Menetap Karena Cinta atau Karena Sudah Lama Ada?

kumparan.com
10 jam lalu
Cover Berita

Hubungan yang berlangsung lama sering kali dilihat sebagai tanda adanya komitmen, kematangan, dan pencapaian dalam menciptakan hubungan romantis. Namun, di balik durasi itu, terdapat banyak pasangan di Indonesia yang secara diam-diam menghadapi dilema emosional.

Banyak yang tetap bersama bukan hanya karena cinta, melainkan juga akibat tekanan kultural dan pandangan masyarakat yang menganggap bahwa hubungan yang telah bertahan lama wajib dipertahankan apa pun keadaannya.

Fenomena ini menimbulkan ketidakpastian, keragu-raguan, dan perasaan bersalah ketika seseorang berhasrat untuk membuat pilihan yang berbeda dari ekspektasi orang di sekitarnya. Oleh karena itu, sangat krusial untuk mengerti betapa pentingnya budaya, pengaruh sosial, dan interaksi emosional dalam menentukan keputusan seseorang untuk terus menjalin atau mengakhiri hubungan yang telah mereka bentuk selama bertahun-tahun.

Normalisasi Budaya Bertahan Demi Waktu yang Sudah Dijalani

Dalam budaya Indonesia, terdapat persepsi yang kuat bahwa durasi sebuah hubungan secara otomatis menjadikannya alasan untuk mempertahankan hubungan tersebut. Frasa seperti “Sayang sudah lama,” “Apakah kita harus putus setelah bertahun-tahun? ” atau “Hubungan memerlukan perjuangan” sering kali terdengar ketika seseorang mengungkapkan kebimbangannya untuk melanjutkan suatu hubungan.

Normalisasi ini membuat banyak pasangan merasa terpaksa untuk terus bertahan meskipun hubungan tersebut tidak lagi membawa kebahagiaan. Proses mempertahankan hubungan sering kali berubah dari usaha untuk meningkatkan kualitas menjadi sekadar menjaga citra diri atau menghindari penilaian negatif dari orang lain.

Sebenarnya, durasi yang panjang tidak selalu mencerminkan kesehatan atau keberhasilan sebuah hubungan. Tanpa disadari, tekanan dari budaya ini malah mengaburkan garis pemisah antara komitmen yang sehat dan pengorbanan emosional yang tidak diperlukan.

Kebingungan Emosional antara Cinta dan Kenyamanan

Banyak pasangan akhirnya terjebak dalam keadaan yang tidak jelas: Apakah mereka masih memiliki cinta untuk satu sama lain, atau hanya merasa nyaman karena kebiasaan bersama?

Rasa nyaman memang bisa memberikan perasaan aman, tetapi kenyamanan tanpa adanya cinta bisa mengarah pada hubungan yang tidak berkembang. Seseorang mungkin tetap bertahan bukan karena rasa cintanya masih ada, melainkan karena ketakutan untuk memulai dari nol, takut akan kegagalan, atau takut menghadapi kesepian.

Faktor investasi emosional—seperti waktu, usaha, kenangan, dan komitmen—juga menjadikan seseorang ragu untuk mengakhiri hubungan. Semakin banyak yang sudah diinvestasikan, semakin kuat dorongan untuk tetap bertahan, meskipun hubungan tersebut sudah tidak lagi memberi kebahagiaan.

Konflik batin ini menyebabkan seseorang terperangkap dalam hubungan yang berlangsung "karena sudah terlanjur", bukan karena keinginan yang tulus.

Tekanan Sosial dan Dampaknya pada Keputusan Hubungan

Selain faktor dari dalam, stres yang berasal dari luar juga memiliki dampak yang signifikan. Dalam budaya kolektif seperti Indonesia, pandangan dari keluarga, teman, dan masyarakat sekitar sering kali menjadi pertimbangan yang sangat penting.

Seseorang mungkin merasakan rasa bersalah, merasa berdosa, atau dianggap tidak menghargai pasangannya ketika mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan jangka panjang. Ada pula ketakutan akan penilaian, seperti “tidak mampu mempertahankan hubungan”, “terlalu pilih-pilih”, atau “gagal dalam urusan cinta”. Tekanan ini dapat menyebabkan seseorang menunda pengambilan keputusan yang krusial, meskipun ia telah lama merasa tidak puas.

Kebiasaan sosial yang menjadikan bertahan demi mempertahankan penilaian orang lain sebagai hal yang wajar ini membuat banyak orang mengesampingkan kesejahteraan emosional mereka. Mereka lebih cenderung mengedepankan harapan sosial dibandingkan dengan kebutuhan pribadi mereka.

Dilema emosional dalam hubungan jangka panjang adalah masalah yang sering terlihat di Indonesia. Konsep budaya yang mendorong orang untuk tetap bertahan demi investasi waktu sering kali memicu seseorang untuk menunda keputusan krusial dan menahan emosi mereka yang sebenarnya. Namun, durasi sebuah hubungan tidak selalu mencerminkan kekuatan cinta atau kebahagiaan yang ada di dalamnya.

Setiap orang berhak untuk memilih yang terbaik untuk kesehatan emosionalnya, entah itu mempertahankan dan memperbaiki hubungan, atau melepaskan hubungan yang tidak lagi mendatangkan perkembangan. Dengan menyadari bahwa hubungan yang sehat tidak hanya dilihat dari lamanya, masyarakat dapat mulai mengembangkan perspektif yang lebih dewasa serta empatik terhadap pengalaman hubungan orang lain.

Kesadaran bersama ini sangat penting untuk menciptakan keadaan di mana setiap individu merasa berhak untuk menentukan arah hidupnya tanpa merasa bersalah atau tertekan oleh norma-norma sosial. Pada akhirnya, kesehatan emosional merupakan fondasi yang sangat penting dalam hubungan yang benar-benar berarti.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
WSKT Jual 20% Saham Waskita Modern Realty, Segini Nilainya
• 5 jam laluwartaekonomi.co.id
thumb
HUT Kabupaten Jember, Gus Fawait Gelar Istighosah dan Doa Bersama
• 3 jam laludetik.com
thumb
KPK Temukan Ada 60 LHKPN Terindikasi Korupsi
• 13 menit lalukumparan.com
thumb
Diskon Tiket Pesawat dan Cuaca Pengaruhi Mudik Nataru Jalur Laut
• 58 menit lalufajar.co.id
thumb
AS dan Yordania Luncurkan Serangan ke ISIS di Suriah
• 10 jam laluidntimes.com
Berhasil disimpan.