Bisa jadi tidak banyak yang mengetahui bahwa pemerintah Indonesia di awal kemerdekaan memiliki hutang besar ke Sumatera dan Aceh. Bila ada pembaca yang mengetahui, tulisan ini sebagai pengingat kembali (remaining) supaya sebagai bangsa, kita tidak boleh sekali atau jangan sekali-kali melupakan sejarah (jas merah)—sebuah ungkapan terkenal yang diungkapkan oleh proklamator Indonesia, Ir. Soekarno.
Utang Indonesia pada Sumatera dicatat dalam catatan banyak ahli dan sejarawan, salah satunya adalah "Gelora Api Revolusi" yang ditulis oleh Colin Wild dan Peter Carey. Pada halaman 270-273, dicatat bahwa saat Soekarno, Hatta, dan lain-lain ditahan oleh Belanda pada 19 Desember 1948, secara otomatis pemerintahan Indonesia di bawah Soekarno dan Hatta telah berakhir.
Untuk mengisi kekosongan pemerintahan Indonesia, Safrudin Prawira Negara, bersama tokoh tokoh lain, mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera. Pendirian PDRI di Sumatera berada di luar prediksi Belanda karena menunjukkan eksistensi pemerintahan Indonesia, melalui lobi dan suara mereka ke luar negeri, terutama PBB.
Ketika Soekarno dan Hatta telah dilepaskan setelah ditahan oleh Belanda pada Juli 1949, Safrudin Prawira Negara bersama tokoh tokoh PDRI lainnya—seperti M. Natsir, Agus Yaman dan lainnya—pergi ke Yogyakarta untuk menyerahkan pemerintahan kembali kepada Presiden dan Wakil Presiden Soekarno-Hatta.
Setelah itu, pemerintahan Indonesia kembali dijalankan oleh Dwi tunggal Soekarno-Hatta. Masa pemerintahan darurat Indonesia dimulai dari Desember 1948 sampai Juli 1949, atau sama dengan 205 hari.
Jika boleh dibilang sebagai utang pemerintah Indonesia, bagian tersebut adalah utang pemerintah Indonesia terhadap PDRI yang ada di Sumatera. Kecerdikan tokoh-tokoh bangsa—seperti Safrudin Prawira Negara, M. Natsir dan lainnya—membaca keberlangsungan suatu pemerintahan yang rentan diambil alih kembali oleh Belanda.
Pada saat yang sama, hal tersebut menunjukkan kebesaran jiwa para tokoh tersebut yang tidak ngotot mempertahankan pemerintahan di Sumatera, tetapi dengan kerelaan menyerahkan kembali kepada Soekarno dan Hatta di Yogyakarta—sebuah pelajaran penting dalam berbangsa dan bernegara.
Adapun utang pemerintah Indonesia kepada masyarakat Aceh adalah peristiwa Juni 1948 yaitu pada saat Presiden Soekarno berkunjung ke Aceh. Saat di Aceh, Soekarno meminta bantuan masyarakat Aceh untuk turut serta membantu pemerintah membeli pesawat kepresidenan karena saat itu pemerintah tidak bisa membeli pesawat. Hal ini dikarenakan negara tidak mampu membelinya.
Melalui gerakan tokoh Aceh, Teungku Muhammad Daud Beureueh, masyarakat Aceh dapat mengumpulkan uang 120 ribu dolar Singapura dan emas hingga 20 kilogram. Dana tersebut kemudian digunakan untuk memberi sebuah pesawat C-7 Dakota dari Singapura. Pesawat tersebut kemudian diberi nama Dakota RI-001 Seulawah (dalam bahasa Aceh artinya "gunung emas").
Sebagai Gubernur Militer Aceh, Teungku Muhammad Daud Beureueh mampu mengonsolidasi masyarakat Aceh untuk berkontribusi terhadap pemerintahan Indonesia yang tetap dikenang hingga kini.
Dengan tidak bermaksud untuk mengungkit jasa dan kebaikan Sumatera dan Aceh kepada pemerintah Indonesia, dua peristiwa tersebut setidaknya mengingatkan pemerintah saat ini, bahwa masyarakat Sumatera dan Aceh pernah memiliki rekam jejak sejarah pengorbanan sebagai bagian dari bangsa yang tidak dapat dilupakan sama sekali.
Tidak pula untuk menjustifikasi besarnya tuntutan masyarakat Sumatera dan Aceh yang saat ini sedang dilanda bencana besar, dengan jumlah korban hingga mencapai seribu lebih, dan kerusakan harta benda, insfratrukturdan lainnya dalam jumlah yang bisa mencapai ratusan triliun, serta kerusakan lingkungan dan ekosistem yang tidak bisa dirupiahkan atau didolarkan.
Sesuatu merupakan hal yang normal jika suatu wilayah dalam negara kesatuan membutuhkan bantuan—baik yang bersifat darurat maupun jangka panjang—perlu mendapat perhatian serius. Keseriusan dapat ditunjukkan dengan pengerahan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk menyelesaikan persoalan secepatnya, sebaik-baiknya, dan seakurat mungkin.
Bila itu tidak dapat dilakukan secara maksimal, hal lainnya bisa dilakukan dengan menunjukkan empati dan simpati kepada korban dan keluarganya. Salah satu bentuk empati dan simpati adalah menahan diri untuk tidak memberi pernyataan atau komentar yang dapat menambah beban pikiran dan penderitaan para korban serta keluarganya.
Paling ideal adalah memberi perhatian dalam bentuk yang konkret secara material, yaitu membantu korban dan keluarganya. Pada saat yang sama juga memberi empati dan simpati, dengan perkataan dan pernyataan yang baik serta menyejukkan bagi suasana duka korban dan keluarganya.
Juga pada saat yang sama membuat kebijakan yang betul-betul berpihak kepada korban dan keluarganya, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
Tidak berlebihan bila ada yang mengatakan bahwa ini adalah saat yang tepat untuk membalas budi masyarakat Sumatera dan Aceh di masa lalu. Salah satunya adalah dengan menetapkan bencana banjir bandang dan longsor di Sumatera serta Aceh saat ini sebagai "bencana nasional".
Penetapan tersebut adalah prioritas dan pengerahan sumber daya besar-besaran ke Sumatera dan Aceh. Jangan sampai kita berutang untuk kesekian kalinya kepada Sumatera dan Aceh.




