Pantau - Hari Ibu selama ini kerap dirayakan dengan narasi tunggal yang menempatkan ibu sebagai sosok sempurna, penuh pengorbanan, dan tak pernah salah, tanpa ruang bagi keragaman pengalaman maupun refleksi kritis atas relasi ibu-anak yang kompleks.
Citra Ideal yang Menyederhanakan RealitasHari Ibu identik dengan ungkapan terima kasih dan pemujaan atas ketabahan ibu, yang sering dijadikan standar kebajikan.
Ibu digambarkan sebagai sosok kuat, sabar, dan selalu benar, sebuah narasi yang lahir dari niat baik untuk menghormati peran ibu yang kerap tak diakui secara formal.
Di banyak rumah, ibu memikul beban ganda—mengasuh, mengelola rumah tangga, menopang emosi, bahkan ekonomi keluarga.
Namun, narasi tunggal ini menyisakan masalah ketika hanya satu jenis cerita yang dianggap sah dan terus-menerus diulang.
Ibu tidak dipandang sebagai individu dengan beragam pengalaman, tetapi dijadikan figur ideal yang harus selalu dipuja.
Cerita yang tidak sesuai dengan gambaran tersebut dianggap tak pantas hadir di tengah perayaan Hari Ibu.
Dalam ruang publik, hampir tidak ada tempat untuk membicarakan ibu yang lelah, melakukan kesalahan, atau memiliki cara pengasuhan yang problematik.
Keibuan menjadi wilayah sakral yang tak boleh dikritik, seolah mempertanyakan praktiknya sama dengan meniadakan cinta.
Akibatnya, Hari Ibu lebih menjadi seremoni atas fungsi sosial ibu, bukan ruang refleksi atas dinamika relasi ibu dan anak.
Narasi ini bukan sepenuhnya salah, namun tidak lengkap.
Ia menenangkan, tapi juga menyederhanakan dan membungkam sisi-sisi yang tidak sesuai dengan citra ideal.
Hari Ibu seharusnya dimaknai lebih luas, bukan untuk mengurangi penghormatan, melainkan memperkaya pemahaman.
Penghargaan sejati lahir dari keberanian melihat kenyataan secara jujur dan berimbang.
Refleksi atas Relasi, Kuasa, dan Luka yang Tak TerucapDi balik perayaan simbolik, relasi ibu-anak sering kali menyimpan ketegangan dan luka yang tidak terucapkan.
Salah satu pola umum adalah penggunaan kuasa dalam pengasuhan, bahkan ketika anak telah dewasa.
Atas nama kasih sayang dan pengalaman, sebagian ibu merasa berhak mengatur hidup anak, termasuk pilihan karier dan pasangan.
Kontrol ini sering tidak disadari karena dibungkus dalam bahasa kepedulian.
Dalam masyarakat religius, tekanan ini diperkuat oleh konsep moral dan spiritual, seperti ancaman menjadi “anak durhaka”.
Kepatuhan yang muncul bukan karena kedekatan emosional, tetapi karena rasa takut melanggar norma sakral.
Relasi pun menjadi timpang: penuh hormat, namun kehilangan keintiman.
Teori Kelekatan dari John Bowlby dan Mary Ainsworth menyebut bahwa relasi berbasis ketakutan hanya menghasilkan kepatuhan semu.
Dominasi dalam hubungan bisa muncul lewat emosi—mudah tersinggung, menyimpan amarah, atau memosisikan diri sebagai korban.
Perbedaan pendapat dianggap pembangkangan, membuat dialog terhenti sebelum dimulai.
Kesenjangan generasi memperumit keadaan, sebab banyak ibu tumbuh dalam budaya yang minim dialog emosional.
Ketahanan sering dianggap lebih penting daripada ekspresi perasaan, dan pola ini diwariskan secara turun-temurun.
Kekerasan dalam keluarga tidak selalu berbentuk fisik atau verbal; ia bisa bersifat simbolik dan emosional, sulit dikenali dan berlangsung lama.
Banyak anak baru menyadari ketidaksehatan relasi setelah dewasa, ketika mereka memiliki bahasa untuk mengenali luka.
Mengakui kenyataan ini bukan berarti meniadakan cinta dan pengorbanan ibu, melainkan memahami dampak yang ditinggalkan.
Luka tetap ada, meskipun berasal dari niat baik.
Hari Ibu seharusnya menjadi momen refleksi lintas generasi tentang relasi dan tanggung jawab emosional.
Penghormatan terhadap ibu tidak harus berhenti pada pujian, tapi bisa menjadi kesadaran untuk membangun hubungan yang lebih sehat.
Menyadari bahwa tidak semua relasi ibu-anak ideal bukanlah bentuk pembangkangan moral.
Sebaliknya, pengakuan itu adalah langkah awal untuk menjalankan cinta dalam bentuk yang lebih tepat dan manusiawi.
Niat baik tidak cukup jika disertai komunikasi yang timpang dan dominasi dalam relasi.
Generasi saat ini, yang tengah menjadi orang tua, memegang tanggung jawab untuk tidak mewariskan luka yang sama.
Pertanyaannya bukan siapa yang paling berkorban, tetapi bagaimana keibuan dijalankan dalam keseharian.
Apakah anak diberi ruang tumbuh sebagai individu utuh, atau hanya dijaga dalam kepatuhan yang sunyi?
Pengasuhan reflektif menekankan pentingnya kesadaran diri orang tua atas pola relasi mereka sendiri.
Tujuannya agar luka tidak diwariskan otomatis ke generasi berikutnya.
Memutus siklus tidak berarti memutus hubungan, melainkan mengganti cara—dari ancaman ke dialog, dari kontrol ke kepercayaan.
Anak dewasa bukan meninggalkan orang tua, tapi menjalani hidupnya sendiri.
Hari Ibu bisa menjadi momentum menggeser cara pandang tentang cinta yang adil.
Kasih yang tidak melukai, tidak menuntut balasan, dan tidak menjadikan pengorbanan sebagai alat kontrol.
Generasi yang sadar akan lukanya memiliki tanggung jawab etis untuk tidak mewariskannya kembali.
Kesadaran ini menuntut keberanian untuk belajar, merefleksikan diri, dan kadang meminta maaf.
Di sanalah letak keibuan yang bijak dalam praktik, bukan hanya sebagai simbol.
Dengan begitu, Hari Ibu tidak lagi menjadi perayaan simbolik semata, tetapi penanda proses menuju relasi yang lebih sehat, setara, dan manusiawi.
Menghormati ibu bukan hanya soal mengenang masa lalu, tapi juga memastikan masa depan yang lebih baik bagi generasi berikutnya.



