Menteri Agama Nasaruddin Umar menyoroti minimnya minat mahasiswa terhadap ilmu hadis yang dinilainya bisa berdampak serius terhadap perkembangan pelajaran Islam ke depan.
Hadis adalah segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan, dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW, berfungsi sebagai sumber hukum kedua dalam Islam setelah Al-Qur'an.
Menag menyebut, saat ini ulumul hadis menjadi salah satu bidang keilmuan Islam dengan peminat paling sedikit, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia Islam.
Hal itu disampaikan Nasaruddin saat memberikan sambutan dalam acara penerimaan mahasiswa baru Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) di Hotel Vertu, Jakarta Pusat, Senin (22/12).
“Karena kalau kita semuanya ramai-ramai ke ahli tafsir, kita sekarang ini ada ancaman untuk ahli hadis ini. Tidak ada peminatnya ilmu hadis, sangat sedikit peminatnya untuk menjadi doktor hadis itu,” kata Nasaruddin.
Nasaruddin menjelaskan, kondisi tersebut membuatnya tercenung. Sebab, ia terlibat langsung dalam yayasan hadis tingkat internasional dan melihat persoalan ini terjadi secara global.
“Kami anggota penasihat kerajaan tentang yayasan hadis itu dan itu bukan hanya di Indonesia, seluruh dunia, dunia Islam yang paling kecil peminatnya itu adalah ulumul hadis,” ujarnya.
Menurut Nasaruddin, jika ilmu hadis tidak berkembang, maka pelajaran Islam secara keseluruhan juga akan terdampak. Karena itu, ia menilai perlu ada evaluasi dan pemantauan serius terkait pengembangan keilmuan di lingkungan PTKIN.
“Nah maka itu kemarin Saudi, Yayasan Saudi Arabia ini berkonsentrasi bagaimana kalau hadis ini sampai tidak berkembang, itu bagian dari pelajaran Islam pun juga tidak berkembang. Nah mungkin harus ada pemantauan juga dari kita itu apa yang kurang di Indonesia,” ucapnya.
Nasaruddin mengusulkan penguatan konsentrasi keilmuan berbasis geo-emosional dan geo-intelektual. Menurutnya, daerah tertentu memiliki keunggulan dan kepekaan keilmuan yang bisa difokuskan.
“Kemudian juga mungkin sudah saatnya kita memikirkan juga geo-emosional, geo-intelektual kita. Karena di kan ada daerah-daerah tertentu geo-intelektual apa kepekaannya,” katanya.
Ia mencontohkan, ada wilayah yang sejak lama dikenal kuat pada disiplin ilmu tertentu.
“Saya perlu belajar tentang pemikiran Islam ke Jakarta. Filsafat umum di Jogja, Tafsir di Makassar,” ujarnya.
Dengan pola tersebut, kampus-kampus PTKIN diharapkan memiliki kekhasan keilmuan yang jelas.
“Jadi ada konsentrasi-konsentrasi tertentu yang orang luar bisa ‘oh kalau mau menjadi ahli hadis kita ke kampus mana’. Kalau mau ahli falak kita ke Semarang misalnya. Kalau mau ahli Asia Tenggara kita ke mana,” kata Nasaruddin.
Nasaruddin berencana membuka konsentrasi hadis secara lebih terarah di kampus tertentu.
“Kami membuka konsentrasi hadis supaya orang-orang ahli hadis itu kita fokuskan takhassus-nya ke misalnya UIN Lampung,” ujarnya.
Nasaruddin mendorong pemberian beasiswa berbasis kebutuhan keilmuan, bukan sekadar kampus generik. Menurutnya, negara perlu hadir untuk mendorong bidang-bidang yang minim peminat tapi sangat dibutuhkan.
“Kalau perlu kita beri beasiswa, misalnya ilmu falak nggak ada yang berminat, padahal itu sangat diperlukan, kita kasih beasiswa untuk ilmu falak,” katanya.
“Jadi pemberian beasiswa itu pun juga tidak berdasarkan kampus generik, tapi ada kisi-kisi tertentu, profesi-profesi tertentu. Kita butuh misalnya ilmu faraid, kita perlu misalnya ilmu hadis, maka konsentrasi ilmu hadis itu kita kasih beasiswa ke situ supaya banyak peminatnya untuk masuk ke situ,” tutup Nasaruddin.




