Donasi Online: Antara Kemanusiaan dan Eksploitasi

kumparan.com
7 jam lalu
Cover Berita

Di zaman digital yang terus bergerak cepat, wajah peradaban manusia mengalami perubahan yang mendasar. Media sosial kini berfungsi sebagai pusat ekonomi baru, termasuk dalam sektor penggalangan dana. Layar ponsel kita sering kali bertindak sebagai cerminan empati melalui fitur siaran langsung yang selalu aktif.

Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan teknologi, muncul isu yang mendorong kita untuk berpikir lebih dalam: semakin banyaknya inisiatif meminta bantuan secara online yang dibalut narasi donasi. Kita sering menyaksikan tindakan ekstrem, seperti orang tua yang rela berendam dalam lumpur demi mendapatkan uang digital atau tayangan kesedihan yang dimanfaatkan untuk menarik perhatian penonton.

Teknologi memang mempercepat proses pertolongan tanpa terhalang birokrasi. Namun, hal ini juga menciptakan suasana teatrikal di mana penderitaan seolah menjadi barang yang diperdagangkan demi memenuhi algoritma.

Melihat fenomena ini dari sudut pandang hukum dan etika yang lebih dalam, setiap upaya membantu seharusnya didasari berdasarkan dua prinsip: niat yang tulus dan cara yang beradab. Dalam tradisi pemikiran klasik, prinsip "tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah" bukan hanya ajakan untuk kaya, melainkan juga pesan kuat untuk menjaga kemuliaan manusia.

Dari perspektif etika hukum, setiap individu memiliki hak dasar atas harga diri yang disebut muruah. Aktivitas yang merendahkan martabat seseorang—meskipun dilakukan untuk mendapatkan uang demi bertahan hidup—sebenarnya sangat dihindari dalam nilai-nilai luhur. Para pemikir sejak zaman dahulu telah sepakat bahwa meminta-minta tanpa adanya kebutuhan yang mendesak dharuriyat adalah perilaku yang tercela.

Ketika penderitaan dijadikan konten dan dipamerkan secara terbuka, muncul pelanggaran terhadap batasan etika. Donasi yang diperoleh dengan cara mengeksploitasi penderitaan fisik dan mental sejatinya telah menghilangkan makna kemanusiaan itu sendiri. Pemberian bantuan seharusnya bertujuan untuk memberdayakan, bukan menciptakan ketergantungan yang memperdalam siklus eksploitasi demi mendapatkan simpati.

Di sinilah pentingnya kemampuan berpikir kritis dalam masyarakat digital. Kita perlu membedakan antara bantuan yang benar-benar menyelamatkan nyawa dan bantuan yang hanya menjadi penyokong bagi industri eksploitasi kemiskinan di ranah publik.

Memberi bukan hanya sekadar transaksi angka atau pengiriman simbol koin di layar, melainkan juga seni yang menghormati sesama manusia. Kita harus lebih bijaksana dalam menyalurkan empati, memastikan bantuan sampai melalui saluran yang tepercaya dan cara yang menjaga martabat penerima.

Menurut pandangan saya, mengikuti arus zaman adalah suatu keharusan, tetapi bukan berarti kita harus terjebak dalam pola baru yang merusak nilai moral. Mari kita manfaatkan platform digital sebagai jembatan untuk kebaikan yang tulus.

Tempat mereka yang memberi tetap menghargai prinsip kerendahan hati dan mereka yang menerima bantuan dapat berdiri dengan martabat yang terjaga. Dengan begitu, kedermawanan kita tidak hanya menjadi notifikasi di ponsel, tetapi nyata dan membawa berkah bagi peradaban.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Kang Dedi Minta Pelaku Pungli Parkir Dikirim ke Barak Militer
• 1 jam lalujpnn.com
thumb
Peringati Hari Ibu, Aktivis dan Tokoh Wanita Gelar Refleksi Akhir Tahun soal Bencana Sumatera
• 8 jam lalukompas.tv
thumb
Meski Sumatera Dilanda Bencana, Bahlil Pastikan Pasokan Listrik, BBG, dan LPG Tetap Aman
• 13 jam laludisway.id
thumb
Rano Karno Sentil Pengelolaan Aset DKI yang Baru Capai 5%
• 4 jam lalumetrotvnews.com
thumb
First Fight II Bergulir Januari 2026, Duel Tak Biasa 1 Lawan 3 Tersaji
• 8 jam laluviva.co.id
Berhasil disimpan.