Pemerintah Bakal Gelontorkan Kredit Rp 10 Triliun bagi Pelaku Ekonomi Kreatif

kompas.id
3 jam lalu
Cover Berita

JAKARTA, KOMPAS – Serupa dengan industri lain, pelaku usaha ekonomi kreatif membutuhkan bantuan permodalan untuk menjalankan bisnisnya. Pemerintah berupaya mengatasinya dengan memberikan kredit usaha rakyat senilai Rp 10 triliun pada 2026. Penerimanya akan ditentukan jasa penilai kekayaan intelektual.

Menteri Ekonomi Kreatif (Ekraf) Teuku Riefky Harsya mengemukakan, pihaknya bersama sejumlah kementerian lain akan menyalurkan kredit usaha rakyat (KUR) bagi para pelaku ekraf pada 2026. KUR ini berbasis kekayaan intelektual (KI), seperti jenama, paten, desain industri, hak cipta, dan rahasia dagang.

Total alokasi KUR mencapai Rp 10 triliun. Tiap wirausaha berhak mendapatkan KUR hingga Rp 500 juta. Dana ini akan dialokasikan lembaga penyalur KUR, bukan dari kementerian.

Baca JugaEkonomi Kreatif Tumbuh, Kekayaan Intelektual Tertinggal 

Kementerian Ekraf akan berperan mendampingi pelaku usaha sebagai penerima KUR. Mereka yang berhak mendapatkan bantuan itu ditentukan berdasarkan hasil kurasi bersama antara pemerintah daerah (pemda) dan asosiasi terkait.

Selain KUR, pemerintah juga akan memberikan kredit komersial dengan nilai lebih besar ketimbang KUR. Berdasarkan arahan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, pembiayaan ini akan diakomodasi PT Saran Multi Infrastruktur (Persero) atau SMI. Perusahaan pelat merah itu berada di bawah Kemenkeu.

“Tadi disampaikan bahwa betul kami dengan Otoritas Jasa Keuangan berkaitan dengan kebijakan beri kredit terhadap industri ekraf sudah berjalan, tetapi beberapa bank dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) masih ragu (memberi kredit). Kalau dikasih, balik lagi enggak nih uang?” ujar Teuku.

Guna mengatasi kekhawatiran itu, Menkraf menerbitkan Peraturan Menteri Ekraf tentang jasa penilai KI. Hal ini merupakan inovasi baru, sehingga masih perlu disosialisasikan ke berbagai pihak, termasuk asosiasi jasa penilai KI. Harapannya, mereka bisa menjadi jembatan dengan perbankan ketika ada keraguan dalam pemberian kredit, termasuk menghitung nilai valuasi suatu KI.

Secara terpisah, pelaku usaha ekraf menilai, pembiayaan untuk membantu permodalan pengembangan karya masih sulit didapatkan. Sebab, indikator penghitungannya pun berbeda. Jaminan berupa karya ekraf bisa tak berwujud benda.

“Kalau ekraf ini, kan, enggak bisa hanya kreatif saja, harus ada sisi ekonominya. Tanggung jawab terhadap investasinya ini juga masih belum banyak tersentuh dari pelaku-pelaku industri kreatif,” ujar aktor sekaligus komedian, Satriaddin Maharinga Djongki atau Arie Kriting saat ditemui usai jumpa pers akhir tahun Kementerian Ekraf di Jakarta, Senin (22/12/2025).

Baca JugaMayoritas Kekayaan Intelektual Sektor Ekonomi Kreatif Belum Terlindungi

Industri ekraf berbeda dengan jenis industri pada umumnya. Alhasil, ia mengakui bahwa akses terhadap usaha permodalan pembiayaan itu juga sulit. Ketika membahas prospek jangka panjang, model industrinya belum tentu sudah tercipta.

Industri gim, misalnya, tidak ada jaminan konsumen gim tertentu akan terus bertumbuh pada masa mendatang. Kondisi ini berbeda dengan industri makanan dan minuman. Tiap hari, semua orang perlu makan secara rutin. Ada indikator untuk menghitung bisnis tersebut.

“Tetapi kalau industri kreatif ini, memang karena dia gagasannya visioner, yang dibutuhkan itu, kan, visi. Maka, sebenarnya kreditnya juga harus orang-orang yang bisa membaca visi, bukan hanya sekadar hitungan di atas kertas untung-rugi. Harus bisa menilai apakah gagasan dan kreativitasnya itu memang punya visi ekonomi pada masa mendatang,” tutur Arie.

Ketika ditanya soal pelaku kreatif perfilman dalam mendapatkan akses pembiayaan, Arie menilai posisinya agak sulit untuk mengantongi permodalan dari perbankan. Sebab, pangsa pasar perfilman tidak bisa ditebak.

“Film dengan judul cerita sebagus apapun, aktor sebagus apapun tidak ada jaminan 100 persen bahwa penontonnya akan banyak. Itu sesuatu yang tidak linier. Persiapan film yang bagus pun, bisa jadi hasilnya enggak maksimal, begitu juga sebaliknya. Itu enggak pernah ada kalkulasinya,” ujar Arie.

Baca JugaKekayaan Intelektual sebagai Jaminan Utang

Sementara itu, perbankan perlu memiliki perhitungan yang komprehensif dan mendetail dengan indikator tertentu. Prospek industri perfilman tidak dapat diprediksi dengan mudah.

Alhasil selama ini, para pelaku ekraf bertumpu pada dua sisi. Pertama, investor dari produser. Kedua, angel investor yang siap membantu permodalan didasari atas kecintaannya pada budaya.

Investor selama ini selalu menjadi pilihan utama karena mereka memahami risiko dalam pembuatan film hingga rilisnya. Sebaliknya, perbankan dengan modal pinjaman dinilai amat berisiko bagi pelaku perfilman. Tidak ada jaminan bagi pelaku perfilman dapat mengembalikan dana yang dipinjam tepat waktu dengan jumlah yang sama.

“Jadi memang untuk industri perfilman ini sependek pengetahuan saya sih sulit, jika konteksnya adalah pinjaman. Biasanya beberapa bank masuk melalui sponsorship. Jadi mereka mensponsori perkenalan atau apapun,” kata Arie.

Jadi aset ekonomi

Pembahasan soal pembiayaan bagi para pelaku industri kreatif sudah sering dibahas. Sulitnya mencari pendanaan menjadi salah satu sandungan bagi pelaku usaha.

Sebelumnya, Chairman Jakarta Intellectual Property Market Mochtar Sarman mengatakan, lembaga keuangan belum memahami valuasi berbasis KI. Sebab, kekayaan intelektual tidak berwujud, berbeda dengan kredit mesin atau pabrik yang terlihat.

”Jadi, banyak perbankan atau lembaga keuangan ini masih kebingungan bagaimana caranya pendanaan atau valuasi sebuah IP,” kata Mochtar dalam sesi pembuka Jakarta IP Market, Selasa (18/11/2025).

Mengutip laman Kementerian Hukum, Sekretaris Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Andrieansjah mengungkapkan, sejumlah negara memiliki skema untuk mendukung pembiayaan pengakuan kekayaan intelektual sebagai aset ekonomi. Skema berbasis kekayaan intelektual mendorong pelaku ekraf untuk menjadikan hak kekayaan intelektual sebagai jaminan utang, baik perbankan maupun nonperbankan.

”Beberapa negara seperti Korea Selatan telah menerapkan skema ini dengan pinjaman berbasis IP mencapai tiga perempat dari nilai asetnya. Selain itu, Singapura sudah memiliki skema pembiayaan IP dan bank khusus IP dengan proporsi alokasi dana, seperti 50 persen untuk riset dan pengembangan, serta 25 persen untuk perlindungan IP,” tuturnya.

Di Indonesia, Andrieansjah melanjutkan, membangun kepercayaan lembaga keuangan, serta menyediakan penilaian kekayaan intelektual dan lembaga penjamin yang kredibel, masih menjadi tantangan. Penguatan perlu dilakukan dari aspek regulasi, standardisasi, kebijakan kekayaan intelektual, edukasi pada sektor perbankan dan dunia usaha, serta promosi pasar sekunder.

Baca JugaKekayaan Intelektual Kini Bisa Jadi Jaminan Akses Pinjaman


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Apakah Ini Saatnya Ezra Walian Kembali ke Timnas Indonesia?
• 11 jam laluskor.id
thumb
Polling: Seberapa Penting Produk Kopi Memiliki Sertifikat Halal?
• 6 jam lalukumparan.com
thumb
Video: Antrian Perawatan Pesawat Capai 5 Tahun, Bisnis MRO Laris Manis
• 22 jam lalucnbcindonesia.com
thumb
Dua Tentara Gugur, Trump Lepas Rem: Langit Suriah Diguyur 100 Bom Balasan AS
• 10 jam laluerabaru.net
thumb
Menhub ajak masyarakat pakai kuota mudik gratis
• 21 jam laluantaranews.com
Berhasil disimpan.