EtIndonesia. Rumah baru kami baru saja selesai direnovasi. Sampah sisa renovasi menumpuk di dalam rumah, dan hanya dengan melihatnya saja sudah membuat hati terasa kesal. Saya pun pergi ke pasar tenaga kerja di dekat jembatan untuk mencari orang yang bisa membantu mengangkut dan membersihkan sampah tersebut.
Baru saja saya tiba, belum sempat membuka mulut, sekelompok orang langsung mengerumuni saya, berebut bertanya apakah saya sedang mencari orang untuk bekerja.
Akhirnya, saya memilih dua orang. Yang satu adalah pemuda dengan wajah yang masih menyisakan kepolosan, satunya lagi pria paruh baya yang terlihat sederhana dan jujur. Setelah sepakat dengan bayaran lima puluh yuan, mereka langsung bekerja tanpa banyak bicara.
Mereka memang pekerja berpengalaman. Tak sampai satu jam, sampah yang berantakan sudah dibersihkan seluruhnya dan dimasukkan ke dalam karung. Pria paruh baya itu jelas lebih cekatan—pengalamannya membuat cara kerjanya jauh lebih efisien dibanding si pemuda. Bahkan, menjelang selesai, dia sempat membersihkan lantai rumah saya.
Sesuai kesepakatan, saya membagi upah: masing-masing dua puluh lima yuan. Namun setelah menerima uang, pria paruh baya itu tampak tidak puas. Dia mengatakan bahwa dirinya bekerja lebih banyak, sehingga seharusnya mendapat tiga puluh yuan, sementara si pemuda cukup dua puluh.
Saya tidak banyak berdebat. Saya tidak mengurangi bagian si pemuda, dan akhirnya menambah uang dari kantong saya sendiri.
Sebulan kemudian, rumah baru kami benar-benar selesai. Seluruh rumah perlu dibersihkan dari dalam hingga ke luar. Saya kembali lagi ke pasar tenaga kerja. Tak disangka, pria paruh baya itu langsung mengenali saya.
Meski sikapnya sebelumnya sempat membuat saya sedikit kurang simpatik, saya tetap memilihnya. Alasannya sederhana: kualitas kerjanya memang bagus. Satu orang lagi yang ikut kali ini adalah seorang perempuan paruh baya.
Namun yang tak saya duga, setelah berkeliling melihat rumah, pria itu justru mengatakan bahwa dia tidak ingin mengerjakan pekerjaan ini.
Saya langsung mengerti alasannya—pekerjaannya sedikit, dan jika dibagi dua, masing-masing hanya mendapat sepuluh yuan. Dalam hati, rasa tidak suka saya padanya bertambah.
Melihat raut wajah saya, pria itu menarik saya ke luar rumah dan menjelaskan. Dia mengatakan bahwa sebelumnya dia meminta bagian lebih besar karena memang mengerjakan porsi kerja yang lebih banyak. Selain itu, pemuda yang bersamanya masih muda, belum menikah, dan beban hidupnya belum seberat dirinya.
Penjelasan itu sudah cukup membuat saya heran. Namun kali ini, dia melanjutkan, pekerjaan memang sedikit dan uangnya pun kecil, tetapi sebenarnya bisa selesai dengan cepat. Bukan karena pekerjaan ini terlalu kecil atau bayarannya terlalu sedikit dia menolak, melainkan karena kondisi ekonomi perempuan itu jauh lebih sulit dibanding dirinya. Uang sekecil itu, menurutnya, lebih baik diberikan sepenuhnya kepada perempuan tersebut.
Saat itulah saya benar-benar memahami maksudnya.
“Kalau begitu, kenapa tidak sekalian saja kamu membantunya mengerjakan pekerjaan ini tanpa mengambil bayaran sama sekali? Bukankah itu lebih menunjukkan kebesaran hatimu?” tanya saya setengah bercanda.
Dia tersenyum kikuk.
“Itu tidak bisa,” katanya. “Kalau begitu, itu justru akan melukai harga dirinya.”
Setelah itu, dia berpamitan singkat dan segera turun dari rumah.
Di dunia ini, ternyata masih banyak orang seperti dirinya. Karena tekanan hidup dan kesulitan ekonomi, mereka sering terlihat perhitungan demi keuntungan kecil, seolah mengenakan pakaian luar yang kusam dan penuh noda. Namun di balik lapisan itu, jauh di dalam hati mereka, kebaikan tetap hidup—dan terus memancarkan cahaya. (jhn/yn)




