jpnn.com, JAKARTA - Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan keberagaman pangan lokal terbesar di dunia.
Setiap daerah memiliki bahan pangan alami yang menyimpan potensi nutrisi tinggi sekaligus nilai budaya yang kuat.
BACA JUGA: Menghidupkan Kembali Keragaman Pangan Lokal
Namun, perubahan gaya hidup dan pola konsumsi membuat banyak pangan lokal perlahan tersisih oleh produk olahan, makanan instan, dan bahan impor yang dianggap lebih praktis dan modern.
Merespons kondisi tersebut, Kompasiana menggelar talkshow bertajuk “Melacak Jejak Pangan Nusantara”, yang berlangsung pada Kamis (18/12) lalu.
BACA JUGA: Kemendikdasmen, LAN, Bapanas & DUDI Kolaborasi Perkuat Literasi Pangan Lokal Generasi Muda
Kegiatan itu menjadi ruang diskusi edukatif untuk mengajak masyarakat kembali melihat dan memahami keberagaman pangan lokal yang tersebar di berbagai daerah Indonesia.
Hilangnya kedekatan masyarakat dengan pangan lokal tidak hanya berdampak pada berkurangnya keragaman konsumsi, tetapi juga berpotensi melemahkan pola makan berimbang serta memudarkan pengetahuan tradisional.
BACA JUGA: Kementan Pastikan Program Makan Siang Gratis Prabowo-Gibran Bisa Pakai Pangan Lokal
Padahal, di balik pangan lokal tersimpan pengetahuan, praktik pengolahan, serta nilai sosial dan ekonomi yang membentuk identitas masyarakat Nusantara.
Research Director Center for Study Indonesian Food Anthropology (CS-IFA) Repa Kustipia menekankan pentingnya memahami pangan lokal sebagai bagian dari budaya hidup masyarakat.
“Pangan lokal merupakan hasil dari trajektori sejarah panjang, mulai dari fase pemburu-peramu, pertanian awal, sistem agraris kerajaan, hingga masuknya sistem pangan kolonial dan industri modern,” ucap Repa dalam keterangannya, pada Minggu (21/12).
Setiap fase tersebut membentuk cara masyarakat Nusantara mengenal, mengolah, dan memaknai makanan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari,” lanjutnya.
Dari sisi riset dan pengembangan, Kepala Riset Hortikultura dan Perkebunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dwinita Wikan Utami menyoroti pentingnya pendekatan ilmiah dalam mengangkat pangan lokal.
“Pengembangan pangan lokal hanya dapat berjalan optimal jika peneliti, pemerintah daerah, dan masyarakat bekerja bersama, sehingga temuan riset dapat diterjemahkan menjadi praktik yang bermanfaat dan memperkuat posisi pangan lokal,” kata Dwinita.
Sementara itu, akademisi dan pakar entomologi Ir. Dadan Hindayana melihat serangga dapat menjadi alternatif sumber protein masa depan.
Menurut dia, serangga unggul dari sisi kandungan protein dan efisiensi produksi dibandingkan ternak konvensional, sehingga membuka peluang besar sebagai sumber protein masa depan.
“Serangga adalah masa depan pangan kita. Bukan tidak mungkin serangga sumber protein masa depan,” tutur Dadan. (mcr4/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gus Yahya Mau Menghadap Rais Aam, tetapi Belum Dapat Jawaban
Redaktur : Rah Mahatma Sakti
Reporter : Ryana Aryadita Umasugi


