Permata Bahasa untuk Liontin Komunikasi

kumparan.com
2 jam lalu
Cover Berita

Bila aktivitas komunikasi manusia dapat menerima sentuhan metafora sebagai liontin sebuah kalung, maka bahasa sudah pasti senantiasa melekat padanya. Dan, di dalam bahasa itu terdapat apa yang dapat disematkan sebagai frasa “permata bahasa”. Makna harfiahnya merujuk pada “bagian yang sangat berharga dari bahasa”.

Adapun bahasa merupakan sistem lambang bunyi arbitrer (manasuka) yang menjadi kesepakatan kolektif suatu masyarakat atau bangsa untuk menjalin kerja sama dan interaksi serta menjadi penanda identifikasi diri. Ia adalah materi bagi para penutur untuk berkomunikasi sehari-hari.

Kata-kata merupakan bagian intrinsik dari bahasa sebagai wahana untuk mengantarkan pikiran atau perasaan dalam proses konversasi di segala situasi. Serta, membangun gagasan monumental dalam bidang keilmuan, kesenian, dan keagamaan secara tertulis atau lisan.

Metafora “permata bahasa” dalam konteks ini merujuk langsung kepada kekayaan leksikon atau khazanah kosakata dalam bahasa. Kata-kata yang menonjol berkat keberadaan sejumlah karakteristik kunci yang menyebabkannya tampak menonjol di antara kata-kata yang lain.

Presisi Makna

Sebuah kata masuk ke dalam kategori “permata bahasa” manakala ia mempunyai presisi makna, sehingga sangat spesifik dan sulit tergantikan hanya dengan satu kata saja. Contohnya adalah kata “randek”. Meskipun kata ini tidak begitu familier dalam kehidupan berbahasa sehari-hari, ia mempunyai tempat yang spesifik di dalam peta leksikon bahasa Indonesia.

Yang menarik sebagai catatan, berkat kandungan presisi maknanya, kata “randek” mengangsurkan kandungan makna yang kaya untuk menerima rengkuh penjelajahan. Ia menggandeng sejumlah aspek linguistik dan sosiokultural yang sangat memikat untuk menjadi objek pembahasan.

Dari noktah pijak analisis linguistik, kata “randek” ternyata memiliki makna yang melampaui dari sekadar definisi leksikal, yaitu verba “berhenti karena sesuatu”. Ada balutan emosional yang unik di balik kata ini. Ia tidak bisa tergantikan dengan kata “berhenti” yang datang dari dua faktor penyebab.

Berhenti karena kesengajaan, seperti berhenti merokok karena sadar akan efek negatif dari kebiasaan bercengkerama dengan batang-batang nikotin itu. Bisa pula berhenti dari pekerjaan karena merasa tidak enjoy dengan budaya kerja di lingkungan tempatnya mencari nafkah sekarang. Bisa juga berhenti dari proses belajar sesuai dengan rencana waktu dengan menyetel alarm yang bunyinya menjadi penanda.

Sementara itu, berhenti karena ketidaksengajaan, misalnya mobil yang tiba-tiba berhenti di tengah jalan karena ada kerusakan mekanis yang tidak terduga. Bisa juga berhenti menonton acara di televisi yang sedang seru-serunya, karena aliran listrik mendadak terputus. Bisa pula berhenti berlari saat olahraga pagi, karena kaki tersandung batu besar di tengah jalan sehingga terjatuh dan terpaksa tidak melanjutkan aktivitasnya beberapa saat.

Sementara itu, kata “macet” merupakan bentuk spesifik dari “berhenti”. Konteks semantik yang kompleks turut memperkayanya. “Macet” sesungguhnya adalah juga “berhenti”, tetapi terjadi sebagai buah akibat hambatan atau kegagalan sistem. Ia cenderung tergiring ke arah konotasi negatif yang begitu kuat.

Dengan demikian, manakala masyarakat penutur bahasa Indonesia menggunakan kata “macet”, mereka tidak hanya menginformasikan mengenai ketiadaan gerakan. Akan tetapi, mereka juga mengekspresikan keberadaan masalah, kekacauan, berikut frustrasi situasional.

Kata “macet” tidak hanya mengakrabi adanya adanya ketersendatan arus lalu lintas. Akan tetapi, ia juga bermain di wilayah gagasan yang tidak bisa mengalir lebih jauh. Mungkin karena kelelahan berpikir dan tidak segera dapat memulihkan kebugaran stamina berpikirnya.

“Terhenti” dan “Randek”

Selanjutnya, antara kata “terhenti” dan “randek” terdapat kemiripan. Terutama terletak pada hasil akhir, yaitu aktivitas yang sedang terjadi tidak berlanjut lagi. Ada interupsi dan mencapai titik diam. Walaupun begitu, ada nuansa antarkedua kata ini. Ada perbedaan makna yang sedemikian tipis.

Kata “randek” acapkali menyentuhkan konotasi kolokial. Maksudnya, merujuk pada gaya bahasa konversasi keseharian yang informal. Tidak terikat aturan gramatika baku. Ada dugaan kata ini berfungsi menghadirkan kedekatan antarpenutur.

Kata “randek” cenderung untuk menunjuk sesuatu yang tersendat dan terjadi secara tidak terencana. Acapkali ada rasa jengkel sebagai respons spontan. Ada beban emosional yang spesifik. Hampir senantiasa menyiratkan timbulnya kekecewaan, kejengkelan, atau frustrasi akibat pemunculan interupsi yang sama sekali tidak menjadi rengkuh keinginan.

Subjek sebetulnya ingin sekali melanjutkan aktivitasnya. Sayang sekali, terdapat penghalang yang menyebabkan subjek bersangkutan mau tidak mau terpaksa mengurungkan niatnya untuk menyempurnakan proses yang tidak dapat berlanjut karena suatu hal. Kandungan makna ini yang jarang terdapat pada kata-kata padanan yang lain. Hal ini menjadikan “randek” sebagai diksi yang ekspresif dan spesifik manakala mendapatkan realisasi pemakaian pada konteks presisi.

Sejatinya kata “randek” memang lebih sering muncul pada situasi yang kurang begitu formal berbandingkan dengan pemakaian kata “terhenti” untuk sejumlah konteks. Dalam pada itu, kata “terhenti” tidak terlampau spesifik. Bisa masuk secara fleksibel ke dalam konteks kalimat yang mendeskripsikan tindakan penghentian baik secara mendadak maupun dengan perencanaan sebelumnya. Kata “ terhenti” juga netral, standar, bisa berada dalam pemakaian ragam bahasa aoa pun, lisan atau tulisan.

Ada analogi sederhana untuk membedakan kata “randek”, “terhenti”, dan “berhenti”. Bayangkan saja ada seorang lelaki mengendarai mobilnya. Pada saat mobil yang melaju itu kehabisan bahan bakar minyaknya dan tidak bisa bergerak lagi, kita dapat mengatakan “mobil itu merandek”. Dan, biasanya mendapat iringan pernyataan dengan balutan emosi jengkel atau kesal atau cemas dari sang pengemudi, misalnya “Waduh, bagaimana ini, padahal 10 menit lagi aku mesti sampai di bandara. Pesawat istriku sudah hampir landing di runway.”

Bila mobil itu dengan faktor penyebab yang sama, tidak melanjutkan lajunya lagi, maka kita pun dapat mengatakan “mobil itu terhenti”. Hanya saja sang pengemudi tidak merespons secara emotif berupa rasa jengkel, kesal, atau cemas. Mungkin dia hanya geleng-geleng kepala saat melihat low fuel warning light menyala. Menyadari bahwa dia lupa mengisi bahan bakar minyak untuk mobilnya, akibat belitan kesibukan pekerjaannya belakangan waktu ini. Mungkin sambil menepuk pelan keningnya sendiri. Kalaupun ada sedikit umpatan, bisa jadi itu hanya ungkapan jengkel yang tipis-tipis saja.

Sementara itu, bila mobil itu juga tidak lagi bergerak melaju karena adanya faktor kesengajaan dari sang pengemudi. Misalnya dia sengaja mengeremnya ketika melihat seekor anak kucing lucu tapi tubuhnya kurus dan kurang terawat yang berada sendirian di pinggir trotoar. Mengeong-ngeong dengan suara begitu memelas. Dan, dia berniat menolong dan mengadopsinya. Maka, kita dapat menyebut “mobil itu telah berhenti”.

Dari uraian barusan, secara maknawi kata “terhenti” merupakan padanan yang paling dekat untuk mendeskripsikan kata “randek”. Dibandingan dengan kata “macet” dan “berhenti”, nuansa makna yang terentang agak lebih jauh. Meskipun “terhenti” bisa mewadahi dua konsep sekaligus, tanpa perencanaan dan dengan perencanaan. Serta, bisa tidak atau dengan ungkapan sedikit sentuhan (jadi tidak terlalu intens) sertaan kejengkelan, kekecewaan, kekesalan, atau kecemasan.

Bagaimanapun “terhenti” dan “randek”, keduanya memainkan peran fungsional yang sangat erat relasinya sebagai sinonim atau padanan kata. Keduanya masih memiliki relevansi terkait dengan kemiripan semantik. Merujuk pada keadaan, manakala suatu gerakan atau proses tidak dapat berbuah kelanjutan.

Bisa jadi “randek” mempunyai akar kata dari bahasa daerah. Ada yang menafsirkan berasal dari bahasa Jawa, karena ada kemiripan antara “randek” dan “mandek” sebagai struktur fonetis. Serta, pemakaiannya lebih spesifik dan kolokial di sejumlah wilayah, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI Dalam Jaringan telah menjadi bagian dari lema dengan usungan makna leksikal “berhenti karena sesuatu” atau “terhenti”.

Fleksibilitas Morfologis

Kata “randek” memperlihatkan kemampuan beradaptasi yang baik dalam tata bahasa Indonesia standar. Kendatipun tergolong unsur serapan, ia dengan mulus dapat menjalankan fungsi dalam tatanan sintaksisnya, manakala memperoleh afiks (imbuhan), seperti prefiks (awalan) “me-” sehingga terbentuk kata “merandek”.

Secara sosiolinguistik, penggunaan bahasa dalam konteks masyarakat, kata “randek” merupakan contoh sempurna, atau boleh menerima sebutan permata bahasa, dari sisi kekayaan khazanah kosakata bahasa Indonesia yang memiliki “legitimasi” untuk melakukan penyerapan dari bahasa daerah, khususnya Jawa ("madek").

Proses adopsi atau penyerapan ini mempertontonkan dinamika dalam mengakomodasi keragaman bahasa daerah di Indonesia. Pemakaian kata “randek” secara sadar di luar masyarakat penutur bahasa Jawa, tidak jarang mengindikasikan latar belakang pendidikan penutur yang relatif baik. Berpengetahuan luas. Atau, kesengajaan pemanfaatan pilihan kata atau diksi untuk tujuan menimbulkan efek sastrawi.

Hal ini membuktikan bagaimana asal geografis sebuah kata turut memengaruhi tingkat keseringan penggunaannya dalam skala nasional. Kestabilan ini menekankan betapa kata “randek” telah terintegrasi penuh ke dalam leksikon formal. Tidak sekadar kata pinjaman yang kurang fleksibel. Dengan demikian, membiarkan adanya celah pemungkinan penggunaannya untuk pelbagai struktur kalimat lengkap dengan warna kompleksitasnya.

Sesungguhnya, kata “radek” dalam konteks historis, pada masa lalu, berfungsi untuk mendeskripsikan suatu kejadian yang tidak terduga, dan terputus karena adanya kerugian atau kecelakaan. Oleh karena itu, kata ini menebarkan jala pemahaman, bukan sekadar jeda ringan. Melainkan sebaliknya, suatu insiden yang menghentikan secara paksa suatu alur rencana dengan risiko adanya konsekuensi negatif.

Konteks Modern

Kata “randek” adalah permata bahasa yang menawarkan definisi yang lebih dari sekadar raut konseptual yang sahaja. Kata “randek” adalah verba yang begitu penuh makna emosional. Sebuah diksi yang ingin menyampaikan interupsi dengan sentuhan kekecewaan tiada terhingga.

Berikut beberapa contoh, dalam hal ini sudah ada penambahan prefiks “me-” pada “randek”, sehingga menghasilkan bentukan morfologis “merandek”. Dalam konteks modern, ia bisa luwes membersamai kalimat yang menginformasikan tentang proses kerja atau proyek yang belum bisa memenuhi asas keberlanjutannya.

Seperti yang tertuang dalam contoh kalimat (1) berikut: "Proses validasi data proyek besar itu merandek di tahap uji coba karena adanya perubahan regulasi pemerintah yang mendadak, menyebabkan kerugian waktu yang signifikan".

Kalimat (1) mengusung gagasan bahwa ada sebuah proyek besar yang tengah berada dalam upaya pengguliran menuju ke arah tujuan yang tentu saja berada dalam rengkuh harapan yang konstruktif. Oleh karena itu, pada tahapan awal ada proses validasi data. Sayang sekali, pada tahapan uji coba, pemerintah menerbitkan regulasi kontraproduktif secara tiba-tiba, sehingga proyek besar itu terpaksa “merandek” alias tidak bisa berlanjut. Hal ini menimbulkan kekecewaan dan kejengkelan luar biasa dari para pihak yang terlibat.

Selanjutnya, kata “merandek” juga bisa menceburkan diri ke dalam konteks pengiriman pasokan logistik ke wilayah marginal, sebagaimana terdapat dalam kalimat (2): "Distribusi pasokan logistik ke daerah terpencil sering kali merandek akibat infrastruktur jalan yang belum memadai dan cuaca ekstrem, sehingga mengecewakan warga setempat".

Kalimat (2) berkisah tentang pasokan logistik yang terpaksa tidak bisa memenuhi proses distribusi dengan lancar ke daerah terpencil yang menjadi sasaran pengiriman. Sarana jalan yang belum dibangun dengan baik. Tambahan lagi adanya cuaca ekstrem. Kedua faktor penyebab inilah yang menyebabkan proses pengiriman pasokan logistik itu “merandek”. Jeda itu tidak hanya dalam artian ekstrem pasokan logistik sama sekali tidak bisa sampai. Tetapi, juga bisa berupa keterlambatan distribusi sehingga terjadi kekurangan pasokan, realitas yang menimbulkan frustrasi bagi warga di wilayah terpencil tersebut.

Lebih jauh, kata “merandek” juga bisa berpartisipasi dalam konteks narasi fiksional. Berikut contoh kalimat (3): "Langkah kaki sang detektif yang mantap menuju pintu keluar seketika merandek saat ia melihat bayangan hitam melintas di koridor yanf remang itu". Pemakaian kata “merandek” di sini berfungsi untuk menghadirkan efek dramatis. Menegaskan suatu penghentian langkah kaki sang detektif secara mendadak. Tanpa rencana. Lebih merupakan akibat dari kejadian tak terduga, yaitu adanya kelebat sosok bayangan manusia yang bergerak melintasi koridor yang temaram itu. Hal tersebut menegangkan hati sang detektif, karakter utamanya.

Selanjutnya, kata “merandek” juga berkaitan dengan konteks emosional atau psikologis. Ambil contoh kalimat (4): "Pikirannya merandek di tengah upaya mencari solusi, terhalang oleh trauma masa lalu yang belum terselesaikan”. Kata “merandek” di sini menggambarkan tentang proses berpikir seseorang bisa terjeda dan tidak mampu tiba pada solusi yang menjadi primadona harapannya. Adapun biang penyebabnya adalah masalah beban emosional, menunjukkan stagnasi mental.

Seterusnya, kata “merandek” juga dapat berada dalam konteks persoalan sengketa antarnegara. Seperti tampak pada contoh kalimat (5): "Negosiasi damai antara kedua belah pihak merandek setelah salah satu delegasi menarik diri dari meja perundingan". Kata ini mendeskripsikan proses upaya pendamaian dua negara yang terlibat suatu sengketa mengalami proses jeda dan tidak cukup mulus untuk tiba pada kesepakatan yang menghasilkan win-win solution.

Mencermati lima contoh di atas, kita bisa sampai pada satu noktah kesimpulan, betapa kata “merandek” yang berasal dari “randek” memang merupakan verba (kata kerja) yang sangat spesifik. Kata ini tidak untuk menandai segala bentuk atau jenis penghentian. Akan tetapi, hanya untuk penghentian akibat adanya suatu masalah, tidak diharapkan atau diinginkan, atau disebabkan adanya hambatan signifikan.

Memanfaatkan pemakaian kata “merandek” tentu saja dapat meningkatkan kekayaan diksi kita. Dan, sekaligus juga mempersembahkan pilihan kata yang tingkat kepresisiannya akan berkurang tatkala kita menggunakan kata “berhenti” yang lebih umum. Hal ini merupakan pula salah satu bukti nyata kemampuan para pemangku kekuasaan yang mengarahkan bahasa Indonesia sehingga dapat secara fleksibel menyerap dan mengadaptasi kata-kata dari bahasa daerah.

Dari “Rindu” Tambah “Kangen”

Permata bahasa lainnya adalah kata “rindu”. Penutur asing, terutama bahasa Inggris, mencermati kata ini karena memiliki kandungan makna yang lebih mendalam dan spesifik daripada sekadar miss atau longing. Mereka menilai “rindu” lebih mempunyai kedalaman perasaan. Warna pembeda tersebut bukan dari hasil definisi kamus, melainkan berangkat dari pijakan budaya, linguistik, dan bagaimana kata-kata itu berada dalam ranah pemakaian dan nilai rasa bahasa yang menjadi anutan para penuturnya.

Guna mengulik pemahaman, mengapa kata “rindu” terasa lebih kuat tekanan perasaannya, kita perlu menelaahnya dari perspektif linguistik. Miss dalam bahasa Inggris boleh dikatakan sebagai verba yang sangat umum dan serbaguna. Ia bisa menunjukkan rasa kecewa karena ketidakhadiran secara fisik, seperti seseorang yang melewatkan jadwal kedatangan bus. I missed my bus (Saya ketinggalan bus).

Atau, kesalahan sehingga mencapai sasaran. His latest attempt missed mark (Upaya terbarunya gagal mencapai sasaran). Bisa juga untuk mengungkapkan rasa kangen yang ringan. I miss my friend. Ini dapat berarti “Saya ingin bertemu dia sebentar” atau “Saya sudah lama tidak bertemu dengannya”. Bersifat kasual, santai tanpa ikatan emosi yang dalam. Superfisial, berada di permukaan.

Sementara itu, kata longing jauh lebih bertenaga emosi daripada miss. Kata loging menggambarkan perasaan rindu yang berurat akar di lubuk hati yang terdalam. Hasrat yang begitu menggelegak. Kadang ada suatu rasa sakit yang menyelinap. Kadang pula, ada jarak yang terentang. Kadang juga, ada realitas kehilangan yang masuk mengintervensi.

Kata longing dalam bahasa Inggris memiliki kesetaraan intensitas dengan kata “rindu” dalam bahasa Indonesia. Hanya bedanya, kata longing hanya muncul dalam konteks puitis atau dramatis. Tidak pernah hadir dalam konversasi sehari-hari. Mari kita nikmati, betapa puitis dan dramatis kata longing sebagaimana tertuang di dalam kalimat indah dalam bahasa Inggris berikut ini.

A silent longing colored her gaze as she watched the ship disappear beyond the horizon, carrying with it the last whispers of a shared dream. (Kerinduan yang sunyi mewarnai tatapannya saat dia menyaksikan kapal menghilang di balik cakrawala, membawa serta bisikan terakhir dari mimpi bersama). Kata longing dalam kalimat ini melompatkan rasa kehilangan dan harapan yang terkoyak. Sebuah perpisahan asmara yang mendidihkan rasa melankolis.

Sementara itu, kata “rindu” dalam bahasa Indonesia bisa muncul sebagai ekspresi estetik seperti dalam karya puisi, dan juga bisa hadir dalam pembicaraan sehari-hari. Dalam karya puisi, Sapardi Djoko Damono (20 Maret 1940 - 19 Juli 2020) pernah memanfaat di pengujung bait: //Butuh berapa lama untuk mengerti kamu/ pada isi di dalam ruang/ pada spasi di dalam jarak/ pada rindu yang berserak//. Sang penyair tampaknya ingin mengekspresikan relasi antarmanusia dan watak kerinduan yang kadang terasa sia-sia dan sukar terurai. Kata-kata biasa akan terasa gagap membacanya.

Dalam konversasi sehari-hari pun, kata “rindu” juga tidak canggung untuk hadir. Misalnya dalam kalimat, “Sudah lama nggak denger cerita lucumu, ada rasa rindu pengen denger lagi”. Atau, “Banjir rindu pengen ke pantai lagi, udah setahun nggak kena sinar matahari langsung”. Atau lagi, “Aku rindu momen-momen saat kita masih sering nongkrong bareng di kafe tiap malam Minggu”.

Ada yang menilai, bahwa “rindu” menunaikan fungsinya sebagai jembatan yang unik antara miss yang kasual dan longing yang intens. Kata “rindu” dapat secara inheren mengusung bobot emosional yang signifikan manakala berada dalam aktivitas berbahasa sehari-hari.

Manakala ada seseorang mengatakan, “Aku rindu kamu”, jarang sekali itu mengindikasikan ekspresi perasaan yang datar-datar saja. Di dalam kata “rindu” terkandung rasa sakit, harapan, dan keinginan mendalam untuk menjalin kebersamaan lagi. Bisa jadi hal ini karena adanya kaitannya dengan budaya Indonesia yang begitu menjunjung tinggi relasi interpersonal dan kekeluargaan. Momen perpisahan acapkali terasa menjadi begitu berarti.

Untuk sekadar tambahan informasi yang menarik, ternyata terdapat sejumlah bahasa lain dengan kepemilikan kata-kata yang begitu erat menangkap emosi kerinduan yang ternyata kompleks. Contohnya kata saudade dalam bahasa Portugis. Kata ini acapkali menerima pelukisan sebagai wujud kerinduan yang di dalamnya terdapat aliran deras melankolia dan nostalgia akan sesuatu yang bisa jadi tiada mungkin akan pernah kembali lagi.

Pendek kata, eksistensi kata “rindu” sebagai permata bahasa terletak pada paduan uniknya antara kehadirannya dalam konversasi sehari-hari dan bobot emosional yang melekatinya. Dan, secara budaya diakui dan dirasakan para penuturnya. Suatu muatan makna yang tidak seutuhnya berada dalam raihan penangkapan kata miss yang ringan dan longing yang puitis.

Realitas kebahasaan ini sekaligus menjadi garis bawah penegasan, bahwa ternyata bahasa tidak melulu tentang menerjemahkan konsep maknawi kata. Akan tetapi, juga mengenai pemahaman terhadap jiwa dan hati suatu budaya. Yang menarik lagi, bahasa Indonesia juga memiliki kata “kangen”. Sering dianggap ada nuansa, perbedaan sedikit aroma maknanya.

Di kalangan penutur, ada yang merasakan kata “kangen” lebih cair dan bertahan dalam ingatan untuk jangka waktu menanggungnya yang tidak terlalu lama. Adapun “rindu” berada dalam rengkuh asosiasi menanggung beban rasa ingin segera bersua kembali dalam rentang masa yang jauh lebih lama dengan seduhan perasaan yang lebih serius. Eksistensi “kangen” dan “rindu” yang secara maknawi berdekatan ini memperlihatkan kekayaan semantik bahasa Indonesia untuk mengartikulasikan rundungan perasaan ketika terpisah secara ragawi dengan seseorang yang terkasih.

Kata “rindu” dapat menggapai spektrum emosi yang spesifik, intens, dan mendalam dalam satu unit leksikal yang padu. Bahasa Inggris memerlukan paduan verba umum lewat miss dengan penguat kata sastrawi longing. Bahasa Indonesia cukup mengandalkan “rindu” yang berdiri sendiri sebagai penanda emosi yang kuat serta memperoleh pengakuan secara budaya.

Keindahan Bunyi

Suatu kata dapat menjadi permata bahasa juga berkat kualitas estetik dan fonetiknya. Ada keindahan bunyi yang terdengar melalui pelafalan kata bersangkutan. Atau ada keunikan dan kesenangan yang mengalir ketika kata bersangkutan mendapatkan wujud pengucapannya. Misalnya kata “nirwana” atau “saujana” yang terdengar puitis dan menyebabkan keduanya sedemikian berharga manakala memasuki ranah kontekstual dalam karya sastra.

Berikutnya, suatu kata menjadi permata bahasa karena mengandung nilai budaya dan historis. Kata itu merefleksikan sejarah panjang, budaya, kearifan lokal suatu masyarakat. Mereka ibarat mesin waktu linguistik yang terus bergerak dalam jalur relevansi pemakaian di masa kini, tentu saja dengan pemaknaan sesuai dengan panggilan kekinian. Seperti kata “gotong royong” yang merepresentasikan filosofi budaya bangsa Indonesia yang khas. Dan, kata ini boleh dibilang relatif kerap digunakan dalam aktivitas kebahasaan keseharian.

Kelangkaan atau sifat arkais suatu kata dapat pula menjadikan dirinya permata bahasa. Misalnya kata “gunyam” yang ketika mendapat prefiks “meng-” menjadi “menggunyam” (berkata di dalam hati). Atau, kata “langis” yang bermakna “habis binasa (punah) semuanya; tumpas”. Atau lagi, kata “jelau” yang saat mendapat prefiks “men-” menjadi “menjelau” (menjenguk).

Kata-kata arkais menarik karena ada sensasi manakala kita menemukan harta karun bahasa melalui proses pembelajaran terhadap kata-kata yang hampir tidak pernah muncul dalam realisasi pemakaian sehari-hari. Di samping itu, kita juga dapat menggunakannya untuk tujuan stilistik, pencapaian ekspresi puitis dalam daya guna sastra. Serta, untuk menghidupkan suasana tertentu yang sulit terwujud dengan kata yang sudah kelewat lazim.

Sesungguhnya ungkapan “permata bahasa” yang berada dalam “liontin komunikasi” (simbol tentang betapa berharga aktivitas berkomunikasi itu bagi umat manusia) merupakan sebuah label apresiatif untuk kata-kata yang memiliki aksentuasi kekhasan maknanya, keindahan bunyinya setelah menemukan bentuk pelafalannya, atau kedalaman nilai budaya atau sejarahnya. Mereka menawarkan kekayaan atau keunikan makna yang sangat signifikan dalam khazanah kosakata bahasa Indonesia.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Kaleidoskop 2025: Jejak Rights Issue Para Taipan, Hashim (WIFI) hingga Aguan (PANI)
• 6 jam lalubisnis.com
thumb
Pedagang Pasar Kramat Jati Terdampak Kebakaran Jualan di Kios Sementara
• 8 jam laludetik.com
thumb
Skema Gaji Tunggal ASN Belum Realistis Diterapkan dalam Waktu Dekat
• 5 jam lalucnbcindonesia.com
thumb
Usulkan Libur Panjang dan WFA di Nataru 2025 Ditiadakan, Darmaningtyas Ungkap Hal Ini
• 9 jam lalufajar.co.id
thumb
Optimalisasi Komposit Serat Karbon Lewat Biochar Sisik Ikan: Solusi Kuat dan Ramah Lingkungan
• 53 menit laluliputan6.com
Berhasil disimpan.