ADA sesuatu yang sunyi, tapi menghantam ketika seorang jaksa terseret rusuah. Sunyi itu bukan karena peristiwanya kecil, melainkan karena yang runtuh bukan sekadar seorang individu, melainkan satu simpul kepercayaan publik.
Jaksa, dalam imajinasi konstitusional kita, berdiri di jantung penegakan hukum. Ia bukan hanya aparat, tetapi penjaga nurani negara. Ketika ia jatuh, yang terdengar bukan gaduh, melainkan senyap yang memekakkan.
Dalam tradisi hukum modern, jaksa adalah wajah negara di hadapan kejahatan. Ia hadir bukan untuk membalas, melainkan menegakkan keadilan melalui hukum.
Karena itu, rusuah yang menyeret jaksa bukan sekadar pelanggaran pidana. Ia adalah peristiwa etis, tragedi moral, sekaligus kegagalan institusional.
Rusuah bukan sekadar uang yang berpindah tangan. Ia adalah simbol. Dalam filsafat hukum, rusuah menandai pergeseran hukum dari norma publik menjadi komoditas privat.
Ketika hukum dapat dinegosiasikan, maka ia berhenti menjadi hukum. Ia berubah menjadi jasa.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=OTT KPK, korupsi jaksa&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8yMi8wODIwMDA3MS9qYWtzYS1kYWxhbS1wdXNhcmFuLXJ1c3VhaA==&q=Jaksa dalam Pusaran Rusuah§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Jaksa yang menerima rusuah tidak hanya melanggar sumpah jabatan, tetapi mengkhianati makna hukum itu sendiri.
Baca juga: Jangan Minta Pers Mingkem dalam Bencana Sumatera
Hukum yang seharusnya berdiri di atas asas imparsialitas, berubah menjadi alat tawar-menawar. Di titik ini, keadilan tak lagi diputuskan oleh kebenaran, melainkan oleh kemampuan membayar.
Jabatan jaksa bukanlah milik pribadi. Ia adalah amanah publik. Dalam filsafat kekuasaan, setiap kewenangan selalu membawa potensi penyalahgunaan. Karena itu, kekuasaan harus dibatasi, diawasi, dan dipagari oleh etika.
Namun, rusuah menunjukkan bahwa kewenangan sering kali lebih cepat tumbuh dibandingkan etika yang mengawalnya.
Jabatan menjadi pintu masuk bagi godaan, bukan tanggung jawab. Ketika jabatan dilihat sebagai kesempatan, bukan pengabdian, maka rusuah hanya menunggu waktu.
Sering kali, publik diarahkan untuk melihat rusuah sebagai kesalahan individu. Narasi ini menenangkan, karena institusi bisa tetap berdiri bersih.
Namun filsafat hukum mengajarkan, pelanggaran yang berulang hampir selalu merupakan gejala struktural.
Jaksa yang terjerat rusuah bukan muncul dari ruang hampa. Ia lahir dari sistem rekrutmen, promosi, pengawasan, dan budaya organisasi.
Jika sistem hanya menghukum setelah kejadian, tetapi abai mencegah sebelum terjadi, maka rusuah akan terus berulang dengan wajah berbeda.




