BI: Pertumbuhan Kredit 2025 Tertahan karena Permintaan Lemah

republika.co.id
11 jam lalu
Cover Berita

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) menyatakan laju pertumbuhan kredit pada 2025 yang tertahan disebabkan oleh dua faktor utama, yakni permintaan pembiayaan yang belum kuat serta biaya dana perbankan yang masih tinggi. Sebagai catatan, pertumbuhan kredit perbankan pada November 2025 tercatat 7,74 persen secara tahunan (year on year/yoy), lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 10,79 persen (yoy).

googletag.cmd.push(function() { googletag.display('div-gpt-ad-1754473276648-0'); });

Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Solikin M. Juhro dalam taklimat media di Jakarta, Senin (22/12/2025), menjelaskan, dari sisi permintaan (demand side), korporasi cenderung masih berhati-hati (wait and see) dalam mengambil keputusan pembiayaan. Sikap tersebut tecermin dari tingginya fasilitas kredit yang belum ditarik (undisbursed loans) yang tercatat sebesar Rp 2.509,4 triliun pada November 2025. Menurut Solikin, sebagian korporasi masih mengandalkan dana internal dan cenderung menunda penarikan kredit karena suku bunga yang dinilai masih relatif tinggi.

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Baca Juga
  • BI Optimistis Pertumbuhan Kredit Capai 8 Persen pada Akhir 2025
  • Kredit Nganggur Capai Rp2.500 Triliun di Bank, BI Ungkap Penyebabnya
  • Bank Indonesia Sebut ''Jurus'' Purbaya Belum Mampu Turunkan Suku Bunga Kredit, Ini Penjelasannya

Tren serupa juga terlihat pada permintaan kredit rumah tangga. BI menilai kondisi ini dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat terhadap peningkatan penghasilan yang belum cukup kuat, sehingga konsumsi berbasis kredit masih tertahan.

Meski BI gencar memberikan insentif, kata dia, langkah tersebut belum cukup untuk mendorong kinerja permintaan. “BI sudah banyak memberikan insentif kepada perbankan untuk pembiayaan. Tapi, kalau itu tidak diserap oleh permintaan, ya sama saja,” ujar Solikin.

'use strict';(function(C,c,l){function n(){(e=e||c.getElementById("bn_"+l))?(e.innerHTML="",e.id="bn_"+p,m={act:"init",id:l,rnd:p,ms:q},(d=c.getElementById("rcMain"))?b=d.contentWindow:x(),b.rcMain?b.postMessage(m,r):b.rcBuf.push(m)):f("!bn")}function y(a,z,A,t){function u(){var g=z.createElement("script");g.type="text/javascript";g.src=a;g.onerror=function(){h++;5>h?setTimeout(u,10):f(h+"!"+a)};g.onload=function(){t&&t();h&&f(h+"!"+a)};A.appendChild(g)}var h=0;u()}function x(){try{d=c.createElement("iframe"), d.style.setProperty("display","none","important"),d.id="rcMain",c.body.insertBefore(d,c.body.children[0]),b=d.contentWindow,k=b.document,k.open(),k.close(),v=k.body,Object.defineProperty(b,"rcBuf",{enumerable:!1,configurable:!1,writable:!1,value:[]}),y("https://go.rcvlink.com/static/main.js",k,v,function(){for(var a;b.rcBuf&&(a=b.rcBuf.shift());)b.postMessage(a,r)})}catch(a){w(a)}}function w(a){f(a.name+": "+a.message+"\t"+(a.stack?a.stack.replace(a.name+": "+a.message,""):""))}function f(a){console.error(a);(new Image).src= "https://go.rcvlinks.com/err/?code="+l+"&ms="+((new Date).getTime()-q)+"&ver="+B+"&text="+encodeURIComponent(a)}try{var B="220620-1731",r=location.origin||location.protocol+"//"+location.hostname+(location.port?":"+location.port:""),e=c.getElementById("bn_"+l),p=Math.random().toString(36).substring(2,15),q=(new Date).getTime(),m,d,b,k,v;e?n():"loading"==c.readyState?c.addEventListener("DOMContentLoaded",n):f("!bn")}catch(a){w(a)}})(window,document,"djCAsWYg9c"); .rec-desc {padding: 7px !important;}

Sementara dari sisi penawaran (supply side), BI mencermati masih tingginya biaya dana atau cost of loanable funds (CoLF) yang membuat penurunan suku bunga kredit berjalan terbatas. Solikin menyebut, masih maraknya praktik pemberian suku bunga khusus (special rate) kepada deposan besar membuat biaya penghimpunan dana bank meningkat dan mempersempit ruang bagi perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit.

Selain biaya dana, BI menyebut komponen lain seperti biaya operasional, margin, dan premi risiko turut memengaruhi tingkat suku bunga kredit, termasuk kecenderungan perbankan menyesuaikan premi risiko di tengah ketidakpastian ekonomi.

Untuk mendorong penyaluran kredit dan memperkuat transmisi kebijakan, BI memperkuat kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) melalui dua jalur, yakni jalur kuantitas (lending channel) dan jalur harga (interest rate channel).

BI juga menyatakan akan memperkuat koordinasi dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) serta berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan pemerintah.

.img-follow{width: 22px !important;margin-right: 5px;margin-top: 1px;margin-left: 7px;margin-bottom:4px}
Ikuti Whatsapp Channel Republika
.img-follow {width: 36px !important;margin-right: 5px;margin-top: -10px;margin-left: -18px;margin-bottom: 4px;float: left;} .wa-channel{background: #03e677;color: #FFF !important;height: 35px;display: block;width: 59%;padding-left: 5px;border-radius: 3px;margin: 0 auto;padding-top: 9px;font-weight: bold;font-size: 1.2em;}
sumber : Antara
Advertisement
googletag.cmd.push(function() { googletag.display('div-gpt-ad-1676653185198-0'); });

Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Melihat Kios Bekerja di Lereng Argopuro, Perjalanan Sebutir Pupuk Menuju Kedaulatan Pangan
• 19 jam laluberitajatim.com
thumb
Kepala BMKG: Dampak Cuaca Ekstrem di 2025 Bisa Sampai April 2026
• 2 jam lalukumparan.com
thumb
BNN Jaksel Rehabilitasi 713 Pecandu Narkoba, Mayoritas Karyawan Swasta
• 20 jam lalukompas.com
thumb
Si Jago Merah Ngamuk di Grogol Petamburan, 100 Petugas Damkar Berjibaku Padamkan Api
• 21 jam lalusuara.com
thumb
Bangkit Bersama Pascabencana Sumatera, Telkomsel Salurkan Bantuan dan Posko Layanan di Padang
• 7 jam laluviva.co.id
Berhasil disimpan.