JAKARTA, KOMPAS-Banjir yang melanda Sumatera merupakan pelajaran mahal dari kekeliruan arah pembangunan dan berawal dari tata pemerintahan yang korup. Agar tidak terulang kembali di masa depan, kita harus memperbaiki pengelolaan sumber daya alam.
Sejumlah tokoh nasional menyampaikan seruan bersama tentang situasi negeri ini di Jakarta dengan tema "Hutan Kita, Ibu Kita", bertepatan dengan peringatan Hari Ibu, pada Senin (22/12/2025).
Acara yang diselenggarakan Justice Coalition for Our Planet (JustCOP) ini menjadi refleksi akhir tahun dari kalangan masyarakat sipil, terutama terkait dengan bencana ekologi di Sumatera, yang telah menewaskan lebih dari 1.000 orang.
Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup periode 1983–1993 Emil Salim, yang menjadi pembicara pertama menyampaikan, banjir yang melanda Sumatera baru-baru ini merupakan pelajaran mahal dari kekeliruan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam.
“ Banjir tidak boleh terulang kembali di pelosok Tanah Air kita. Kita belajar bahwa di dalam cara pengelolaan sumber daya alam yang terjadi adalah kerusakan alam di dalam pembangunan,” ucap Emil Salim.
Menurut Emil, banjir bukan peristiwa alam, melainkan konsekuensi dari pengabaian fungsi lingkungan dan daya dukung alam. Penyebab utama bencana ini berasal dari kerusakan hutan dan tata kelola ruang yang salah. “Keliru pembangunan yang merusak hutan, menimbulkan gelondongan pohon yang menyebabkan banjir tersebut,” katanya.
Banyaknya korban jiwa merupakan harga mahal yang harus dibayar akibat kesalahan tersebut. “Jangan kita abaikan pelajaran dari kekeliruan ini. Jangan terulang kembali kekeliruan ini,” tegasnya.
Sementara itu, Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Riyana Hardjapemkas menegaskan, kerusakan lingkungan yang memicu banjir ini berawal dari tata pemerintahan yang korup.
" Tidak mungkin konsesi diberikan begitu saja tanpa ada suap. Apa pun bentuknya suap. Maka agenda terbesar saat ini adalah mengembalikan pemberantasan korupsi seperti 15 tahun lalu. Ternyata SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), lebih baik dari yang diduga," ujarnya.
Selain memperbaiki tata kelola yang koruptif, penanganan kedaruratan bencana harus jadi prioritas saat ini. "Mengapa status bencana nasional tak segera dideklarasikan. Saya tak tahu apa konsekuensinya. Mengapa ini ditunda-tunda sehingga memicu kecurigaan. Bahkan, sampai menolak bantuan dari negara lain, padahal kita butuh," kata dia.
Astronom Institut Teknologi Bandung (ITB) Premana Wardayanti Premadi menyebutkan, bencana Sumatera dan yang lainnya merupakan bentuk kelalaian manusia menjaga relasi kausalitas. Hal-hal mengenai Bumi kerap diukur berdasarkan pertimbangan politik sesaat.
Banjir tidak boleh terulang kembali di pelosok Tanah Air kita. Kita belajar bahwa di dalam cara pengelolaan sumber daya alam yang terjadi adalah kerusakan alam di dalam pembangunan.
Anggapan bahwa Bumi dapat terus-menerus menyediakan kebutuhan bagi manusia, menurut Premana, adalah bentuk pemikiran tak logis. “Manusia sering lupa bahwa Bumi membutuhkan waktu untuk pulih dan teknologi tak selalu dapat diandalkan. Selayaknya kita bergandengan tangan memulihkan satu-satunya Bumi yang kita punya,” kata Premana.
Sejumlah pembicara lain mengingatkan peran penting hutan. Ahli entomologi dan ekologi IPB University Damayanti Buchori mengingatkan, hutan bukan hanya berfungsi menjaga biodiversitas, tapi juga memiliki keragaman biokultur.
"Hutan dengan segala kompleksitasnya menjadi fondasi kehidupan bersama, bagi manusia dan non-manusia. Jangan sampai hutan hanya disimplifikasi menjadi penghasil devisa jangka pendek," kata dia.
Pakar hukum lingkungan yang juga CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa mengatakan, kebijakan pembangunan ekonomi di Indonesia saat ini cenderung mengikuti model pembangunan berkelanjutan beraliran lemah.
" Ini tercermin dalam beberapa kebijakan, misalnya Pasal 34 A Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UUCK) dan Pasal 74 Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan," ujarnya menambahkan.
Mas Achmad menegaskan, UUCK memudahkan investasi guna memuluskan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang terbentang dari timur hingga barat Indonesia.
Demi memuluskan investasi itu, aparat TNI/Polri sesuai perintah Presiden Joko Widodo membungkam suara kritis atas pembangunan yang menggarap zona inti hutan, area yang mestinya paling terlindungi dalam kawasan konservasi. Akibat kebijakan memanjakan investor lewat UU Cipta Kerja, ratusan ribu penduduk menanggung dampaknya.
Country Director Greenpeace untuk Indonesia Leonard Simanjuntak juga mengkritik kebijakan ekonomi pemerintah yang menggadang-gadang pertumbuhan ekonomi 8 persen. Kebijakan itu di tengah krisis iklim merupakan hal mustahil. “Bila pemerintah memaksakan level ekonomi sebesar itu, sudah terbayang seperti apa rusaknya Sumatera,” tuturnya.
Terhadap warisan kerusakan ekologi, anggota Suku Sasak, Nusa Tenggara Barat sekaligus perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Giat Perwangsa menuntut pemerintah serius berkomitmen memulihkan hutan. “Jangan mudah terbitkan izin ekstraktif dan tanaman industri,” ucapnya.
Bagi Giat, kemudahan pemberian izin usaha berbasis kehutanan hanya memperdalam rasa ketidakadilan. Direktur Eksekutif Indonesia untuk Kemanusiaan Sita Soepomo menyepakati pernyataannya dan mengatakan bencana Sumatera merupakan bukti keberulangan ketidakadilan khususnya bagi kelompok rentan.
Ketidakadilan terjadi selagi kelompok rentan, termasuk masyarakat adat, perempuan dan penyandang disabilitas hanya dijadikan pelengkap dalam berbagai agenda kebijakan. “Kelompok rentan bukan token melainkan fondasi penting dalam menjaga kehidupan di tengah krisis iklim,” katanya.
Kegiatan ini ditutup dengan pernyataan sikap yang diteken lebih dari 50 perwakilan masyarakat sipil dan individu. Dalam pernyataan sikap, Koalisi JustCOP mendesak Presiden Prabowo Subianto menetapkan bencana Sumatera sebagai bencana nasional guna memastikan penanganan cepat, terkoordinasi, dan memadai.
Koalisi masyarakat sipil juga menuntut penghentian alih fungsi kawasan hutan dan menghentikan ekspansi yang telah melampaui daya dukung lingkungan.
Selain itu mereka menuntut audit menyeluruh dan transparan atas semua perizinan berbasis lahan dan ekstraktif di Sumatera serta penegakan hukum terhadap pelaku perusakan lingkungan.
Koalisi JustCOP juga mendesak pelaksanaan mitigasi risiko yang nyata sebagai tindak lanjut peringatan dini, termasuk evakuasi dini, pelindungan kelompok rentan, dan pengelolaan DAS berbasis sains.
Mereka juga mendesak pemerintah mencabut UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang memudahkan perampasan ruang hidup warga, memusatkan kewenangan perizinan, memicu konflik, dan kriminalisasi atas penolak proyek-proyek negara bermasalah, melemahkan pelindungan buruh dan menyempitkan ruang demokrasi serta penghormatan hak asasi manusia.
Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah mesti segera membuat perubahan mendasar UU Kehutanan serta mengesahkan Rancangan UU Keadilan Iklim dan RUU Masyarakat Adat yang berpihak pada keselamatan warga dan keberlanjutan lingkungan.




