Bank Indonesia (BI) menyoroti tingginya undisbursed loan atau kredit yang belum ditarik sebagai cerminan sikap pelaku usaha yang masih menahan diri untuk ekspansi.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kredit nganggur meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Pada Agustus 2025 kredit nganggur di perbankan tercatat sebesar Rp 2.372 triliun, naik menjadi Rp 2.450 triliun per Oktober 2025. Terus meningkat hingga Rp 2.509,4 triliun per November 2025.
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Solikin M. Juhro, menjelaskan fenomena undisbursed loan tidak lepas dari faktor permintaan kredit.
Menurutnya, banyak pelaku usaha menunda penarikan kredit karena menilai kondisi belum cukup kondusif untuk pengembangan bisnis.
“Tadi saya katakan, pasti ketika kita lihat kenapa undisbursed loan tinggi, memang umumnya mereka [pengusaha] melakukan wait and see,” kata Solikin dalam Taklimat Media di Kantor BI, Senin (22/12).
Ia menambahkan, dari sisi demand, pelaku usaha cenderung memilih menggunakan dana internal atau sumber pendanaan lain ketimbang menarik kredit baru dengan suku bunga yang masih tinggi.
Menurutnya, pelaku usaha merasa lebih baik menggunakan dana sendiri daripada harus meminjam dengan bunga yang masih tinggi.
Strategi BI Dorong Kredit
Melihat kondisi tersebut, BI menegaskan telah menyiapkan strategi untuk merespons persoalan dari sisi permintaan kredit. Fokus kebijakan tidak hanya mengandalkan instrumen reguler dan makroprudensial, tetapi juga memperkuat komunikasi serta koordinasi lintas otoritas.
Solikin menyebut BI secara aktif mengidentifikasi persoalan yang menghambat permintaan kredit, terutama dari sektor riil. Upaya tersebut akan tercermin dalam penguatan koordinasi untuk mendorong respons sisi permintaan, yang nantinya juga dijelaskan lebih lanjut dalam rilis resmi BI.
Ke depan, BI juga mendorong percepatan intermediasi melalui program Pinisi (Percepatan Intermediasi Indonesia). Program ini diarahkan untuk mendorong penyaluran kredit ke sektor-sektor yang mampu menggerakkan kegiatan ekonomi dan meningkatkan kepercayaan investor.
Menurut Solikin, kebijakan ke depan akan mengombinasikan instrumen reguler dan makroprudensial dengan koordinasi yang lebih kuat untuk mendorong respons sektor riil. Koordinasi tidak hanya dilakukan internal BI, tetapi juga dengan pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Tujuannya adalah menyamakan persepsi mengenai sektor prioritas yang bisa jadi motor pertumbuhan ekonomi.
“Yang utama di luar itu adalah membangun persepsi confidence ekonomi,” ujar Solikin.
Ia menekankan pentingnya kredibilitas kebijakan agar pelaku usaha tidak merasa was-was. Dengan kebijakan yang teratur dan kredibel, diharapkan kepercayaan ekonomi kembali menguat.
BI juga menanggapi soal kebijakan dana Rp 200 triliun yang dikaitkan dengan penurunan suku bunga. Menurut Solikin, tambahan dana tersebut memberikan fleksibilitas pendanaan, khususnya bagi bank-bank Himbara.
Namun, ia menilai kebijakan tersebut belum tentu langsung berdampak besar terhadap penurunan suku bunga kredit secara menyeluruh.
Sebab, bank-bank di luar Himbara juga menghadapi tantangan pendanaan sendiri. Solikin menegaskan seluruh inisiatif ini bersifat positif dan akan lebih optimal jika dikawal dengan koordinasi yang kuat.
Ketidakpastian Global
BI memprediksi perekonomian global pada 2026 hingga 2027 masih akan menghadapi tekanan berat. Kondisi ini membawa dampak ke ekonomi Indonesia berupa ketidakpastian yang tinggi.
Solikin menilai pelemahan ekonomi dunia tidak hanya bersumber dari faktor ekonomi, tetapi juga dipicu oleh dinamika politik dan geopolitik yang rumit.
Sejak 2024, ekonomi global sudah berada dalam situasi penuh ketidakpastian mulai dari perang tarif hingga konflik kawasan yang berdampak pada investasi dan perdagangan.
“Istilahnya higher uncertainty. Kita tidak bisa membayangkan sejak tahun 2024, masalahnya bukan hanya ekonomi tapi juga politik, seperti perang tarif dan masalah geopolitik,” tuturnya.
Risiko geopolitik termasuk perang di kawasan Eropa Timur serta eskalasi ketegangan perdagangan global memperkuat tantangan ekonomi dunia. Kombinasi faktor politik dan ekonomi ini menjadikan prospek global semakin sulit diprediksi.
Solikin menjelaskan ada beberapa karakteristik yang perlu diwaspadai. Pertama, proteksionisme Amerika Serikat dan defisit perdagangan yang tinggi.
Kedua, pertumbuhan ekonomi global yang melambat dan terfragmentasi sehingga kerja sama multilateral menjadi terbatas.
Ketiga adalah masalah tingginya utang publik dan suku bunga global. Keempat, pasar keuangan yang rapuh akibat peran lembaga keuangan non-bank yang berisiko tinggi.
Terakhir, risiko dari perkembangan aset digital seperti kripto yang punya potensi menimbulkan gelembung ekonomi, kata Solikin menutup penjelasannya.





