasta bergerak cepat dan menunjukkan kepedulian yang nyata.
Meskipun demikian, di tengah besarnya upaya tersebut, efektivitas respons masih menghadapi tantangan, terutama akibat fragmentasi komando. Struktur yang berjalan, saat ini, lebih menekankan koordinasi, sementara situasi darurat berskala luas membutuhkan komando operasional yang lebih terpadu.
Ketiadaan satu komando, response action plan gabungan terpadu, serta sistem informasi dan laporan satu pintu, berkontribusi pada berbagai tantangan di lapangan, mulai dari tumpang tindih operasi, masih adanya lokasi terdampak yang belum terjangkau secara optimal, hingga munculnya gesekan antaraktor dan lemahnya kendali informasi publik.
Pemantauan media, laporan lapangan, dan analisis struktur respons menunjukkan bahwa belum terdapat satu komando operasional yang mengendalikan seluruh aktor, sementara BNPB dan posko-posko daerah menjalankan peran penting sebagai pusat koordinasi, namun belum berfungsi sebagai pusat perintah.
Dalam kondisi ini, berbagai aktor, TNI lintas matra, pemerintah daerah, relawan, organisasi masyarakat, komunitas, dan sektor swasta semua bergerak secara paralel, tanpa satu kerangka kerja operasional yang sama, serta tanpa dukungan laporan dan komunikasi publik harian yang terintegrasi. Situasi tersebut menunjukkan bahwa respons memang berjalan, namun juga menunjukkan bahwa upaya dan sumber daya besar yang telah dikerahkan berisiko kehilangan kendali operasional dan kesatuan narasi publik karena belum sepenuhnya terikat dalam satu sistem komando gabungan terpadu.
Koordinasi, pada dasarnya bersifat sukarela dan horizontal. Pendekatan ini sangat berguna dalam banyak konteks, tetapi pada kondisi darurat lintas wilayah dengan dampak luas, dibutuhkan sistem yang mampu mengikat seluruh aktor secara operasional.
Baca juga: Upaya evakuasi dengan respons terukur
Sistem komando penanganan darurat bencana gabungan terpadu menawarkan kerangka tersebut. Tanpa komando gabungan terpadu, emergency action plan gabungan terpadu, dan sistem pelaporan terintegrasi, respons darurat cenderung menjadi reaktif, rentan konflik, berpotensi tumpang tindih, serta sulit dievaluasi secara menyeluruh.
Sistem komando penanganan darurat bencana, sejatinya bukan konsep yang asing bagi BNPB, BPBD, pemerintah daerah, maupun para pelaku respons darurat bencana di Indonesia.
Tantangan dalam penanganan banjir bandang di Sumatera terletak pada skala dan luasan wilayah terdampak yang sangat besar, sehingga membutuhkan pengerahan sumber daya dari semua pemangku kepentingan dan tersebar di banyak lokasi sekaligus. Dalam konteks inilah, penerapan sistem komando penanganan darurat bencana secara gabungan dan terpadu menjadi relevan.
Dengan menetapkan satu struktur komando nasional berbasis sistem komando penanganan darurat bencana gabungan terpadu dan merangkul seluruh sumber daya, mulai dari kementerian dan lembaga terkait, TNI lintas matra, pemerintah daerah, organisasi kemasyarakatan, relawan, pemengaruh, media, rumah sakit, universitas, dan aktor lainnya, pemerintah memiliki peluang lebih besar untuk mengelola operasional penanganan darurat banjir bandang di Sumatera secara lebih efisien serta menghadirkan transparansi kepada publik.
Sebagai arah kebijakan, beberapa langkah dapat dipertimbangkan.
Pertama, menunjuk satu komandan operasi nasional yang bisa melapor langsung kepada Presiden.
Kedua, menunjuk tiga wakil komandan operasi provinsi yang bertanggung jawab menyatukan seluruh sistem dan aktor di wilayah masing-masing dalam satu pusat komando.
Ketiga, membentuk pusat komando lapangan yang berlokasi dekat dengan area terdampak terberat.
Keempat, mengintegrasikan seluruh pemangku kepentingan, antara lain kementerian dan lembaga terkait, TNI semua matra, Polri, pemerintah daerah, organisasi kemasyarakatan, relawan, pemengaruh, media, rumah sakit, universitas, dan lainnya ke dalam satu struktur sistem komando penanganan darurat bencana gabungan terpadu.
Kelima, mewajibkan penyusunan response action plan (RAP) harian. Keenam, menerapkan sistem informasi dan laporan satu pintu dengan pembaruan publik harian berbasis 5W1H.
Baca juga: Kapolri tegaskan respons cepat bantu korban bencana alam di Sumatera
Baca juga: Dompet Dhuafa sediakan pos respons bencana banjir di Sumatera
Sistem pembaruan informasi publik perlu segera dibenahi, dalam hal ini tentunya BNPB sebagai leading sector penanggulangan bencana di Indonesia mengoordinir proses tersebut dan sebagai ujung tombak komunikasi dengan tetap bersama-sama dengan pemangku kepentingan lainnya. Prinsip dasarnya sederhana, tapi krusial, yakni "lakukan apa yang dikatakan, dan katakan apa yang dilakukan." Bahkan, jika proses mengalami kendala dan keterlambatan di lapangan, itu adalah laporan yang perlu publik ketahui.
Pembaruan proses secara harian, bukan sekadar teknis komunikasi, melainkan bagian integral dari akuntabilitas publik dalam penanganan darurat. Hingga saat ini fungsi pembaruan informasi tersebut belum dijalankan secara konsisten.
Masalah utama dalam respons banjir bandang di Sumatera, bukanlah ketiadaan kerja atau kekurangan sumber daya, melainkan belum hadirnya komando tunggal yang menyatukan seluruh upaya dan sumber daya tersebut. Tanpa penyesuaian desain komando, potensi konflik antaraktor dan ketidakefisienan berisiko terus berulang pada bencana berikutnya.
Sistem komando penanganan darurat bencana gabungan terpadu pada akhirnya bukan sekadar alat teknis, melainkan instrumen negara untuk memastikan bahwa kehadiran negara bersama seluruh pemangku kepentingan dalam situasi darurat dapat dirasakan oleh warga secara terkoordinasi, efektif, dan bermartabat.
Baca juga: Presiden instruksikan mobilisasi seluruh kekuatan hari pertama bencana
Baca juga: Kemdiktisaintek gencarkan dukungan psikososial bagi korban bencana
*) Mayjen TNI Dr Farid Makruf MA adalah Tenaga Ahli Pengkaji Sumber Kekayaan Alam (SKA) Lemhanas RI dan mantan Komandan Satgas PB NTB 2018
Pemerintah pusat dan daerah, TNI lintas matra, Polri, relawan, organisasi masyarakat, komunitas, serta sektor swasta bergerak cepat dan menunjukkan kepedulian yang nyata.
Meskipun demikian, di tengah besarnya upaya tersebut, efektivitas respons masih menghadapi tantangan, terutama akibat fragmentasi komando. Struktur yang berjalan, saat ini, lebih menekankan koordinasi, sementara situasi darurat berskala luas membutuhkan komando operasional yang lebih terpadu.
Ketiadaan satu komando, response action plan gabungan terpadu, serta sistem informasi dan laporan satu pintu, berkontribusi pada berbagai tantangan di lapangan, mulai dari tumpang tindih operasi, masih adanya lokasi terdampak yang belum terjangkau secara optimal, hingga munculnya gesekan antaraktor dan lemahnya kendali informasi publik.
Pemantauan media, laporan lapangan, dan analisis struktur respons menunjukkan bahwa belum terdapat satu komando operasional yang mengendalikan seluruh aktor, sementara BNPB dan posko-posko daerah menjalankan peran penting sebagai pusat koordinasi, namun belum berfungsi sebagai pusat perintah.
Dalam kondisi ini, berbagai aktor, TNI lintas matra, pemerintah daerah, relawan, organisasi masyarakat, komunitas, dan sektor swasta semua bergerak secara paralel, tanpa satu kerangka kerja operasional yang sama, serta tanpa dukungan laporan dan komunikasi publik harian yang terintegrasi. Situasi tersebut menunjukkan bahwa respons memang berjalan, namun juga menunjukkan bahwa upaya dan sumber daya besar yang telah dikerahkan berisiko kehilangan kendali operasional dan kesatuan narasi publik karena belum sepenuhnya terikat dalam satu sistem komando gabungan terpadu.
Koordinasi, pada dasarnya bersifat sukarela dan horizontal. Pendekatan ini sangat berguna dalam banyak konteks, tetapi pada kondisi darurat lintas wilayah dengan dampak luas, dibutuhkan sistem yang mampu mengikat seluruh aktor secara operasional.
Baca juga: Upaya evakuasi dengan respons terukur
Sistem komando penanganan darurat bencana gabungan terpadu menawarkan kerangka tersebut. Tanpa komando gabungan terpadu, emergency action plan gabungan terpadu, dan sistem pelaporan terintegrasi, respons darurat cenderung menjadi reaktif, rentan konflik, berpotensi tumpang tindih, serta sulit dievaluasi secara menyeluruh.
Sistem komando penanganan darurat bencana, sejatinya bukan konsep yang asing bagi BNPB, BPBD, pemerintah daerah, maupun para pelaku respons darurat bencana di Indonesia.
Tantangan dalam penanganan banjir bandang di Sumatera terletak pada skala dan luasan wilayah terdampak yang sangat besar, sehingga membutuhkan pengerahan sumber daya dari semua pemangku kepentingan dan tersebar di banyak lokasi sekaligus. Dalam konteks inilah, penerapan sistem komando penanganan darurat bencana secara gabungan dan terpadu menjadi relevan.
Dengan menetapkan satu struktur komando nasional berbasis sistem komando penanganan darurat bencana gabungan terpadu dan merangkul seluruh sumber daya, mulai dari kementerian dan lembaga terkait, TNI lintas matra, pemerintah daerah, organisasi kemasyarakatan, relawan, pemengaruh, media, rumah sakit, universitas, dan aktor lainnya, pemerintah memiliki peluang lebih besar untuk mengelola operasional penanganan darurat banjir bandang di Sumatera secara lebih efisien serta menghadirkan transparansi kepada publik.
Sebagai arah kebijakan, beberapa langkah dapat dipertimbangkan.
Pertama, menunjuk satu komandan operasi nasional yang bisa melapor langsung kepada Presiden.
Kedua, menunjuk tiga wakil komandan operasi provinsi yang bertanggung jawab menyatukan seluruh sistem dan aktor di wilayah masing-masing dalam satu pusat komando.
Ketiga, membentuk pusat komando lapangan yang berlokasi dekat dengan area terdampak terberat.
Keempat, mengintegrasikan seluruh pemangku kepentingan, antara lain kementerian dan lembaga terkait, TNI semua matra, Polri, pemerintah daerah, organisasi kemasyarakatan, relawan, pemengaruh, media, rumah sakit, universitas, dan lainnya ke dalam satu struktur sistem komando penanganan darurat bencana gabungan terpadu.
Kelima, mewajibkan penyusunan response action plan (RAP) harian. Keenam, menerapkan sistem informasi dan laporan satu pintu dengan pembaruan publik harian berbasis 5W1H.
Baca juga: Kapolri tegaskan respons cepat bantu korban bencana alam di Sumatera
Baca juga: Dompet Dhuafa sediakan pos respons bencana banjir di Sumatera
Sistem pembaruan informasi publik perlu segera dibenahi, dalam hal ini tentunya BNPB sebagai leading sector penanggulangan bencana di Indonesia mengoordinir proses tersebut dan sebagai ujung tombak komunikasi dengan tetap bersama-sama dengan pemangku kepentingan lainnya. Prinsip dasarnya sederhana, tapi krusial, yakni "lakukan apa yang dikatakan, dan katakan apa yang dilakukan." Bahkan, jika proses mengalami kendala dan keterlambatan di lapangan, itu adalah laporan yang perlu publik ketahui.
Pembaruan proses secara harian, bukan sekadar teknis komunikasi, melainkan bagian integral dari akuntabilitas publik dalam penanganan darurat. Hingga saat ini fungsi pembaruan informasi tersebut belum dijalankan secara konsisten.
Masalah utama dalam respons banjir bandang di Sumatera, bukanlah ketiadaan kerja atau kekurangan sumber daya, melainkan belum hadirnya komando tunggal yang menyatukan seluruh upaya dan sumber daya tersebut. Tanpa penyesuaian desain komando, potensi konflik antaraktor dan ketidakefisienan berisiko terus berulang pada bencana berikutnya.
Sistem komando penanganan darurat bencana gabungan terpadu pada akhirnya bukan sekadar alat teknis, melainkan instrumen negara untuk memastikan bahwa kehadiran negara bersama seluruh pemangku kepentingan dalam situasi darurat dapat dirasakan oleh warga secara terkoordinasi, efektif, dan bermartabat.
Baca juga: Presiden instruksikan mobilisasi seluruh kekuatan hari pertama bencana
Baca juga: Kemdiktisaintek gencarkan dukungan psikososial bagi korban bencana
*) Mayjen TNI Dr Farid Makruf MA adalah Tenaga Ahli Pengkaji Sumber Kekayaan Alam (SKA) Lemhanas RI dan mantan Komandan Satgas PB NTB 2018



