Di media sosial hari ini, hampir semua hal bisa dibenarkan asal diberi label “budaya” atau “kebebasan pribadi”. Konten vulgar disebut ekspresi diri, pergaulan bebas dianggap wajar, praktik ekonomi ribawi dikemas modern. Ketika ada yang mengkritik dari sudut pandang agama, responsnya sering sama: “Jangan bawa-bawa agama, ini urusan budaya.”
Masalahnya, bagi umat Islam, budaya bukan standar kebenaran. Ia boleh dipertimbangkan, tapi tidak otomatis dibenarkan.
Dalam fikih Islam dikenal kaidah al-‘adah muhakkamah—adat kebiasaan bisa dijadikan dasar hukum. Tapi kaidah ini punya syarat tegas: selama tidak bertentangan dengan syariat. Artinya, budaya itu diuji, bukan dijadikan hakim.
Contoh aktual mudah ditemukan. Pornografi kini bukan lagi barang sembunyi-sembunyi. Ia tampil di platform digital, dibungkus humor, edukasi seks, bahkan seni. Secara budaya, banyak yang menganggapnya “normal”. Namun dari perspektif maqāṣid syarī‘ah, jelas bermasalah. Pornografi merusak akal (hifz al-‘aql), merendahkan kehormatan manusia (hifz al-‘ird), dan berdampak pada rusaknya relasi sosial.
Contoh lain: praktik riba dalam layanan keuangan digital. Pinjaman online berbunga tinggi sering dibela dengan alasan kebutuhan dan sistem modern. Secara budaya ekonomi, ia diterima. Tapi dalam fikih, riba tetap riba—karena dampaknya merusak keadilan dan menindas pihak lemah, bertentangan dengan tujuan syariat menjaga harta (hifz al-mal).
Di sinilah penting memahami toleransi secara tepat. Toleransi bukan berarti menghalalkan semuanya. Islam membedakan antara toleransi sosial dan pembenaran teologis. Seorang Muslim bisa hidup damai dengan siapa pun, menghormati perbedaan, tanpa harus menyetujui semua praktik yang ada.
Masalahnya, hari ini batas itu sering kabur. Kritik berbasis syariat dianggap intoleran, sementara normalisasi perilaku menyimpang justru dipuji sebagai kemajuan. Padahal, dalam Islam, jumlah pengikut dan popularitas tidak pernah menjadi ukuran kebenaran. Sesuatu bisa ramai, viral, dan tetap salah secara moral.
Maqāṣid syarī‘ah memberi kerangka yang jernih. Tujuan hukum Islam bukan membatasi manusia tanpa alasan, tapi menjaga lima hal pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ketika sebuah budaya merusak salah satunya, maka toleransi berhenti di situ.
Ulama berperan menjaga garis ini. Ketegasan mereka sering disalahpahami sebagai sikap anti-zaman. Padahal, tugas ulama bukan mengikuti arus, tapi menjaga kompas. Mereka tidak menolak perubahan, hanya menolak perubahan yang merusak.
Media juga punya tanggung jawab. Menghadirkan perspektif syariat bukan berarti memaksakan agama, tapi memberi ruang pada nilai yang hidup dan diyakini jutaan orang. Diskusi publik sehat justru lahir dari keberanian menghadirkan sudut pandang yang berbeda, bukan dari penyeragaman nilai.
Pada akhirnya, pertanyaannya bukan “apakah ini budaya?”, tapi “apakah ini membawa maslahat atau kerusakan?”. Islam mengajarkan keseimbangan: terbuka pada realitas, tapi tegas pada prinsip. Toleran dalam hidup bersama, konsisten dalam keyakinan.
Di situlah batas toleransi Islam berdiri—bukan di tekanan budaya, tapi pada nilai yang menjaga manusia tetap manusia.


